,

Gawat! Surabaya Jadi Wilayah Penyelundupan Burung Liar

Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya menggagalkan penyelundupan 200 individu burung cica-daun besar di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang dibawa dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kasus ini diungkap pada 11 November 2015.

“Dari laporan masyarakat, petugas kami berhasil menggagalkan penyelundupan burung tanpa dokumen karantina dari tempat asalnya,” kata Retno Oktorina, Kabid Pengawasan dan Penindakan Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Rabu (11/11/15).

Modus penyelundupan Chloropsis sonnerati ini adalah dengan menyembunyikannya di salah satu ruang anak buah kapal (ABK). Tujuannya, agar tidak mudah diendus petugas saat Kapal Motor Satria Kencana yang membawa burung-burung tersebut merapat. “Dari 200 individu itu, 25 individu mati di perjalanan,” ujar Retno.

Sehari sebelumnya, 10 November, petugas gabungan dari Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak, Polair, dan BKSDA Jawa Timur, juga menyita 1.014 individu burung yang terdiri dari 10 jenis.

Ribuan burung yang mayoritas adalah cica-daun besar ini dibawa dari Banjarmasin menggunakan Kapal Motor (KM) Gurbang Nusantara 1. Selain cica-daun besar, ada juga burung beo, ciung-air coreng, pelatuk, kolibri, puyuh, murai batu, dan serindit melayu.

“Sayang, pelaku melarikan diri. Kalau sehari sebelumnya, ada tiga pelaku tertangkap. Kami masih menyelidiki apakah ada keterkaitannya,” ujar Retno.

Menurut Retno, pengungkapan ini merupakan amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, khususnya dalam mengawasi keamanan hayati, hewani dan nabati di Indonesia. “Meski ini bukan satwa dilindungi, tapi kami menindaknya karena tidak ada dokumen karantina.”

Perdagangan cica-daun besar makin marak dalam beberapa waktu terakhir, yang perburuannya berasal dari alam liar di Kalimantan dan Sumatera. Kebanyakan, perdagangan burung ini dilakukan bebas di pasar burung, serta melalui media online. Selain cica-daun besar, cucak rawa dan murai batu merupakan jenis yang paling dicari atau diperdagangkan.

“Pasaran cica-daun besar mulai Rp350.000 hingga Rp800.000, tergantung umurnya. Untuk cucak rawa bisa sampai 4,5 hingga 5 juta rupiah per individu. Ini bisa dibeli di pasar burung mana saja,” tutur Budi, salah satu penggemar sekaligus penjual burung di Surabaya.

Surabaya dalam beberapa bulan terakhir menjadi tempat penyelundupan satwa liar dari Kalimantan dan timur Indonesia. Jenis burung yang berusaha diselundupkan antara lain kakatua jambul kuning dan elang, serta berbagai jenis satwa dalam bentuk awetan.

Kakaktua jambul kuning diselundupkan dalam botol plastik air minum diamankan petugas dari Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, awal Mei 2015 lalu. Foto: Petrus Riski

Pergeseran

Maraknya perburuan burung di alam liar disesalkan LSM Burung Indonesia, yang menilai penangkapan ini akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Penyelundupan cica-daun besar dan jenis lain di Surabaya, menunjukkan pergeseran perburuan dari yang dilindungi ke jenis yang tidak dilindungi.

“Jumlah tangkapan yang cukup besar ini akan mengakibatkan populasinya di alam  menurun,” kata Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.

Meski cica-daun besar masih berstatus Risiko Rendah, namun tidak menutup kemungkinan statusnya akan bergeser menjadi Kritis bila perburuan di alam liar marak. “Kita ingin jangan ada lagi perburuan di alam, kalau pun mau memelihara sebaiknya diperoleh dari penangkaran.”

Jihad menuturkan, ada beberapa kategori untuk keterancaman spesies di alam, antara lain Rentan, Genting, dan Kritis, berdasarkan besarnya angka pengurangan populasi satwa di alam. Untuk itu, harus ada kebijakan dari pemerintah untuk memperhatikan keterancaman burung yang diburu di alam, meskipun saat ini belum termasuk satwa dilindungi atau terancam punah.

Selain cica-daun besar, ada beberapa jenis yang mulai mengkhawatirkan populasinya akibat perburuan liar. Sebut saja burung kacamata, kacer, serta jenis jalak dan sikatan.

“Jangan ada lagi penangkapan di alam. Ini juga untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit dari burung liar ke burung yang sudah dipelihara,” pungkas Jihad.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,