,

Robi “Navicula” Bicara Gorontalo dan Alam Indonesia

Sangat jarang menemui musisi di Indonesia yang merupakan aktivis, penulis, pelukis, sekaligus petani. Adalah I Gede Robi Suprianto atau yang dikenal Robi “Navicula” yang tanpa ragu turun berkubang becek menanam padi di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.

Menggunakan celana pendek, kaos oblong hitam, dan topi koboi, sang vokalis dari grup Band Navicula yang dikenal dengan sebutan the green-grunge gentlemen ini, melakukan prosesi mo lapi hulayadu atau menebar benih padi dan mo lude binthe untuk jagung.

Senin, 9 November 2015 itu, Robi berbaur dengan petani di sana menebar benih, dan juga melihat prosesi umonu atau pestisida organik, yang merupakan campuran dedaunan puring, jahe, beras kencur, dan aneka ramuan lainnya. Benih-benih padi itu direndam pada ramuan umonu selama 24 jam. Umonu menjadi vaksin untuk bibit padi secara alami agar tidak diserang hama.

Umonu ini menarik karena sejak dini bibit padi sudah dibuat alami, tidak pakai bahan kimia,” kata Robi.

Di Gorontalo, Robi hadir atas undangan Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo untuk puncak rangkaian kegiatan festival hijau dan aksi komunitas yang digelar di taman kota, Minggu, 8 November 2015.

Warna musik Navicula yang konsisten memperjuangkan lingkungan dan latar belakang hidup Robi yang erat dengan aktivisme, pilihan hidupnya sebagai petani organik, jadi alasan utama mendatangkannya ke Gorontalo.

Di acara, Robi jadi juri tamu untuk festival band hijau. Selain itu ia juga melukis mural untuk menyampaikan pesan-pesannya dalam menjaga bumi. Lukisan Robi di sudut tembok taman kota itu menggambarkan bumi yang dihantam palu dan mengeluarkan koin-koin berwarna kuning yang dilukis selama dua jam. Ia memberi judul lukisan itu, “Overload Consumption”.

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua mahluk hidup, tapi tidak cukup untuk keserakahan manusia,” kata Robi mengutip kata-kata dari pemimpin pembebasan India, Mahatma Gandhi.

Robi dihadapan anak-anak band Gorontalo dan juga pengunjung taman kota memberikan pesan untuk menjaga bumi. Menurutnya, ada tiga hal utama yang harus dilakukan yaitu peduli pada alam, manusia, dan masa depan.

Robi saat menebar benih di sawah milik Awaludin Ahmad di Kabupaten Bone Bolango. Foto: Rahman Dako
Robi saat menebar benih di sawah milik Awaludin Ahmad di Kabupaten Bone Bolango. Foto: Rahman Dako

Petani organik

“Saya seorang petani, memiliki ketertarikan terhadap pertanian organik. Saya juga mengajar di beberapa tempat sebagai pengajar freelance untuk mata pelajaran ekstrakulikuler di sekolah internasional di Bali. Juga, mengajar di mana saja atas undangan beberapa lembaga,” kata Robi ketika diwawancarai Mongabay Indonesia.

Menjadi petani menurutnya adalah pekerjaan mulia. Bertani tidak sekadar bercocok tanam, ada banyak hal yang bisa diimplementasikan, baik menerapkan konsep ekonomi makro maupun mikro. Selain itu, ada kebanggaan sebagai petani karena merupakan identitas bangsa.

“Omong kosong bila bicara lestarikan budaya, kalau kita tidak bicara pertanian dan kemaritiman. Dua hal ini identitas kita, karena Indonesia bukan negara industri.”

Menurut Robi, menjadi petani organik memiliki benang merah dengan isu lingkungan yang selama ini ia perjuangkan. Dengan terjun sebagai petani, ia mendapatkan akses informasi langsung, ditambah dengan bacaan dan diskusi. Informasi ini ia kemas dalam musik dan digunakan sebagai media jurnalisme mengkampanyekan penyelamatan lingkungan.

“Ini dunia saya. Saya mendapatkan informasi cukup banyak tentang lingkungan. Saya menulis dengan tema yang saya cintai. Inilah yang saya sebarkan. Karena menulis yang paling gampang adalah menulis tentang apa yang kita tahu.”

Sebagai band yang sering menyuarakan pentingnya menjaga hutan, Robi memberikan tanggapan mengenai ramainya perkebunan sawit yang mulai ekspansi ke Pulau Sulawesi, khususnya Gorontalo. Menurutnya, bicara sawit bukan lagi kebutuhan, tapi telah masuk pada ranah keserakahan. Mereka orang  kaya yang tidak puas. Orang kaya yang tidak pernah merasa kaya adalah orang miskin.

