,

Drone, Teknologi Inklusif untuk Masyarakat

Pemerintah boleh membatasi penggunaan drone, namun harus membuka mata. Banyak hal terjawab dengan drone. “Drone adalah solusi terkait biaya, waktu, dan medan tempuh untuk pengamatan suatu wilayah,” ujar Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute.

Keresahan Hermawansyah ini terkait dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak yang terbit 12 Mei 2015. Dalam poin 4 lembar lampiran aturan itu dituliskan, drone yang digunakan untuk kepentingan pemotretan, pemetaan, dan film harus melampirkan surat izin dari institusi yang berwenang dan pemerintah daerah yang wilayahnya akan dipotret, dipetakan, atau difilmkan.

Sejatinya, sejak 2011, Swandiri Institute telah mengembangkan drone untuk berbagai kepentingan masyarakat. Bersama Irendra Radjawali, staf pengajar dari Bonn University, lembaga riset ini telah mengembangkan drone yang jauh lebih murah. ”Drone ini dikembangkan untuk pengamatan kawasan hutan dan daerah aliran sungai, serta pemetaan wilayah kelola pedesaan, atau wilayah adat,” ujarnya belum lama ini di Pontianak.

Drone alias UAV (Unmanned Aerial Vehicle) merupakan teknologi pesawat terbang tanpa awak melalui kendali jarak jauh penerbang dengan menggunakan hukum aerodinamika. Dalam perkembangannya, drone banyak digunakan untuk kegiatan masyarakat sipil seperti pemantauan wilayah pertanian, daerah kebakaran, hingga penelitian.

Menurut Hermawansyah, Pemerintah Kabupaten Kayong Utara begitu tertarik memanfaatkan drone untuk promosi pariwisata. Hasilnya, video tersebut sudah disaksikan ribuan orang. Swandiri Institute bahkan telah menginisiasi drone pangan. “Dengan menggunakan drone, petani bisa memantau tumbuh kembang tanaman. Deteksi dini hama dan penyakit tanaman dari udara ini hasilnya sangat detil, lebih detil dari citra satelit.”

Bahkan, jika Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat memerlukan pengamatan detil untuk areal kebakaran hutan dan lahan, Swandiri Institute siap membantu. “Kami ingin teknologi ini bisa dimanfaatkan masyarakat luas. Dengan adanya dana desa, nantinya warga bisa merakit drone untuk kepentingan yang bermanfaat,” tambahnya.

Drone dapat dipergunakan untuk keperluan potret udara. Foto: Indra Nugraha

School of Drone

Bekerja sama dengan Publish What You Pay Indonesia, Swandiri Institute menyelenggarakan School of Drone, awal Oktober lalu. Temanya adalah Teknologi Inklusif untuk Masyarakat. Istilah ini dipakai, karena drone merupakan teknologi yang menyentuh dasar permasalahan, dan relatif mudah untuk diterapkan.

Arif Munandar, peneliti dari Swandiri Institute menuturkan, semangat Swandiri Institute agar teknologi ini dikenal luas dan bermanfaat bagi masyarakat merupakan tujuan utamanya. “Drone dapat menjawab kesulitan aksesibilitas di lapangan, termasuk masalah citra satelit yang kurang detil. Tingkat kedetilan citra satelit adalah 15 x 15 meter, sedangkan drone mampu menghasilkan pengamatan 2 centimeter per pixel.”

Drone juga menjawab kelemahan pencitraan satelit, yang masih sering terganggu awan. “Drone terbang di bawah awan, sehingga bisa merekam lebih detail. Biayanya jauh lebih murah,” kata Arif lagi.

Drone yang dirakit oleh Swandiri Institute tubuh pesawatnya dibuat sendiri. Ada yang dari styrofoam atau kayu dan bentuknya ada dua jenis, multicopter dan fixed wings. “Bentuk pesawat dipilih untuk pengamatan lantaran lebih ringan dan hemat baterai. Drone jenis copter mengandalkan gaya angkat dari baling-baling, sangat boros baterai, umumnya hanya bisa terbang maksimal 20 menit. Sedangkan jenis pesawat dengan tubuh styrofoam mampu terbang lebih dari satu jam karena ringan,” ujar Arif.

Pesawat tanpa awak yang dipamerkan di acara “Naval Unmanned Aerial Vehicle Air Demo” tahun 2005. Sumber: Wikipedia

Investigasi

Drone untuk investigasi belum lama ini digunakan oleh institusi pemerintah. Akhir Agustus 2015, drone rakitan Perguruan Tinggi Teknokrat Bandar Lampung dipakai sebagai perangkat pembantu tugas tim Kejaksaan Tinggi Lampung.

Drone tersebut digunakan untuk kepentingan investigasi dan pemantauan daerah yang sulit diakses secara langsung. Selain kejaksaan, drone rakitan Teknokrat juga telah digunakan Kepolisian Daerah Lampung dan Badan Perencanaaan Daerah Provinsi Lampung. Tugasnya tidak jauh berbeda, membantu personil kepolisian melakukan investigasi dan memantau lokasi yang jauh dari jangkauan.

Arif menuturkan, bercermin dari kegunaan drone, yang bisa memangkas biaya, waktu dan tenaga, regulasi mengenai drone harus benar-benar dikaji. Menurutnya, drone tidak bertentangan dengan upaya adopsi teknologi demi kepentingan masyarakat.

Menurut Arief, tujuan awal Swandiri Institute mengembangkan drone adalah agar masyarakat pedesaan dapat menggunakan teknologi pemantauan secara mandiri dan terjangkau. Swandiri Institute melakukan pendampingan di beberapa kecamatan di Kabupaten Sanggau, terutama masyarakat yang masih mempunyai hutan adat, tembawang atau kebun buah dan wilayah kelola masyarakat. Mereka diajari menggunakan GPS, pemetaan, dan pendataan vegetasi tanaman penutup hutan.

Dengan menggunakan drone, tata guna lahan bisa diamati dan diatur lebih rinci. Kedepannya, sesuai dengan amanat UU Desa, masyarakat pedesaan bisa memiliki drone murah, yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. “Termasuk, untuk memantau tanaman pangan mereka,” papar Arif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,