,

Kala Sorotan kepada Auditor RSPO Menguat

Para 16-19 November 2015, para pelaku industri sawit mengadakan pertemuan tahunan di Kuala Lumpur, Malaysia membahas soal bisnis sawit berkelanjutan (RSPO). Environmental Investigation Agency (EIA) bersama Grassroots kali ini membuat laporan yang memperlihatkan kelemahan sistem Rountable on Sustainable Palm Oil( RSPO), sampai auditor gagal mengidentifikasi dan memitigasi praktik tak berkelanjutan oleh perusahaan-perusahaan sawit anggota RSPO. Laporan berjudul Who Watches The Watchmen? Auditors and the Breakdown of Oversight in the RSPO” ini menampilkan beberapa studi kasus di Indonesia.

Dalam laporan itu, telihat banyak kelemahan dalam pelaksanaan standar RSPO. Antara lain, kegagalan sistemik auditor. Auditor dinilai kurang mampu dan secara umum niat mengidentifikasi kekurangan minim serta mempertahankan perusahaan tetap dalam standar RSPO. Lembaga Sertifikasi dalam merespon bukti pelanggaran juga enggan, apalagi memahami bagaimana kegagalan prosedural internal terjadi.

Accreditation Services International (ASI) melakukan penilaian tahunan untuk mengecek kemampuan lembaga sertifikasi dan dimandatkan menangguhkan mereka jika diperlukan. Penilaian ASI kepada lembaga sertifikasi ini, belum diungkap ke publik hingga transparansi soal ini dipertanyakan. Juga ada conflict of interest. Di mana, lembaga sertifikasi menyediakan jasa sertifikasi kepada anggota yang sedang diamati karena ada keluhan kepada perusahaan itu. Konsultasi saat proses NPP juga lemah. Kelemahan juga terjadi dalam penilaian high conservation value (HCV).

Dua organisasi ini merekomendasikan beberapa hal. Kepada RSPO, mereka meminta antara lain, mengembangkan pedoman wajib penilaian kualitas minimum HCV yang dapat diterima, Social and Enviromental Impact Assessments (SEIAs) dan penilaian Free, Prior and Informed Consent ( FPIC) pada Prosedur Penanaman Baru (New Planting Procedure/NPP). RSPO juga diminta memastikan berkonsultasi aktif dengan ahli dan masyarakat dilakukan dalam periode NPP.

Guna meningkatkan akuntabilitas auditor, perlu mempublikasikan penilaian ASI tahunan lembaga sertifikasi.

Kepada para pembeli, pedagang dan lembaga keuangan, diminta melakukan uji kelayakan di level konsesi sampai mereka bisa mengatasi kelemahan sistem seperti dalam laporan ini.

Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO menyatakan, bisa menangkap berbagai permasalahan yang disampaikan. “Kami terus melangkah. Ya, memang kami belum menyelesaikan semua tetapi kami akan selesaikan dari waktu ke waktu,” katanya Rabu (18/11/15) di Kuala Lumpur.

RSPO, katanya, terus berupaya melakukan peningkatan. “Dulu, di sekretariat kami hanya punya satu pengecek auditor kami. Kami tak punya orang kuat, atau pengalaman dan kuat. Namun, kami sudah mengubah pola ini.”

Kini, katanya, RSPO mendorong satu badan berpengalaman dan terakreditasi disebut layanan akreditasi internasional. “Mereka ini orang-orang yang sama yang memberikan akreditasi buat FSC, Marine Council dan banyak skema berkelanjutan lain. Mereka melakukan audit buat kami.”

RSPO, katanya, juga pernah menyetop auditor yang tak memiliki kinerja baik. “Kami akan terus melakukan itu.”

Organisasi ini, kata Webber, bekerja transparan hingga berbagai hal bisa terlihat di website, termasuk laporan-laporan hasil audit. “Kami super transparan. Unik. Setiap laporan audit secara online.”

Meskipun begitu, katanya, RSPO terus berkembang, sejalan dengan itu permintaan global atas standar dan sertifikasi juga makin tinggi, hingga kadang mereka mengalami kekurangan auditor. “Ini juga tantangan bagi kami. Bagaimana mendapatkan auditor yang bagus di lapangan?”

Untuk alasan itulah, katanya, RSPO bekerja sama dengan dua universitas, yakni, Universiti Putra Malaysia (UPM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) . “Kami bekerja bersama UPM dan IPB untuk melatih, kursus auditor untuk standar berkelanjutan.”

Desakan organisasi masyarakat sipil

Koalisi masyarakat sipil internasional juga menyerukan perbaikan standar dan cara-cara kerja RSPO. Salah satu datang dari Rainforest Action Network (RAN). Organisasi lingkungan ini mengingatkan soal kredibilitas RSPO sebagai label sawit berkelanjutan. RAN akan melihat bagaimana RSPO mereformasi diri karena sebagian anggota terus dikaitkan dengan kebakaran hutan, deforestasi, pelanggaran hak-hak buruh dan konflik lahan berkepanjangan dengan masyarakat sekitar di Indonesia, Malaysia, bahkan Liberia, Amerika Latin dan Papua Nugini.

Gemma Tillack, Agribusiness Campaign Director RAN mengatakan, kebakaran hutan dan lahan du Indonesia menciptakan krisis lingkungan, hak asasi manusia dan kesehatan. Lahan terbakar, untuk pengembangan sawit, dan meningkatkan penyalahgunaan pekerja sektor ini. “Ini kegagalan RSPO dalam mengupayakan perlindungan hutan, iklim, hak-hak pekerja dan masyarakat lokal.”

Menurut dia, RSPO melanjutkan memberikan sertifikasi kepada perusahaan-perusahaan sawit yang mendorong pelanggaran HAM dan hak-hak pekerja di berbagai belahan dunia. Kondisi ini, katanya, memperlihatkan kegagalan dalam menjalankan audit independen yang sebenar-benarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,