Negara dinilai belum mampu menjalankan fungsi idealnya dalam memenuhi perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat, termasuk akibat aktivitas perkebunan. Negara juga belum berhasil memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2004 -2014, terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektare. Dampaknya, sekitar 926.700 keluarga harus menghadapi ketidakadilan dengan konflik agraria berkepanjangan.
“Sangat diperlukan model-model penyelesaian konflik antara korporasi dengan masyarakat,” kata Bambang Haryanto dari BH & P Institute dalam Konsultasi Publik Bisnis dan Hak Azasi Manusia Penyusunan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Azasi Manusia: Peluang dan Tantangan, yang digelar Komnas HAM di Palembang, Sabtu (07/11/15).
Di Sumatera Selatan, jelas Bambang, terdapat 84 kasus antara korporasi dengan masyarakat. Yang terbanyak di Kabupaten Lahat sebanyak 18 kasus; 15 kasus dalam proses penyelesaian dan 3 kasus diselesaikan secara hukum. Berikutnya, Kabupaten Muara Enim dengan 12 kasus yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Menurut Bambang, dalam menyelesaikan konflik antara korporasi dengan masyarakat dibutuhkan sejumlah prasyarat. Misalnya, pihak yang berkonflik mempunyai kemauan yang kuat dalam menyelesaikan persoalan (Respect and Remedy), melakukan persiapan dengan baik: data, kepentingan, kebutuhan, mempunyai kewenangan. Artinya, yang terlibat dalam proses penyelesaian adalah orang yang berwenang memutus, adanya keseimbangan kekuatan, keterlibatan dan dukungan seluruh pihak, serta melakukan pembahasan secara holistik dan terbuka.
Nur Kholis, Ketua Komnas HAM, mengatakan konflik yang merupakan pelanggaran HAM tersebut, disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain penguasaan lahan oleh korporsi perkebunan yang sangat besar sehingga tidak memberi kesempatan bagi petani atau masyarakat. Pemerintah memberi fasilitas besar-besaran bagi korporasi tanpa pemberdayaan masyarakat. Kehadiran perkebunan memiskinkan dan menekan kesejahteraan masyarakat. Terakhir, pembiaran konflik berkepanjangan.
Konflik ini memang cukup mencemaskan, sudah banyak peraturan di bidang kehutanan, pertanahan, pertanian, perkebunan, dan lingkungan hidup. “Kini tinggal bagaimana kemauan pemerintah maupun korporasi untuk menegakkan HAM yang terkait dengan aktivitas perkebunan, HTI dan pertambangan,” katanya.
Nur Kholis menjelaskan, PBB pada 2011 telah mengesahkan Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan HAM (UN Guiding Principles on Business and Human Rights- UNGPs). Ada tiga pilar dari UNGPs tersebut. Pertama, kewajiban negara untuk melindungi HAM, yaitu pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis.
Kedua, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM yang berarti tidak melanggar HAM yang diakui secara international dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi. Ketiga, kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.
“Indonesia merupakan negara yang membutuhkan korporasi-korporasi multinasional sebagai upaya penggerak pembangunan, tetapi data Komnas HAM menunjukkan korporasi menempati posisi sangat tinggi sebagai pelaku pelanggaran HAM. Prinsip-prinsip UNGPs sangat dibutuhkan dan harus dijalankan di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan data Komnas HAM dari 2010-2013, korporasi menempati posisi keenam sebagai pihak terlapor atas dugaan pelanggaran HAM. Tahun 2010 sebanyak 1.119 kasus, 2011 (1.068 kasus), 2012 (1.126 kasus), dan 2013 (958 kasus).
Rekomendasi
Kegiatan yang menghadirkan sejumlah narasumber lain seperti Amzulian Rifai dari Universitas Sriwijaya, aktifis lingkungan JJ Polong, para pegiat lingkungan hidup, serta perwakilan dari sejumlah perusahaan multinasional seperti Sinar Mas dan PT. Musi Hutan Persada (MHP), melahirkan sembilan rekomendasi. Tujuannya, sebagai upaya penyelesaian konflik saat ini maupun ke depan.
Sembilan Rekomendasi Penyelesaian Konflik |