,

Jalan Panjang Melindungi Si Cantik Jalak Bali dari Kepunahan (Bagian – 2)

Keinginan masyarakat untuk ikut melestarikan jalak bali, terlihat dari tekad Syamsul Arifin yang bersama warga mengembangbiakkan jalak bali di rumah mereka. Warga Desa Sumber Kelompok, Kecamatan Grogah, Kabupaten Buleleng, Bali ini mulai jadi penangkar pada 2011, dengan membentuk perkumpulan yang diberi nama Grup Manuk Jegeg.

Syamsul berkisah, berawal dari 1 pasang jalak bali yang ditangkarkan, sekarang sudah menjadi 7 pasang di kandang-kandang yang dibangun di pekarangan rumahnya. Jika ditotal dengan seluruh anggota Grup Manuk Jegeg yang 17 anggota, jumlah jalak bali yang ada sekitar 150 individu. Syamsul berharap, semua pihak mendukung keinginan masyarakat yang ingin mengembalikan populasi jalak bali ke habitat aslinya, melalui pelepasliaran.

“Karena curik bali asalnya dari desa kami sendiri, jadi kami harus bisa mengembangbiakkan. Kedepannya, harus dilepasliarkan. Kami berharap bantuan tambahan untuk indukan baru, agar anakan yang kami miliki dapat lebih banyak,” kata Syamsul.

Minimnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam menangkarkan jalak bali, sering menjadi kendala dalam hal keberhasilan pelepasliaran. Kualitas jalak bali yang akan dilepas itu, seringkali kurang ideal, baik dari ketahanan tubuh maupun kesehatan.

Simon Bruslund, kurator satwa dari Zoo Heidelberg, Jerman, menuturkan masyarakat yang menjadi penangkar jalak bali perlu memperhatikan kondisi kandang, makanan yang sehat, serta ketercukupan udara dan sinar matahari. Ini penting untuk menghasilkan keturunan jalak bali yang siap dikembalikan ke habitat aslinya.

“Jangan sampai tidak pernah kena hujan dan sinar matahari sama sekali. Kandang kadang harus dibuka dan ditutup. Tangkringannya harus sering diganti. Tempat makannya juga harus sering dibersihkan agar tidak ada cacing,” ujarnya.

Jalak bali yang berada di penangkaran yang dikelola TNBB. Foto: Petrus Riski
Jalak bali yang berada di penangkaran yang dikelola TNBB. Foto: Petrus Riski

Libatkan masyarakat

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, Sri Suharyono menegaskan, upaya memperbanyak populasi jalak bali di masyarakat merupakan salah satu cara untuk mengurangi pencurian atau perburuan jalak bali di alam liar. Pihaknya memastikan telah memberikan kemudahan izin bagi masyarakat yang ingin menjadi calon penangkar, selama persyaratan telah dipenuhi.

Sri Suharyono mengatakan, penangkar nantinya hanya wajib menyisihkan 10 persen dari hasil tangkarannya, untuk dijadikan stok pelepasliaran. Dilibatkannya masyarakat untuk menjadi penangkar, tidak lain agar jalak bali mudah diperoleh sehingga menurunkan harga jual jalak bali. “Dengan begitu pencurian di alam menurun, harga di pasaran juga akan tertekan. Kalau dulu harga sepasang indukan bisa sampai 30 juta rupiah, sekarang sekitar 12 juta rupiah.”

Tachrir Fathoni, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menambahkan, izin melakukan penangkaran juga diberikan pemerintah kepada masyarakat di luar Bali, termasuk masyarakat di luar negeri. Sedikitnya ada 3.000 individu jalak bali di penangkaran komunitas lokal Indonesia, serta di Jepang dan Eropa. Dari penangkaran itu telah berhasil dilepasliarkan jalak bali ke habitat aslinya di Taman Nasional Bali Barat.

“Bahkan mereka menawarkan kepada kita untuk mengembalikan ke alam habitat aslinya. Dari Yokohama, ada 120 individu yang sudah dikembalikan ke alam, sementara dari Asosiasi Kebun Binatang Eropa menawarkan untuk mengembalikan ke habitat aslinya,” paparnya.

