Suasana Sabtu pagi di Taman Tebet, Jakarta, begitu meriah. Tampak stan-stan petani lokal berjajar. Ada dari Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga Nusa Tenggara Timur. Beragam produk pangan lokal dan organik dari sayur mayur, bumbu, teh herbal, dan lain-lain dijual. Ada 28 komunitas, 20 perajin termasuk dari Jakarta.
“Wortel ini organik. Ditanam di Sarongge, kaki Gunung Gede Pangrango,” kata penjaga stan.
Inilah Festival Desa, yang diselenggarakan 24-25 Oktober itu memang khusus mempromosikan pangan lokal bagi masyarakat urban. Kali ini agenda bertajuk Lets Move, Eat Local. Ikut juga komunitas pecinta ular, yang memberikan informasi dan edukasi seputar satwa ini. Komunitas ini mengajak warga jangan membunuh ular sekaligus memberi tips-tips penanganan seandainya ada yang tergigit.
Parman dari Sulawesi Barat mengatakan, meskipun petani dan nelayan komunitas kecil, tetapi mereka bisa menyediakan pangan bagi 250 juta lebih masyarakat Indonesia. Dia bersama kelompok tani mengembangkan kakao.
“Kami kakao lestari, tidak merusak hutan sekaligus menjaga lingkungan, menggunakan konsep efisiensi lahan. Semua produk kami organik tanpa pestisida,” katanya.
Kegiatan ini agenda tahunan sejak 2012. “Kami memulai Festival Desa 2012. Tiga tahun sebelumnya di Bumi Perkemahan Ragunan. Karena sedang renovasi, tahun ini kami di Taman Tebet,” kata Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator acara.

Aktivis Perkumpulan Indonesia Berseru juga Aliansi untuk Desa Sejahtera itu mengatakan, Festival Desa dirancang mempertemukan produsen dan konsumen, terutama produsen pedesaan dengan konsumen perkotaan. Juga, untuk menyambung silaturahmi yang selama ini terputus antarsesama petani.
“Kami mengangkat pangan lokal. Karena situasi di Indonesia pangan sangat mengkhawatirkan. Kalau bahasa kami, Indonesia darurat pangan.”
Pernyataan Tejo bukan asal. Dia melihat data-data impor pangan terus meningkat. Laju kehilangan lahan terjadi sangat cepat hingga produsen (petani) menurun drastis.
“Kegiatan ini tak hanya seremonial. Juga menghubungkan hulu ke hilir, bagaimana, misal, diversifikasi pangan. Ada sesi workshop pengolahan pangan dan masak-masak juga.”
Salah satu yang menarik pertemuan sekitar 20 petani muda Yogyakarta, Garut, Tasikmalaya dan Cianjur.
“Minat anak muda menjadi petani sebenarnya besar. Cuma mereka kebanyakan dilarang orangtua. Lebih baik kerja di industri atau kota. Kita ingin mengubah paradigma itu. Lewat kegiatan ini mereka dipertemukan untuk saling bercerita dan mengenalikan potensi daerah sekaligus saling dukung,” katanya.

Khusus nelayan, dalam gelaran itu menonjolkan kaum perempuan sebab pengakuan negara terhadap perempuan nelayan tidak ada. “Kita ingin mereka dihargai.”
Salah satu dukungan terhadap perempuan nelayan terlihat di stan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Ada aneka pangan dari mangrove, keripik, teh, sirup hingga kecap dengan citarasa khas pesisir yang sedikit asin.
Juniati, ketua presidium PPNI mengatakan, pangan dibuat tanpa bahan pengawet. “Harapan saya makin banyak orang membeli pangan dan perikanan dari perempuan nelayan desa di berbagai daerah. Membeli produk kami, berarti berperan melestarikan lingkungan dan menambah penghasilan ibu-ibu nelayan.”
PPNI bersama Kiara juga menggalang donasi mangrove untuk kehidupan. Pengunjung bisa mendonasikan uang Rp10.000. dana ini untuk penanaman sekaligus pemberdayaan masyarakat pesisir.
“Donasi berangkat dari kepedulian kasus Langkat. Hutan mangrove diekspansi jadi sawit,” kata Susan Herawati koordinator monitoring dan evaluasi Kiara.



