, ,

Asap Menelan Korban Lagi, Selamat Jalan Lutfi…

Sekitar 10 warga meninggal dunia terdampak asap kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah, salah satu Lutfi di Riau. Dia tak sakit, tetapi tiba-tiba demam, muntah dan kala dibawa ke rumah sakit tak tertolong. Dokter bilang, ada penipisan oksigen di jantung anak 9 tahun ini…

Tenda biru berdiri di depan rumah nomor 57 di Jalan Pangeran Hidayat, Pekanbaru, Riau, hari itu. Kursi plastik merah berjejer. Beberapa orang duduk sambil berdiskusi menggunakan masker. Sudah satu jam mereka disana. Pintu masuk rumah masih tertutup.

“Barusan orang-orang pergi,” kata Vina, anak 12 tahun berlari menuju tenda.

Pemilik rumah dan rombongan usai shalat Ashar berangkat ke pemakaman umum di Jalan Air Hitam, Kelurahan Payung Sekaki, Tampan.

“Mereka kuburkan Lutfi disana.”

Ramadhan Lutfi Aerli, putra pasangan Eri Wirya, dan Lili Wirmaria ini telah pergi. Anak pertama dari dua bersaudara berumur 9 tahun ini menghembuskan nafas pada Rabu (21/10/15) pukul 04.45. Dari pemeriksaan dokter, terjadi penipisan oksigen di jantung. Paru-paru Lutfi, tampak berawan. Kala itu, di Pekanbaru, kabut asap kebakaran hutan dan lahan memang masih pekat.

Eri, sang ayah menyambut para pelayat. Usai kembali dari pemakaman, pintu rumah kembali terbuka. Pelayat bergantian masuk temui Eri dan Lili. Si ibu menceritakan kronologis meninggalnya putra pertama mereka sambil menahan air mata. Keduaorangutan ini berusaha menahan menangis, walau air mata tampang menggenangi kedua matanya.

“Dia tak pernah sakit-sakit sebelumnya,” kata Eri.

Aktivitas Lutfi seperti biasa. Bersekolah dan bermain dengan adiknya, Arif. “Hari Senin itu dia sekolah dan sehat-sehat saja.”

Pada 19 Oktober, Eri mengantarkan Lutfi ke sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Pekanbaru. Biasa Lutfi selesai sekolah pukul 16.00, karena asap pukul 12.00, anak-anak boleh pulang.

Pengumuman sekolah diliburkan. Lutfi masih baik-baik saja. Begitupun keesokan hari.

Warga yang datang melayat ke rumah Lutfi. Foto: Nurul Fitria
Warga yang datang melayat ke rumah Lutfi. Foto: Nurul Fitria

Pukul 10.00 pagi Selasa (20/10/15) Lutfi bangun tidur. Dia bermain dengan Arif dan berebut menggunakan komputer di ruangan depan rumah. Tidak ada hal aneh.

“Pukul 12.00 dia minta dibelikan obat sama ibunya.” Lutfi merasa badan panas, setelah dicek Lili dia segera membelikan obat demam menurunkan panas anak. Usai diberi obat, Lutfi tidur hingga pukul 19.00. Ketika bangun dia kembali memanggil ibu dan minta dibelikan nasi goreng pedas. “Dia tak pernah minta nasi goreng pedas,” kenang Eri.

Menuruti kemauan anak, nasi gorengpun dibeli. Saat Eri menyuapi, tak banyak nasi dimakan Lutfi. Dia minta putranya banyak minum air dan kembali beristirahat. Lutffi memilih tiduran sambil menonton televisi. Hingga pukul 10.30, Lili menelpon kedua putranya ingin dibelikan makanan apa. “Waktu itu istri saya baru menutup kedai, saya tanya ke Lutfi tetapi tak ada jawaban.”

Tak ada jawaban, Eri serahkan telepon ke putra bungsu dan mengecek Lutfi. “Ternyata dia sudah muntah banyak. Hanya terdiam saja.”

Eri segera membersihkan tubuh Lutfi dan mengganti seluruh pakaian. Bertepatan dengan Lili kembali ke rumah, segera mengecek Lutfi sambil merangkul. Dalam rangkulan ibu, Lutfi kembali muntah, demam bertambah tinggi dan badan mulai kejang-kejang.