Upaya membanjiri pasaran dengan jalak bali mendapat dukungan dari tokoh agama serta tokoh adat setempat. Rohaniawan Hindu, Ida Pedanda Gede Made Gunung mengatakan, masyarakat harus lebih banyak dilibatkan untuk melestarikan jalak bali dengan memberi kesempatan sebagai penangkar.

Bahkan Made Gunung juga menekankan konsep keagamaan Hindu yang memanusiakan alam dan lingkungan. “Orang Bali yang punya jalak bali agar mencintai peliharaannya sendiri, maka penangkar harus kita perbanyak agar harga rendah dan orang tidak tertarik lagi mencarinya di alam,” ujarnya.

Tokoh masyarakat yang juga Raja Klungkung, Ida Dalem Semarapura menambahkan, masyarakat adat perlu dilibatkan dalam melestarikan serta mengawasi peredaran jalak bali. “Keterlibatan masyarakat adat akan lebih efektif menekan pencurian dan perburuan. Masyarakat yang sudah menjadi penangkar bisa ikut mengawasi.”

Keterlibatan masyarakat adat untuk menjaga dan melestarikan jalak bali ini diamini Sri Suharyono. Menurutnya, melalui awik-awik atau aturan adat di desa yang ada di Gianyar, Bali, pelestarian dapat dilakukan sebagai alternatif di luar kawasan Taman Nasional Bali Barat. “Salah satu bunyinya awik-awik itu, dilarang menangkap satwa. Kalau ada pelaku yang menangkap jalak bali, tidak harus polhut atau polisi yang menangkap, masyarakat adat bisa memberikan sanksi. Ini akan lebih efektif.”

Si cantik jalak bali yang berdasarkan status IUCN dikategorikan Kritis. Foto: Nengah Sudipa/ FNPF (Friend of National Parks Foundation)

Peneliti bidang Genetika Molekuler, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochamad Syamsul Arifin Zein mengingatkan, minimnya populasi jalak bali akan berpotensi memunculkan sifat-sifat resesif yang buruk pada keturunan jalak bali, akibat perkawinan antar kerabat.

Sistem perkawinan terarah dengan menggunakan silsilah secara genetik, diyakini dapat mencegah proses perkawinan antar kerabat atau inbreeding, yang berdampak pada hal buruk atau abnormal seperti terjadi albino dan cacat fisik. “Dengan sistem perkawinan terarah, dia bisa melakukan analisis sidik jadi dan membentuk silsilah. Dari silsilah itu, kita bisa menyusun perkawinan dan menghambat laju penurunan genetik.”

Menurut Zein, dengan pelepasliaran yang dilakukan, selain menimbulkan insting liarnya kembali, jalak bali juga dapat kawin di antara kelompok yang dilepas dan membetuk koridor. “Kalau mau mengembalikan ke alam liar harus diadaptasikan terlebih dahulu. Dari kandang kecil ke kandang besar dan tinggi. Ini perlu waktu. Setelah itu, setelah si jalak melihat melihat lingkungan barunya, pintu bisa dibuka agar ia keluar dan terbang,” tutur Zein.

Ketua Asosiasi Penangkar Curik Bali (APCB) Tony Sumampau mengatakan, rekomendasi dari Bali Mynah International Workshop ini adalah usulan penanganan jalak bali baik in situ maupun ex situ. Untuk di luar habitat, akan dibuat panduan mengenai cara melepasliarkan jalak bali dari hasil penangkaran, serta menjadikan variasi genetik sebagai pedoman dalam pengembangbiakkan jalak bali di luar habitat.

“Sedangkan untuk  perlindungan jalak bali di alam liar, akan dibentuk unit pelindung jalak bali atau Bali Mynah Protection Unit, yang juga sebagai penyandang dana di luar unit pengamanan taman nasional,” jelas Tony.

Bagian awal tulisan ini dapat dibaca pada judul berikut: 

Jalan Panjang Melindungi Jalak Bali dari Kepunahan (Bagian – 1)

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,