Cerita tentang Sungai Karang Mumus (SKM) mengalir lancar dari mulut Misman. Lelaki 56 tahun yang merupakan Penilik Pendidikan Masyarakat (Penmas) Dinas Pendidikan Samarinda, Kalimantan Timur ini, tahu betul perjalanan sejarah anak Sungai Mahakam sepanjang 40 km tersebut. Menurutnya, SKM yang berhulu di Desa Muara Datar, Muara Badak, Kutai Kartanegara ini dulunya indah dan identik dengan Kota Samarinda karena sebagian besar alirannya melintasi Samarinda. Kini, semuanya tidak lagi. Berubah tercemar karena sampah.
Misman bercerita, pada masa kecilnya sekitar 1970-an, di sepanjang pinggiran SKM banyak ditumbuhi bakau, rambai padi, nipah dan pohon rumbia. “Pokoknya hijau, airnya segar untuk mandi,“ ujarnya di Samarinda, akhir pekan ini.
Kedalaman sungai waktu itu 5-10 meter dan banyak ikannya seperti patin, lempam, baung, dan lais. Namun, yang tersisa saat ini adalah ikan sapu-sapu. “Sayang, kepedulian kita terhadap lingkungan kurang. Kalau dari 70-an sudah kita jaga, walau padat sekalipun permukiman di sekitar sungai, kondisinya akan bagus seperti yang kita lihat sungai-sungai di Belanda sana.”
Malu melihat sungai penuh sampah, dalam enam bulan terakhir, Misman mengajak rekan-rekannya memunggut sampah di SKM. Apa yang mereka lakukan, kemudian difoto dan diunggah ke Facebook. Tujuannya, menunjukkan betapa parahnya SKM sehingga harus ada gerakan kepedulian. “Awalnya, ada juga yang apatis mengatakan saya sok pamer, mau jadi pahlawan, dan komentar negatif lain. Namun, saya tidak mau berdebat, karena yang diharapkan adalah gerakkan masyarakat,” ujarnya.
Upaya ini berhasil. Beberapa kelompok masyarakat ikut memungut sampah di SKM. Mulai dari pekerja seni dan budayawan Taman Budaya, Jurnalis dari PWI Kaltim, hingga siswa, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Dukungan juga diberikan Warga RT 7, Kelurahan Sungai Pinang Luar, Kecamatan Samarinda Kota, tempat sungai ini mengalir.
Gerakan
Misman menuturkan, Gerakan Memungut Sehelai Sampah yang ia promosikan ini merupakan gerakan penyadaran sekaligus sindiran agar Masyarakat Samarinda tidak membuang sampak ke sungai. “Saya yakin, mereka yang telah ikutan memungut sampah pastinya tidak akan buang sampah ke sungai. Memang semua perlu waktu untuk membersihkan sungai, namun harus kita mulai dri sekarang.”
Terhadap upaya yang dilakukan Misman, beberapa pihak mengusulkan agar ia mendirikan organisasi guna mempermudah aktivitasnya. Namun, usulan tersebut ia tolak. Misman berpendapat, menjaga kebersihan SKM merupakan hak dan tanggung jawab seluruh Masyarakat Samarinda, bukan organisasi. “Yang terpenting mari kita perbaiki diri dan pikiran kita agar tidak memperlakukan SKM sebagai tong sampah.”
Ke depan, Misman berencana membuat pangkalan punggut sampah di samping Jembatan Kehewanan, Samarinda. Pangkalan yang akan digunakan untuk tempat berkumpul semua pihak yang peduli SKM. Nantinya, disediakan juga sebuah perahu untuk memunggut sampah yang mengambang di tengah sungai. “Harganya berkisar 4 hingga 8 juta rupiah. Saya sudah unggah ke akun Facebook, dan sudah ada yang respon untuk iuran.”
Semoga, Gerakan Memungut Sampah di Sungai Karang Mumus ini berkembang dan menular ke seluruh Warga Samarinda. “Pastinya, gerakan ini tak akan mampu menghabisi sampah yang tertanam di badan sungai. Namun, mendidik Warga Samarinda untuk tidak membuang sampah ke sungai, karena sungai sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Bukan sebagai tempat sampah,” jelas Misman.