,

Kebakaran Lahan Gambut, Warga OKI Butuh Air Bersih dan Makanan. Bukan Evakuasi!

Sejumlah warga yang wilayahnya dekat dengan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, mengatakan belum saatnya pemerintah mengevakuasi mereka. Justru, warga butuh bantuan air bersih dan makanan.

“Belum sekarang. Ini bukan letusan gunung berapi. Kami masih dapat hidup sehat. Belumlah kami dievakuasi. Tapi kalau ada yang sakit, seperti balita maupun orangtua akibat kabut asap, ya siapkan saja penampungan dan pelayanan kesehatan di Palembang,” kata Mulyadi, warga Desa Toman, Kecamatan Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Selasa (27/10/15).

Kondisi kemarau panjang dan kebakaran yang terjadi saat ini, membuat warga sangat membutuhkan air bersih dan makanan. “Sumur kami kering. Sungai mengering. Buat mendapatkan air bersih kami menggali sumur lebih dalam, tapi airnya keruh, hanya untuk mandi setelah disaring. Untuk minum, kami terpaksa beli air mineral,” katanya. “Kalau mau bantu kami ya air bersih itu,” lanjutnya.

“Selain itu, karena kemarau hasil getah karet pun menurun. Belum lagi harga karet yang masih murah. Dalam beberapa bulan terakhir, hasil dari kebun karet tidaklah cukup untuk memenuhi makan sehari-hari. Nah, saat ini hidup kami paceklik. Kalau mau bantu, ya makanan selain air bersih,” lanjutnya. Saat ini penghasilan dari getah karet dengan luasan kebun satu hektar berkisar Rp1 juta per bulan.

“Evakuasi? Nantilah. Kami butuh air bersih. Susah kami mencari air bersih selama kemarau ini,” kata Warsi, warga Desa Lebunggajah, Kecamatan Tulungselapan.

Pernyataan Mulyadi dan Warsih tersebut terkait dengan rencana pemerintah pusat untuk melakukan evakuasi warga yang berada di kawasan gambut yang terbakar. Di Kabupaten OKI ada lima kecamatan yang dinilai rentan akan dampak kabut asap, yakni Tulungselapan, Pangkalan Lampan, Air Sugihan, Cengal, dan Sungai Menang.

Terkait rencana evakuasi ini, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKI, M. Lubis, saat rapat persiapan kemungkinan evakuasi warga di lima kecamatan tersebut, Sabtu (24/10/15) mengatakan, sampai saat ini belum ada kasus kesehatan yang berat. Menurutnya, evakuasi dapat dipertimbangkan bila ditemukan kasus kesehatan yang kian memburuk yang diperparah dengan kondisi asap. “Untuk lima kecamatan tersebut kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang terjadi cenderung sedikit.”

Masyarakat di sekitar lahan gambut di Kabupaten OKI, sejak 10 tahun terakhir sebagian besar hidupnya bergantung pada kebun karet. Sawah ladang yang selama ini menjadi tumpuan pangan, tidak digarap lagi. Selain takut ditangkap karena harus membakar lahan gambut sebelum menanam padi, juga memang tidak ada lagi lahan untuk bersawah.

Selain itu, ikan yang sebelumnya menjadi andalan warga, baik untuk makan maupun diperdagangkan sudah habis. “Sejak lahan gambut diolah sejumlah perusahaan menjadi kebun, kami tidak dapat lagi mendapatkan ikan. Sungai-sungai yang ada airnya mengerin,” kata Gani, warga Desa Tulungseluang, Kecamatan Tulungselapan, beberapa waktu lalu.

“Dulu ikan-ikan yang dimakan warga Palembang sebagian besar dari sini. Sekarang kami mau masak pindang ikan saja sulit,” kata Gani.

Lahan konsensi sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Kabupaten OKI, Sumsel yang terbakar. Foto: Gita Rolis
Lahan konsensi sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Kabupaten OKI, Sumsel yang terbakar. Foto: Gita Rolis

Pemiskinan

Sebelumnya, Hendri Saragih dari Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan pengolahan lahan gambut oleh sejumlah perusahaan, baik perusahaan perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI) di Sumatera Selatan, bukan hanya menyebabkan kerusakan lahan gambut bersama kekayaan hayati dan situs sejarah, juga memiskinkan masyarakat yang umumnya petani.

Selain itu, upaya bisnis perkebunan yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan masyarakat, seperti perkebunan karet, menyebabkan para petani hidup bergantung dengan permainan pasar global.

“Ketika harga karet turun, mereka hidup miskin. Bahkan seperti saat ini mereka mengalami kesulitan makan,” kata Hendri.

Bencana kabut asap sebenarnya penderitaan lain dari berbagai penderitaan mereka. “Jika mereka makmur, mungkin mereka sudah pergi meninggalkan desa karena kabut asap. Tapi jangankan ongkos, buat makan sehari-hari saja mereka kesulitan,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan fasilitas dan mendorong masyarakat di pedesaan untuk kembali hidup sebagai petani sesungguhnya. “Mereka harus  menanam padi, sayuran, buahan, serta sungai dan rawa gambut sebagai penghasil ikan tetap dijamin keberadaannya,” katanya. “Caranya beri mereka lahan buat bertani, termasuk pula modalnya,” tambahnya.

Rustandi Adriansyah, ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel mengatakan kehidupan petani di wilayah lahan gambut saat ini sudah lepas dari nilai-nilai adatnya. “Hutan dan lahan gambut yang dirusak untuk kepentingan perkebunan dan industri mengubah kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak lagi hidup berdasarkan nilai-nilai yang sebelumnya sangat menjunjung kebersamaan dan arif terhadap alam.”

“Hidupkan kembali masyarakat adat, saya percaya persoalan yang dialami masyarakat di sekitar lahan gambut akan terselamatkan. Hidup makmur, sehat dan tenang seperti di masa lalu,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,