,

Negara Perlu Bangun Shelter Khusus Satwa Sitaan

Negara dinilai perlu membangun shelter atau pusat penyelamatan satwa (PPS) khusus untuk menampung dan merawat sejumlah satwa sitaan dari perdagangan ilegal maupun perburuan liar.

Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, keberadaan shelter sangatlah penting. Selama ini, satwa sitaan seringkali dititipkan ke lembaga koservasi atau dibiarkan kurang terurus di tempat penampungan sementara milik BKSDA.

“Ketika kita bicara penegakan hukum terkait perdagangan satwa liar, keberadaan shelter menjadi sangat penting,” kata Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia di Malang, Jawa Timur, awal minggu ini.

Penitipan satwa liar yang disita dari koleksi pribadi, pasar burung, maupun perdagangan, biasanya dititipkan di kebun binatang dan taman safari. Namun, tidak semua lembaga konservasi di Indonesia memiliki program rehabilitasi. Selain itu, lembaga konservasi lebih suka menampung satwa yang secara tampilan menarik, sehingga dapat dipertontonkan kepada pengunjung.

Bagaimana dengan jenis satwa yang tidak menarik dan bermasalah secara psikologis atau kesehatan? “Mereka banyak terabaikan, tidak adanya shelter menjadi alasan untuk tidak dilakukannya penyitaan,” lanjutnya.

Pembangunan shelter merupakan keharusan, mengingat Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). “Tempat itu tidak untuk komersil. Satwa akan dilepasliarkan kembali ketika kondisinya sudah baik. Malaysia, Singapura, dan Vietnam memiliki shelter yang dibangun dengan biaya negara. Bagaimana Indonesia?”

Profauna memiliki Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang, sejak 2002. Saat ini, ada lima satwa yang dirawat di beberapa kandang besar. Kebanyakan merupakan jenis monyet atau primata yang mengalami trauma dan penyiksaan.

Salah satunya, seekor lutung budeng bernama Nami, yang diselamatkan dari bencana tsunami di Aceh 2004. Saat ditemukan mengapung, Nami penuh luka dan butuh tiga tahun untuk memulihkan kondisinya. “Dulu, Nami hanya diam, sekarang sudah mau naik-naik,” kata Harianto, keeper-nya Nami.

Selain Nami, ada dua monyet ekor panjang yang diselamatkan dari aksi kekerasan warga. Monyet tersebut ditembaki saat memasuki permukiman di Malang.

Salah satu kandang di PPS Petungsewu, Malang, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski
Salah satu kandang di PPS Petungsewu, Malang, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

Dukungan

Plt. Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) Kebun Binatang Surabaya (KBS), Aschta Tajudin, setuju dengan ide pembangunann PPS, khusus satwa sitaan.

Kebun Binatang Surabaya sebagai lembaga konservasi sering dijadikan alamat penitipan. Kurun waktu 2002-2003, KBS menerima titipan 1.400 satwa yaitu kura-kura batok, biyuku, burung, monyet ekor panjang, ular sawah, hingga buaya. “BKSDA Jawa Timur tidak memiliki fasilitas perawatan untuk satwa itu.”

Menurut Aschta, PDTS KBS sudah tidak mampu lagi mengelola satwa titipan BKSDA, karena terbatasnya tempat dan fasilitas penunjang. Koleksi KBS saat ini sekitar 2.300 satwa di lahan seluas 15 hektar.

Tujuan KBS adalah breeding. Sedangkan satwa sitaan untuk dilepasliarkan. “Kami kewalahan karena perlakuannya memang beda. Sejak 2013, kami tidak lagi menangani satwa sitaan yang sakit parah.”

Aschta mengaskan, hingga kini satwa titipan BKSDA masih dirawat di KBS, dan tidak tahu sampai kapan dipelihara atau dipindahkan. “Biasanya lama, meski di surat hanya enam bulan dititipkan, faktanya tahunan.”

Keberadaan PPS yang khusus menangani satwa sitaan memang penting. Terutama di Surabaya dan Jawa Timur keseluruhan yang sering dijadikan perlintasan perdagangan, apakah dari timur Indonesia atau sebaliknya. “Spesialisasi dan penanganannya berbeda. Banyak yang tertekan di perjalanan, jadi tidak bisa digabungkan,” pungkas Aschta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,