Penggugat izin reklamasi pantai Pulau G, Jakarta, secara tegas menolak jawaban yang diberikan tergugat, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Penolakan tersebut diungkapkan secara resmi dalam sidang lanjutan gugatan dengan agenda replik yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (12/11/2015).
Kuasa hukum penggugat yang diwakili pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Muhamad Isnur, menyebutkan, pihaknya menolak semua jawaban yang dilayangkan tergugat, karena memang semuanya bisa dibuktikan.
“Kami menolak semua jawaban tergugat, Gubernur DKI Jakarta,” ucap Isnur.
Menurut Isnur, tergugat memang tidak seharusnya memberikan jawaban yang meragukan gugatan dari penggugat. Menurut tergugat, penggugat tidak seharusnya melakukan gugatan karena mereka bukan badan hukum perdata.
Maksud dari jawaban tergugat tersebut, karena penggugat adalah perorangan dan lembaga yang terdiri dari 5 (lima) orang nelayan Jakarta Utara, Kesatuan Aksi untuk Kesejahteraan Nelayan (KIARA) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Jawaban tersebut diungkapkan tergugat dalam sidang sebelumnya yang digelar di tempat yang sama. Selain mempersoalkan status badan hukum penggugat, dalam sidang sebelumnya tersebut, tergugat juga meyakinkan bahwa penerbiitan izin Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera sudah seseusai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Karena dinilai sudah sesuai, tergugat memberikan jawaban dalam sidang sebelumnya, bahwa penggugat tidak mempunyai kepentingan atas penerbitan objek yang menjadi sengketa. Dan juga, gugatan yang dilayangkan penggugat dinilai sudah kadaluarsa saat ini.
Penggugat adalah Pihak Berkepentingan
Akan tetapi, jawaban pihak tergugat tersebut ditegaskan oleh kuassa hukum KNTI Marthin Hadiwinata sebagai jawaban yang tidak tepat. Karena, KNTI merupakan bagian dari masyarakat nelayan dan memiliki kepentingan karena menjadi pihak yang terkena dampak dari proyek reklamasi.
Bersama KIARA dan 5 nelayan, KNTI merasa harus bergerak untuk menyelamatkan teluk Jakarta dari proyek reklamasi. Menurut Marthin, saat ini dampaknya sudah mulai dirasakan oleh nelayan, karena tangkapan ikan mulai berkurang, dan itu mempersulit nelayan untuk melaut.
“Seharusnya, wilayah Teluk Jakarta itu masuk dalam pengelolaan strategis nasional. DKI itu wilayah strategis dan mestinya itu masuk dalam kewenangan Pemerintah Pusat,” ungkap Marthin.
Tergugat Intervensi
Terkait dengan diterimanya PT Muara Wisesa masuk menjadi tergugat intervensi, menurut Marthin itu juga menjadi hal yang janggal. Karena, seharusnya majelis hakim yang diketuai Ujang Abdullah ikut menarik pihak lain yang berkaitan dengan gugatan reklamasi, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Menarik Menteri Susi (Pudjiastuti) sebagai Penggugat Intervensi sangatlah tepat karena pelanggaran kewenangannya yang dinyatakan secara jelas dan nyata. Selain itu, terdapat juga kewajiban Menteri Susi berdasarkan mandat UU Perikanan,” jelas Marthin.
Kewajiban sesuai mandat UU Perikanan tersebut, adalah berkaitan erat dengan fungsi pokok UU Perikanan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan skala kecil. Kata dia, jika fungsi pokok tersebut terganggu karena ada proyek reklamasi, maka kesejahteraan nelayan akan semakin terancam.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, pihaknya akan mempelajari kasus gugatan reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini berlangsung di PTUN Jakarta. Menurut dia, jika memang dimungkinkan, KKP akan masuk sebagai pihak penggugat intervensi.
“Namun sekarang kita belum bisa untuk melangkah kesana. Nanti saya akan konsultasi dengan biro hukum tentang hal ini,” ucap Susi di JIEXpo, Kemayoran.
Diluar hal tersebut, Susi menegaskan bahwa pihaknya saat ini masih terus melakukan pertemuan dengan kementerian terkait lainnya untuk membicarakan masalah reklamasi di tingkat nasional.”Namun yang jelas, saya setuju ada reklamasi, tapi dengan syarat, semuanya sudah terpenuhi. Baik dari konservasi lingkungan, biota laut, kompensasi nelayan dan lain-lain,” tutur dia.
Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Sjarief Widjaja di tempat yang sama mengungkapkan, permasalahan reklamasi Teluk Jakarta yang sekarang bergulir di PTUN Jakarta, terjadi karena ada masing-masing pihak memegang kebijakan yang sama namun berbeda.
Yang dimaksud berbeda, kata Sjarief, pihak DKI Jakarta menjadikan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi sebagai landasan hukum. Sementara, pihak penggugat menggunakan Undang-Undang Nomo 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai landasan hukum.
“Ini harus ada sinkronisasi karena masing-masing landasan hukum benar dan kuat. Tapi, memang kita sebagai KKP juga menggunakan landasan hukum UU No 27 Tahun 2007 dan Perpres No 122 Tahun 2012,” tandas dia.