Mereka segera membawa anaknya ke Rumah Sakit Santa Maria. Mereka tiba di RS sekitar pukul 12.30 dini hari. Lutfi dibawa ke ruangan Intensive Care Unit (ICU) untuk perawatan intensif. Alat bantu pernafasan segera diberikan dan beberapa tindakan medis lain.

Eripun mendapatkan penjelasan Lutfi harus dirawat. Dia mengamini dan berharap Lutfi baik-baik saja..

Namun Lutfi sempat kehilangan kesadaran dan kondisi makin tak stabil pukul 3.00 dinihari. Monitor pasien menunjukkan pergerakan, terkadang detak jantung berhenti atau berdetak sangat cepat. Dokter segera mengambil tindakan dengan alat pacu jantung defibrillator dan pompa nafas. “Saya melihat itu sudah tak sanggup, saya langsung keluar,” ujar Eri.

Berbagai tindakan diambil, hingga satu jam berselang Eri kembali masuk ke ruangan. “Itu sekitar sudah dekat adzan subuh, saya masuk dan lihat ibunya tertunduk lesu dan bilang Lutfi sudah tak ada.”

Teman-teman sepermainan Lutfi di rumah. Foto: Nurul Fitria
Teman-teman sepermainan Lutfi di rumah. Foto: Nurul Fitria

Mendengar kabar ini Eri sudah pasrah. Dia segera menemui dokter yang menangani untuk mendapatkan penjelasan.

Menurut keterangan dokter, Lutfi tiba di RS sudah kondisi kritis, penanganan selama tiga jam tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Dokterpun memperlihatkan hasil rontgen tubuh Lutfi. Dari penjelasan dokter, terjadi penipisan oksigen di jantung Lutfi. “Hasil rontgen nampak kayak di paru-paru itu berawan.”

Eri menjelaskan, Lutfi tak punya riwayat sakit apapun. Dia sehat dan bobot terakhir berat tubuh saat ditimbang 45 kilogram. Eri tak menyangka anaknya mendadak kejang-kejang seperti itu dan meninggal. “Waktu asap mulai Agustus lalu dia ada batuk, tetapi cuma sesekali. Selebihnya sehat.”

Di lingkungan rumah, Lutfi dikenal sebagai anak periang dan baik. Dia sering bermain internet di warung internet sebelah rumah.

“Dia itu baik, kalau disuruh jaga main sembunyian dia mau,” ujar Vina. Dia sudah berteman dengan Lutfi sejak di Taman kanak-kanak.

“Kalau dia dipukulpun tak mau balas,” cerita Azizah, seumuran dengan Lutfi. Di gang kecil itu Lutfi dan anak-anak lain sering bermain petak umpet, kejar-kejaran ataupun bermain games di internet.

“Kami minta Pak Presiden bantu orang-orang disini,” ujar Vina. Dia sedih, sudah banyak orang menderita karena asap. Dia dan beberapa anak lain berteriak bergantian sampaikan pesan mereka untuk Presiden.

“Tolong bantu hilangkan asap disini Pak Presiden.”

Eri menyampaikan pesan kepada pemerintah. Dia berharap, segera ada tindakan cepat menghilangkan asap. “Cukup sudah memakan korban anak saya. Jangan ada lagi korban-korban selanjutnya. Ini sudah jadi tragedi yang sangat berbahaya,” ujar Eri.

Azlaini Agus, Tokoh Masyarakat Riau menyayangkan kembali ada korban. “Ini tragedi sangat memilukan.”

Dia menyampaikan, anak-anak belum memiliki imun tubuh kuat menghadapi kondisi udara sangat berbahaya ini. Dia meminta, pemerintah meliburkan murid. Jangan hanya memenuhi standar kurikulum saja, juga harus memikirkan kondisi dari anak-anak.

Seorang warga tampak tengah mengambil gambar papan ISPU yang menunjukkan level berbahaya dengan ponselnya. Foto: Nurul Fitria
Seorang warga tampak tengah mengambil gambar papan ISPU yang menunjukkan level berbahaya dengan ponselnya. Foto: Nurul Fitria

Bukan hanya Lutfi yang menjadi korban asap. Sebelumnya, ada Muhanum Anggriawati (12) meninggal pada 10 September 2015. Lalu bayi 21 bulan, Nafizah Azahra pada 1 Oktober serta mantan Sekda Pekanbaru, Yuzamri Yakub 6 Oktober. Korban lain Muhammad Iqbal Hali berumur (31) meninggal 6 Oktober. Dia PNS di Kantor Wilayah Kementerian Agama Riau.

