,

Sudah Saatnya, Pemerintah Bebaskan Lahan Gambut dari Aktivitas Perusahaan

Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut 2015 yang menyebabkan kesengsaraan dan merenggut korban jiwa, merupakan puncak dari kerusakan hutan dan lahan gambut di Indonesia. Pemerintah harus mengeluarkan komitmen untuk membebaskan lahan gambut dan hutan dari aktivitas perusahaan.

Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia sudah berjalan selama 18 tahun. Berbagai langkah yang melibatkan banyak pihak sudah dilakukan pemerintah, tapi selalu gagal. Jadi, pemerintah jangan lagi berharap mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut ini. ”Sudah saatnya, bebaskan lahan gambut dari aktivitas perusahaan. Fakta menunjukkan, lahan yang dikuasai perusahaan banyak yang terbakar, dan menyebabkan kabut asap,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, Senin (26/10/15).

Rustandi mempertanyakan sikap pemerintah, yang sama sekali tidak melihat kebakaran hutan dan lahan gambut, sebagai kegagalan mengelola hutan dan lahan. “Kami menilai pemerintah memandang kebakaran hutan dan lahan gambut sebagai bencana akibat kelalaian pihak lain, termasuk masyarakat. Padahal, kebakaran ini disebabkan menurunnya kualitas hutan dan lahan gambut  akibat aktivitas perkebunan, pertambangan, maupun hutan tanaman industri (HTI).”

“Presiden Jokowi harus mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan semua aktivitas perusahaan di wilayah lahan gambut dan hutan, setelah bencana kabut asap ini diselesaikan. Para politisi, terutama para anggota dewan, juga harus mendukung hal ini. Jangan lagi berpihak dengan perusahaan. Cukup sudah penderitaan masyarakat Indonesia atas kebakaran ini,” kata Rustandi.

Dr. Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang mengatakan, kebijakan pembangunan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan neolib. Sangat sulit rasanya para pemimpin, baik di daerah maupun pusat untuk mengambil langkah yang akan merugikan para pelaku usaha. “Termasuk pula para politisi. Sudah rahasia umum, jika para politisi terlibat dalam bisnis perkebunan, pertambangan, yang merusak hutan dan lahan gambut.”

“Namun jika pemerintah memang bekerja untuk mengamalkan ideologi Pancasila, maka harapan tersebut dapat terwujud. Pancasila jelas-jelas mengarahkan bangsa Indonesia sangat arif dalam membangun diri, termasuk dalam mengelola sumber daya alam dan manusianya,” kata Tarech.

Lahan konsensi sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Kabupaten OKI, Sumsel yang terbakar. Foto: Gita Rolis

Pemahaman

Dian Maulina, aktivis perempuan di Palembang yang juga fasilitator pendidikan kelompok perempuan di pedesaan terkait lingkungan hidup, menjelaskan solusi pemberian lahan terbakar kepada para petani bukan langkah yang dapat dipastikan mencegah kebakaran hutan di masa mendatang.

“Pemberian lahan yang terbakar itu merupakan pintu masuk pencegahan kerusakan lahan gambut. Tapi, yang paling penting adalah pemahaman mengenai pemanfaatan lahan gambut itu sendiri. Artinya, jika lahan diberikan, tapi masyarakat tidak paham memanfaatkannya, bencana kebakaran tetap mengancam atau akan terjadi di masa mendatang,” katanya.

Sebenarnya, nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut sudah muncul pada kehidupan masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut. “Tapi, nilai-nilai tersebut kini habis karena orientasi pembangunan ekonomi yang tidak berbasis lingkungan hidup, serta masuknya budaya perilaku negatif seperti narkoba. Orang yang kecanduan narkoba itu mau melakukan apa saja, termasuk merusak hutan dan lahan gambut guna mendapatkan uang.”

Pemerintah maupun pegiat lingkungan hidup, harus membangun kesadaran ini. Baik bagi pelaksana pemerintah, pelaku usaha, kelompok muda, kaum profesional, tokoh agama, maupun masyarakat di pedesaan. “Bencana kebakaran ini peringatan keras bagi kita semua. Guna memperbaikinya, pemerintah harus terbuka untuk menampung semua upaya perbaikan dan masukan demi terciptanya kondisi lingkungan yang lebih baik,” jelas Dian.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,