, , ,

Kala Api Melalap Dua Gunung Penjaga Pasokan Air Sulsel

Angin berhembus kencang di Pos V, Gunung Bawakaraeng, Gowa, Sulawesi Selatan. Sampah plastik, pembungkus makanan ringan, bungkusan permen, atau kantong kresek melayang. Akbar, pendaki dari Nitro Pencinta Alam (NPA) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nitro Makassar, ngomel sejak beberapa jam lalu.

Akbar geram. Dia tak suka kelakuan beberapa pendaki. “Mereka pikir ini tanah moyangnya.” “Kalau dalam sepekan, ada 50 pendaki naik gunung, setiap orang buang sampah, bisa jadi TPA (tempat pembuangan akhir),” katanya.

Puntung rokok berserakan. Botol minuman alkohol tergeletak. “Kayak bukan gunung ini tempat.”

Pos V Bawakaraeng terletak di elevasi 2165 meter dari permukaan laut. Seharusnya, jadi tempat indah, namun kebakaran beberapa tahun lalu membuat pohon-pohon besar mati. Gersang.

Ketika saya dan tiga teman lain, Jumat (16/10/15), menapaki jalur itu siang hari, panas menyengat. Hari itu, kami juga menyaksikan kebakaran, yang terjadi sejak Rabu.

Kami tak bertemu tim pemadaman hutan. Asap mengepul. Pohon-pohon kering, tumbang, menjadi arang. Tanah mengering. Panas. Beberapa batu mulai terlepas, karena menjadi pijakan pendaki.

Di Pos V, kami berhitung, apakah bisa melalui kebakaran menuju Pos VII. Kami mulai pelan. Pada jalur antara Pos V menuju Pos V, mata mulai perih karena asap. Saya melihat beberapa serangga kecil terpanggang. Suara burung, tak terdengar.

Kami berjalan berderet-deret. Di depan saya, ada Cullang, Ketua NPA sebagai leader. Saat hendak melewati batang pohon mati melintang, tiba-tiba api menyembur seperti menjilat-jilat. Dengan kaki, dia menendang-nendang batang itu. Dia berhasil mematahkan api.

Bekas longsoran tahun 2004, di Pos VIII Gunung Bawakarang. Foto: Eko Rusdianto
Bekas longsoran tahun 2004, di Pos VIII Gunung Bawakarang. Foto: Eko Rusdianto

Dia menginjak api dengan cepat dengan sepatu boot hingga padam. Cullang mulai ikut menggurutu. “Kenapa kebakaran begini, diliat-liat saja. Atau memang disengaja dan dibiarkan?”

Jalur antara Pos V-VII, tak ada air. Para pendaki biasa beristirahat di Pos V kala ingin menuju puncak. Mengisi botol air untuk sampai di Pos VIII. Beban tas punggung paling berat di tim pada Akbar. Di dalam tas galon kecil ukuran lima liter dan beberapa botol, hingga peralatan masak.

Saya mencoba mengajaknya untuk menyiram beberapa titik api. Dia menolak. Menurut Akbar, persediaan air di Pos V sudah berkurang, dan tempat di tebing jurang.

Beberapa titik api kami padamkan sebisa mungkin, misal, dengan menginjak-injak seperti dilakukan Cullang.

Kami mendirikan tenda di Pos VII. Esok pagi, di tempat ketinggian bernama Batu, saya berdiri. Pos V terlihat jelas. Hamparan pohon terlihat putih, asap mengepul lebih banyak. Kebakaran terus berlanjut.

Siang hari, di Batu, rombongan pendaki sedang istirahat dan foto bersama. Mereka baru tiba dan hendak menuju puncak Bawakaraeng. “Bagaimana kebakaran di Pos V? Sudah ada pemadam?” kata saya. “Tidak ada. Masih kebakaran, mudah-mudahan tidak besar, supaya bisa turun besok,” kata salah seorang dari mereka.

Di Pos VII, puncak Gunung Lompobattang juga mengepul dan terlihat jelas. Lompobattang ikut terbakar. Opik dari Komunikasi Pencinta Alam (Kompala) Universitas Fajar Makassar, juga bagian tim kami, menengadah lesu.

Kami memutuskan tak menuju Puncak Bawakaraeng. Sekitar pukul 12.00, kami menapaki jalur menuju Talung. Jalur sangat terjal dengan pinggiran-pinggiran jurang curam. Ia bukanlah jalur umum, hanya diketahui beberapa pendaki berpengalaman.

Bekas bakaran tampak di Jalur pendakian antara Pos V menuju Pos VI Foto: Eko Rusdianto
Bekas bakaran tampak di Jalur pendakian antara Pos V menuju Pos VI Foto: Eko Rusdianto

Pukul 17.00, kami tiba di Talung. Lompobattang makin mengepul. Dari kejauhan, Pos V di Bawakaraeng masih berasap. Kami istirahat sejenak, menikmati sisa air minum.

Di Talung, kami turun ke Lembah Ramma. Malam hari, Lompobattang dan Bawakaraeng, begitu menakutkan. Bara api terlihat jelas. Dua gunung itu dilalap api dan dibiarkan begitu saja.

Di Lembah Ramma, patahan longsor tahun 2004 di Pos VIII Bawakaraeng yang menewaskan puluhan orang di desa sekitar gunung, terlihat menganga. Di badan aliran sungai yang terhubung ke Sungai Jeneberang dipenuhi batu-batu besar. Aliran air terlihat begitu kecil. “Kalau terbakar dan dibiarkan begini, bisa-bisa Pos VIII nanti hancur,” kata Opik. “Kalau sudah gundul dan longsor, tidak ada lagi suplai air ke Jeneberang menuju bendungan Bili-bili. Pasti Makassar akan kekurangan air.”

Secara ekologi, dua gunung inilah yang menjadi tiang utama penjaga pasokan air Makassar, Kabupaten Gowa, Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng.

Ishak Kunna dari Tim Manggala Agni bersama Dinas Kehutanan Bulukumba, yang dikonfirmasi Rabu (21/10/15) mengatakan, kebakaran di puncak Gunung Lompobattang sudah dikendalikan selama empat hari. Medan berat mejadi penyebab penanganan lamban.

Pasca kebakaran beberapa tahun lalu di Pos VII Gunung Bawakaraeng. Pohon tampak mengering dan tak tumbuh lagi. Foto: Eko Rusdianto
Pasca kebakaran beberapa tahun lalu di Pos VII Gunung Bawakaraeng. Pohon tampak mengering dan tak tumbuh lagi. Foto: Eko Rusdianto
Puncak gunung Lompobattang dari Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto
Puncak gunung Lompobattang dari Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto
Asap mengepul dekat jalur pendakian Pos V menuju Pos VI. Foto: Eko Rusdianto
Asap mengepul dekat jalur pendakian Pos V menuju Pos VI. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,