Robi menambahkan, industri ekstraktif seperti sawit tidak akan berkelanjutan, karena ada umurnya. Sementara masyarakat setempat hanya mendapat ruginya, karena lingkungan mereka yang rusak. Pemerintah daerah, menurutnya yang sebenarnya berkuasa, harus bisa merehabilitasi lahan yang telah diserang perusahaan tersebut. Jika tidak, justru akan menambah rusak.

“Jika tidak cepat ditanggulangi, kita tidak perlu jadi jenius untuk melihat sendiri bahwa pemerintah adalah bagian dari permasalahan,” kata Robi.

Sebab, pemerintahlah yang memberikan izin kepada perusahaan yang mencari profit. Ini tidak sehat untuk Indonesia. Bisnis seperti ini pasti yang disampaikan keuntungan semata, tidak pernah dipaparkan kerugiannya.

Kehadiran perusahaan ini, kata Robi, menyebabkan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal hilang. Selain itu, keseimbangan ekosistem yang hilang justru menimbulkan potensi kerugian lain, seperti bencana alam, asap, serta banjir.

“Itu dihitung saja, apakah percepatan pembangunan ekonomi di atas kertas benar-benar untung atau tidak. Karena kita tidak pernah menghitung kerugian yang ditimbulkannya.”

Robi saat melukis mural di taman kota Gorontalo. Foto: Rahman Dako
Robi saat melukis mural di taman kota Gorontalo. Foto: Rahman Dako

Gorontalo daerah kopra

Meski hanya empat hari di Gorontalo, kesan pertama Robi melihat daerah yang pernah ia kunjungi kala 6 tahun itu adalah banyaknya space untuk ruang terbuka hijau.

“Pembangunan sebaiknya berdasarkan sumber daya lokal yang ada,” ucap penyanyi asal Bali ini ketika diminta tanggapannya tentang Gorontalo.

Ia mencontohkan, jika kulinernya bagus, pada perkembangannya harus didorong agar ada yang menjadi pusat kuliner yang enak. “Saya percaya, mengkonsumsi makanan enak menimbulkan efek kebahagiaan dan kemakmuran. Karena dari tiga kebutuhan primer; sandang, pangan, dan papan; pangan yang paling vital.

Apalagi kalau pangan lokal, kata Robi, semakin dekat jarak sumber makanan berasal dari meja makanannya, maka semakin baik kualitasnya.

Di Sulawesi dan Gorontalo, menurutnya dikenal sebagai daerah kopra. Maka Robi lebih setuju minyak kelapa yang dikembangkan dari pada sawit. Sebab, dari semua penelitian yang ada, minyak kelapa jauh lebih sehat dan ramah lingkungan dari pada minyak sawit. “VCO (Virgin Coconut Oil) justru obat yang terkenal.”

“Yang harus diingat lagi, Indonesia terkenal dengan sebutan rayuan pulau kelapa, bukan rayuan pulau kelapa sawit,” ujar Robi.

Daerah seperti Gorontalo, harus kembali ke identitasnya. Apa yang sudah ada jangan diganti. Kalau kopra bagus, jangan diganti. Harus dikembangkan.

“Kenapa Indonesia jadi tertinggal, karena kita mengembangkan sesuatu dari yang tidak tahu, kemudian ikut-ikutan dengan negara industri.”

Harusnya, daerah-daerah di Indonesia memperkenalkan aset dalam mengolah makanan, bumbu-bumbu masakan, atau ramuan herbal alami. Karena Indonesia terkenal sebagai negara bumbu atau negara yang memiliki kebudayan maritim.

“Di Gorontalo, hasil lautnya melimpah. Kalau di kota besar, makan ikan segar itu adalah kemewahan. Di sini sudah ada.”

Menurut Robi, sebagai Bangsa Indonesia kita sadar bahwa kita adalah negara kaya. Tapi, mempertahankan kekayaan itu yang susah. Orang lain mengambil kekayaan kita lalu menjual kembali dengan harga mahal. Harusnya,kita menyesal.

“Dan penyesalan itu selalu datang terakhir.”

Robi bersama anggota Band Navicula. Band yang menjadikan musik sebagai senjata jurnalisme lingkungan. Sumber: naviculamusic.com
Navicula. Band yang menjadikan musik sebagai senjata jurnalisme lingkungan. Sumber: naviculamusic.com
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,