“Anda itu jangan jadi sok alim wan, kalau anda dji lain hari tentang memberitakan pasir anda aku bondet rumah atau Anda wan waktu jalan ke mana pun aku skrang dekat dari rumah mu jok kenapa mas Agus Yuda jugak di britakan apa lagi sampek di panggil KPK, Anda aku akan ku bondet rumah mu wan was salam team sak masek mutiara halem aku sahril klakah cobak aku lapor kan ke polres sebelum melangkah, Anda udah tewas bagi wartawan yang memberitakan tentang kasus lumajang jangan enak2 entar lg pasti ada yang kenak mercon bantingan. Was salam semua team 32 lumajang.”
Begitu pesan ancaman yang masuk ke telepon seluler Wawan Sugiarto, wartawan TV One, pada 5 November lalu. Teror senada lewat SMS juga diterima wartawan Kompas TV dan JTV. Mereka memang aktif mengangkat kasus tambang pasir ilegal di Lumajang ini. Sebelum itu, 31 Oktober, Abdul Hamid, rekan aktivis anti tambang pasir Lumajang, Salim Kancil juga mendapat teror. Rumah Hamid dilempari batu oleh adik Kepala Desa Selok Awar-awar hingga kaca pecah.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, kondisi ini menunjukkan Desa Selok Awar-awar belum aman pasca 32 tertangkap atas pembunuhan Salim Kancil. “Teror ini serius. Ketika tiga jurnalis mendapatkan teror kami langsung konsolidasi memastikan keselamatan teman-teman. Kami ambil inisiatif lapor ke Polda Jatim. Karena penguasa lokal terbukti terlibat dalam konspirasi ini,” kata Ketua Umum AJI, Suwarjono di Jakarta, Senin (9/11/15).
Mereka lapor ke Polda Jatim di Surabaya sore hari setelah tiga jurnalis menerima ancaman.“Isi pesan singkat itu menyebut nama Ketua DPRD yang mencalonkan diri sebagai bupati. Dia meminta pemberitaan tak diteruskan dan jangan sampai diperiksa KPK. Tampaknya penangkapan beberapa tokoh dan kepala desa tak menyurutkan pelaku lain meneror.”
Dia meminta polisi menangkap penyebar teror karena meresahkan dan menimbulkan rasa tak aman.“Teman-teman ketakutan tak bisa membuat liputan dengan jernih karena ada ancaman. Sebenarnya yang merasa keberatan dengan pemberitaan ada mekanisme bisa ditempuh. Tidak teror.”
Dia a juga meminta LPSK melindungi ketiga jurnalis sama seperti Tosan. “AJI juga meminta media bersangkutan memberikan perlindungan pada jurnalisnya,” katanya.
Pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (TLBHI) Wahyu Nandang Herawan mengatakan, teror terjadi karena ada kepentingan pihak yang merasa terusik.“Ini penting agar polisi menegakkan hukum dan perlindungan. Mereka tetap berkeliaran. Ada pelaku lain belum terjerat. Kami menuntut keras polisi menangkap aktor lain. Bukan hanya orang lapangan juga otak pengintimidasi dan teror.”
Aktivis KontraS Ananto mengatakan, berbagai ancaman terhadap aktivis dan wartawan merupakan bukti ketidakseriusan polisi. Sejauh ini, katanya. kepolisian baru menangkap 32 orang, padahal yang terlibat masih banyak.
“Pengakuan Pak Tosan, saat kejadian lebih 32 orang. Bahkan bisa 50 orang. Polisi juga belum menangkap aktor intelektual. Hanya sebatas kepala desa,” katanya.
Ananto mengatakan, banyak pihak belum tersentuh, seperti kepolisian, Perhutani, hingga DPRD Lumajang.
Dia juga menyoroti peran LPSK yang tidak berhasil menerapkan UU Perlindungan Saksi dan Korban. “Pak Tosan bersama rekan-rekan akan ke Jakarta Jumat lalu untuk advokasi namun ditolak LPSK. Alasanya LPSK tidak bisa menjamin keselamatan.” Pasca pelarangan, katanya, justru terjadi perusakan rumah Hamid hingga teror ke tiga jurnalis.
Tersangka penebar teror
Pada Sabtu (7/11/15), polisi mengamankan HL, atau Palil. Setelah pemeriksaan, pada Senin malam (9/11/15), dia ditetapkan sebagai tersangka penyebar teror. Palil, bagian dari Team 32, merupakan kelompok preman Lumajang, yang jadi kaki tangan penambang pasir ilegal.
“Dia masih menjalani pemeriksaan intensif Ditreskrimum. Ada dugaan HL yang dalam SMS mengatasnamakan Tim 32, sebutan lain dari 32 orang komunitas para preman di Lumajang itu, tidak bekerja sendirian,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jatim Kombes Pol Prabowo Argo Yuwono Senin (9/11/15), dikutip dari sp.beritasatu.com. Kini, polisi terus mengejar rekan kelompok Palil.