Korban meninggal dipicu kabut asap pekat. Hingga Jumat (23 /10/15) Indeks Standar Pencemaran Udara di Pekanbaru tak bergerak dari level berbahaya.

PM10 mencapai 600 Psi. Data BNPB pantauan satelit Terra Versi NEA ada 14 hotspot di Bengkalis, Pelalawan dan Siak (5), Indragiri Hilir (2), Indragiri Hulu (17) dan Meranti (2). Jarak pandang di Pekanbaru sekitar 100 sampai 200 meter.

Data dari Dinas Kesehatan Riau sampai 20 Oktober 2015 total ada 66.234 penderita ISPA, 1.076 pneumonia, 3.073 asma, iritasi mata 3.693 dan 4.875 menderita iritasi kulit.

Korban asap tak hanya di Riau, di daerah lain di Sumatera, Kalimantan hingga Papua, juga mengalami. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, dampak asap menyebabkan setidaknya 10 orang meninggal dunia di Sumatera dan Kalimantan. “Baik dampak langsung dan tak langsung.”

Dampak langsung, katanya, korban meninggal saat memadamkan api lalu ikut terbakar. Sedangkan tidak langsung adalah korban sakit akibat asap, atau sebelumnya punya riwayat sakit lalu ada asap jadi parah.

Menurut dia, 10 korban tewas ini di luar tujuh orang meninggal dan dua kritis saat mendaki Gunung Lawu di Magetan, Jawa Timur.

Bencana asap, katanya, juga menyebabkan 503.874 jiwa sakit ISPA di enam provinsi sejak 1 Juli-23 Oktober 2015. Dengan rincian masing-masing provinsi, Riau 80.263, Jambi 129.229, Sumsel 101.333, Kalbar 43.477, Kalteng 52.142 dan Kalsel 97.430.

“Kemungkinan jumlah penderita yang sebenarnya lebih daripada itu karena sebagian masyarakat sakit tidak berobat ke Puskesmas atau rumah sakit. Mereka berobat mandiri hingga tidak tercatat,” katanya dalam informasi kepada media.

Lebih dari 43 juta jiwa penduduk terpapar asap. Data ini hanya dihitung di Sumatera dan Kalimantan.

Dia mengatakan, bencana asap karhutla ini buatan manusia. “Ini kejahatan kemanusiaan luar biasa. Sekarang saatnya kita tidak saling menyalahkan tetapi bagaimana mengatasi cepat. Dengan skala kebakaran yang demikian luas tidak mungkin satu dua minggu minggu kebakaran akan padam. Semua ikhtiar kita lakukan bersama.”

Tindak cepat selamatkan warga

Boy Jerry Even Sembiring, Deputi Direktur Eksekutif Walhi Wilayah Riau menyesalkan korban meninggal bertambah karena asap ini. Seharusnya pemerintah bertindak cepat mengatasi persoalan ini. Dia menekankan, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Keputusan nomor 289/Menkes/SK/III/2003 soal prosedur pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan.

Dalam Kepmenkes ini dijelaskan, jika ISPU menunjukkan antara 300 -399 maka aktivitas kantor dan sekolah harus menggunakan AC atau penyaring udara (air purifier). Jika ISPU lebih 400, semua masyarakat harus tinggal di rumah serta pintu dan jendela harus ditutup. Pemerintah juga harus segera evakuasi selektif bagi orang berisiko seperti balita, ibu hamil, orang tua dan penderita gangguan pernapasan ke tempat atau ruangan bebas pencemaran udara. “Tapi ini belum dilakukan juga toh.”

Dia meminta tanggungjawab negara. Negara juga harus cepat dan tegas menindak tegas terhadap korporasi pembakar lahan. “Sudah tidak diperlukan lagi ngomong, yang penting sekarang action.”

Pemerintah juga dapat melakukan hak gugat negara terhadap korporasi sesuai Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Ini bisa berupa sanksi administrasi.” Untuk jangka panjang, Presiden harus review izin-izin kepada korporasi.

Kabut asap pekat belum juga pergi dari Pekanbaru, Riau...Foto: Nurul Fitria
Kabut asap pekat belum juga pergi dari Pekanbaru, Riau…Foto: Nurul Fitria
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,