,

Jalan Panjang Melindungi Jalak Bali dari Kepunahan (Bagian – 1)

Jalak bali (Leucopsar rothschildi) merupakan jenis jalak cantik berukuran sekitar 25 cm. Burung dengan warna putih yang mendominasi di sekujur tubuhnya ini semakin  istimewa karena ia hanya ada di Pulau Dewata, Bali.

Sayang, populasinya di alam menyusut akibat adanya perubahan habitat alaminya di sepanjang barat laut pantai Bali. Kondisi ini diperparah dengan maraknya perburuan liar yang tentunya ilegal, guna memenuhi permintaan pasar dunia untuk dijadikan burung peliharaan. Berdasarkan data BirdLife International, jumlahnya di alam tak lebih dari 50 individu.

Kondisinya yang kian memprihatinkan ini membuat IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) menetapkan statusnya Kritis (Critically Endangered/CR). Sementara CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk satwa liar telah memasukkan jalak bali dalam Appendiks I yang artinya terlarang untuk diperdagangkan.

Putu Sumantra, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali menuturkan, langkanya jalak bali sebagai satwa endemik sekaligus identitas Pulau Bali ini telah menjadi keprihatinan pemerintah daerah. “Jalak bali terancam punah karena perburuan yang masih banyak terjadi ditambah pula ancaman predator dan kompetitor,” ujarnya pada acara Bali Mynah International Workshop, di Gianyar, Bali, belum lama ini.

Sementara, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tachrir Fathoni mengatakan, segala usaha telah dilakukan oleh pemerintah serta semua pihak untuk mencegah punahnya jalak bali di alam.

“Kita tidak ingin punah, banyak usaha yang kita lakukan untuk melindungi jalak bali di kawasannya sendiri. Kita upayakan untuk menghilangkan perburuan, dan kita juga menyediakan tempat yang dapat digunakan untuk pelepasliarannya di alam bebas,” ujarnya.

Pelestarian jalak bali harus dilakukan mengingat statusnya yang saat ini Kritis. Taman Nasional Bali Barat merupakan rumah nyaman bagi burung berdominasi bulu putih ini. Foto: Petrus Riski
Pelestarian jalak bali harus dilakukan mengingat statusnya yang saat ini Kritis. Taman Nasional Bali Barat merupakan rumah nyaman bagi burung berdominasi bulu putih ini. Foto: Petrus Riski

Fokus utama

Kawasan hutan di Provinsi Bali mencapai 130.686 hektar, sekitar 19.000 hektarnya merupakan wilayah Taman Nasional Bali Barat (TNBB) sebagai habitat asli jalak bali. Meski berada di habitat aslinya, namun populasi jalak bali terus mengalami penurunan akibat penangkapan ilegal. Pada 2008, populasinya di TNBB mencapai 72 individu, namun di 2015 ini hanya tersisa 49 individu.

TNBB memang menjadi fokus utama dalam upaya pelestarian populasi Leucopsar rothschildi ini. Terutama, melalui pelepasliaran jalak bali yang berhasil dikembangbiakkan di penangkaran.

Kepala Balai TNBB, Tedi Sutedi, menuturkan pihaknya konsisten menjaga ekosistem di TNBB, sebagai tempat hidup satwa endemik Pulau Bali ini. Menurutnya, upaya menjaga habitat asli jalak bali serta penangkaran jalak bali untuk nantinya dilepasliarkan ke alam, menjadi tugas utama TNBB.

“Pelepasliaran mulai dilakukan pada 2002 dan yang terakhir 2014. Sejauh ini, kurang lebih 200 individu yang telah dilepaskan di 3 titik, yaitu di Kotal, Tanjung Gelap, dan Berumbun, semuanya di wilayah TNBB,” ujar Tedi kepada Mongabay-Indonesia.

Dalam upaya pelestarian jalak bali, TNBB bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat, serta Asosiasi Penangkar Curik Bali (APCB), menjalankan misi peningkatan populasi jalak bali di alam guna mengembalikan Bali sebagai habitat hidupnya.

“Sejak 3 tahun terakhir, kondisi alam sangat mendukung perkembangbiakan jalak bali. Namum, pencurian masih terjadi, karena jalak bali banyak diminati pengemar burung. Selain itu, ada juga yang mati dimakan predator seperti musang dan ular. Di penangkaran Tegal Bunder sejak 31 Agustus 2015 telah berhasil dikembangbiakkan sebanyak 151 individu, dan rencananya akan dilepasliarkan 20 individu pada Oktober ini.”

Taman Nasional Bali Barat, habitat asli burung jalak bali yang tersisa saat ini. Foto: Aji Wihardandi

Menurut Tedi, upaya penangkaran di desa-desa yang dulunya merupakan kawasan tempat habitat hidup jalak bali, kini telah dilakukan. Sejak 2013, APCB telah menggandeng masyarakat yang ingin mengembangbiakkan jalak bali, dengan memberikan 15 pasang bibit atau indukan. Dari 15 pasang itu telah berhasil dikembangkan menjadi 125 ekor oleh masyarakat sekitar. “Masyarakat desa sudah kita bina dengan baik untuk menangkarkan jalak bali.”

Ria Saryanthi, Kepala Unit Komunikasi dan Pengembangan Pengetahuan Burung Indonesia menambahkan, potensi jalak bali untuk dikembalikan ke alam masih sangat memungkinkan. Namun, diperlukan pula restorasi habitat dan pengawasan pasca-pelepasliaran ke alam.

“Pelepasliaran bukanlah akhir, justru awal dari kegiatan. Pelepasliaran dalam jumlah banyak di alam bukanlah jaminan selama monitoring tidak dilakukan secara komprehensif. Habitat yang sekarang juga perlu direstorasi. Kalau semua pihak punya komitmen yang tinggi, peluang peningkatan populasi jalak bali di alam liar akan besar,” tandasnya.

Ria Saryanthi menjelaskan, pemantauan jalak bali yang dilepasliarkan di alam, direkomendasikan dengan melakukan pemasangan microchip atau transponder, guna memudahkan monitoring pergerakannya. “Kedepan, kita memang perlu memasang alat tersebut. Ini untuk mengetahui, apakah burung tersebut masih berada di TNBB, pindah habitat, atau malah dicuri,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,