,

Nasib Enggang Gading Kian Memprihatinkan

Nasib enggang gading atau biasa dikenal dengan sebutan rangkong gading makin miris saja. Maskot Kalimantan Barat ini, terus diburu untuk diambil paruhnya. Padahal, burung bernama latin Rhinoplax vigil ini berperan penting untuk meregenerasi hutan.

Enggang gading memang tidak sulit ditandai. Selain ukurannya yang mencapai 120 cm, atau dua kalinya penggaris, ia juga memiliki pita pada ekor tengahnya sepanjang 50 cm. Paruhnya kuning dan merah, dengan leher berwarna merah tanpa bulu (jantan), dan biru pucat pada betina. Jenis ini bersama pasangannya, suka bertengger di tajuk atas pohon besar dan berbaur dengan enggang lain.

Namun, pembantaian yang dilakukan para pemburu yang dengan sengaja mengincar gading Helmeted Hornbill ini tak pelak akan mempercepat statusnya menuju kepunahan. IUCN  menetapkan statusnya pada posisi Near Threatened (NT) atau mendekati terancam punah. “Ribuan gading tersebut telah beredar di pasaran hingga ke luar negeri, meski ada yang berhasil disita,” ujar Yokyok Hadiprakarsa dari Indonesia Hornbill Conservation Society (IHCS).

Yoyok menyampaikan fakta mengenai status populasi dan perburuan enggang gading di Indonesia tersebut dalam konferensi bertajuk “Helmeted Hornbill Crisis Meeting” di Singapura, belum lama ini, guna merumuskan strategi penyelamatan enggang gading dari perburuan masif yang marak di Indonesia. “Sekitar 6 ribu enggang gading diburu sepanjang 2013 di Kalimantan Barat. Perburuan tersebut, masih berlangsung hingga kini di semua habitatnya di Sumatera dan Kalimantan.”

Menurut Yokyok, dalam kurun waktu 2012-2015, tercatat 16 kali penangkapan pedagang gading enggang di berbagai lokasi di Indonesia dengan sitaan lebih dari 2 ribu paruh. Penangkapan terbaru terjadi di Lampung pada 25 September 2015 lalu, dengan barang bakti 1.142 paruh dan sebanyak 20 pelaku diamankan. Penegak hukum di Tiongkok juga berhasil menyita sekitar 1.080 paruh enggang gading dari 19 kali operasi. Dipastikan, seluruh paruh tersebut berasal dari Indonesia.

Dengan begitu, dalam tiga tahun terakhir, sekitar 2.222 enggang gading telah dibantai. Fakta ini merupakan gambaran kecil dari angka yang diketahui saja mengingat perburuan masih terjadi hingga saat ini. “Bahkan, penjualan berbagai jenis hiasan dengan bahan baku paruh enggang makin meningkat di beberapa tempat.”

Yokyok menuturkan, tingginya permintaan paruh enggang gading yang terdaftar dalam Appendiks 1 CITES ini sangat memungkinkan mengancam seluruh jenis rangkong yang ada. Tidak sedikit pemburu dan pedagang pemula yang menyikat habis alias membantai semua jenis rangkong karena menganggap gadingnya lebih mahal ketimbang gading gajah. “Hilangnya rangkong di Sumatera dan Kalimantan akan berdampak sama buruknya dengan punahnya gajah, badak, maupun harimau.”

Kangkareng perut-putih. Foto: Asep Ayat

Petani hutan

Rangkong gading dikelompokkan dalam keluarga Bucerotidae, yaitu burung berukuran besar hingga 120 cm dengan ciri khas berbulu hitam, coklat, atau putih dengan paruh yang panjang dan kokoh.

Untuk Sumatera dan Kalimantan tercatat ada beberapa jenis yang tersebar yaitu enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam, julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong gading, dan rangkong papan. Untuk Kalimantan sendiri, semua jenis rangkong ini dapat dilihat kecuali rangkong papan.

Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O’Brien, peneliti rangkong dan hutan tropis, menjuluki rangkong sebagai petani hutan tangguh karena kehebatannya menebar biji. Kesaktian rangkong yang tidak dimiliki burung lain.

Menurut mereka, terdapat korelasi erat antara rangkong dengan hutan yang sehat. Rangkong membutuhkan pohon yang besar dan sehat sebagai sarangnya. Kehadiran rangkong di hutan menunjukkan bahwa pepohonan besar masih ada di rimba tersebut. Dengan kata lain, pohon sehat yang batangnya kokoh akan hidup bahagia di hutan yang terjaga kondisinya.

Asep Ayat, pegiat dari Burung Indonesia menuturkan, pastinya keberadaan rangkong penting untuk meregenerasi hutan. Kita tidak perlu sulit-sulit menanam pohon karena rangkong telah mempermudah segalanya. Buah ara yang merupakan pakan kegemaran rangkong, bijinya dapat ditebar sejauh rangkong terbang yang diperkirakan bisa mencapai 100 km persegi. “Kurang apa lagi?” paparnya.

Terakit perburuan rangkong, Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad), menuturkan meski upaya perlindungan telah dilakukan namun pada kenyataannya perburuan masih kerap terjadi. Rangkong masih ada yang dipelihara masyarakat, diburu untuk diperdagangkan, dibunuh untuk diambil paruhnya, hingga rumah alaminya yaitu hutan dirampas untuk perkebunan. “Semua pihak harus bersama menetukan strategi jitu guna melindungi rangkong dan semua jenis burung yang ada di Indonesia. Agar nasibnya tidak merana, terlebih punah,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,