,

Tambang Emas Tradisional Pidie yang Kembali Telan Korban

Tambang emas tradisional di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Aceh, kembali menelan korban. Rabu (18/11/15), seorang pekerja bernama Hendra (32), meninggal akibat tertimbun longsoran lubang yang digali para petambang.

Hamdani, salah satu pekerja menyebutkan, sebelum terjadi longsor, Hendra yang merupakan warga Pulo Drien, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, sedang istirahat dekat lubang yang sedang digali bersama dua rekannya.

“Tiba-tiba terjadi longsor di perbukitan, saat hendak menjauh Hendra terpeleset dan terjatuh ke dalam lubang. Dua temannya berhasil menyelamatkan diri. Ssetelah empat jam dilakukan pencarian, jasad Hendra ditemukan tak bernyawa lagi,” ujarnya, Jum’at (20/11/15).

Selain Hendra, sejak 2013 hingga November 2015, tercatat 18 petambang meninggal akibat tertimbun longsoran di lubang tambang emas di pedalaman Pidie itu. Mei 2013, satu pekerja asal Jawa Tengah, Turahman meninggal setelah lubang yang digalinya terutup longsor. 21 Juni 2013, Mukhsin warga Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, bernasib sama.

Awal Desember 2013, 13 pekerja terperangkap longsoran di lubang yang dalamnya 20 meter. Hingga kini, seluruh jasad belum ditemukan. Sedangkan pertengahan Januari 2014, tiga pekerja yaitu Muhammad, warga Kabupaten Pidie Jaya, dan dua warga Bandar Lampung, Sandi dan Suandi, merenggang nyawa akibat tertimbun longsor saat mengali lubang.

Kapolres Pidie, AKBP Muhajir membenarkan adanya pekerja tambang emas tradisional yang meninggal tersebut. Saat ini, polisi masih meminta keterangan saksi-saksi baik petambang maupun pemilik lubang tambang. “Kami masih melakukan pemeriksaan teman korban untuk memastikan kejadian sebenarnya. Kami juga akan minta keterangan pemilik lubang tambang itu.”

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan ESDM Kabupaten Pidie menjelaskan, mereka telah mengirim surat pemberitahuan akan risiko tanah yang labil. “Daerah tersebut rawan longsor, kami telah sampaikan kondisi tersebut termasuk kepada Muspika Kecamatan Geumpang,” ucap Kabid Pertambangan dan ESDM Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan ESDM Kabupaten Pidie, Teuku Irwansyah.

Irwansyah mengatakan, larangan untuk tidak melakukan penambangan emas secara tradisional sudah pernah disampaikan kepada masyarakat. Selain berisiko terhadap keselamatan, kegiatan tersebut bertentangan dengan Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009. “Meski telah dilarang, para petambang tetap memaksa bekerja.”

Proses pengolahan emas yang dilakukan masyarakat di wilayah pertambangan Geumpang. Untuk menuju lokasinya yang berada di hutan Geumpang ini butuh waktu enam jam perjalanan dengan sepeda motor atau ojek. Foto: Suparta

Larangan

Terkait penambangan tradisional ini, 5 Agustus 2014, sejumlah pimpinan daerah Aceh yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) sudah mengeluarkan seruan bersama. Isinya,  seluruh masyarakat Aceh yang melakukan penambangan ilegal, khususnya emas untuk segera menghentikan aktivitasnya. Polemik ini terkait tercemarnya sejumlah sungai di Aceh yang menyebabkan matinya ikan di sungai dan adanya warga keracunan.

Seruan bersama ini ditandatangani oleh Wali Nangroe Aceh, Malik Mahmud, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi, Pandam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Agus Kriswanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kepala Kejati Aceh, Tarmizi dan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Gazali Mohd Syam

Dalam seruan bersama dituliskan, pengadaan, peredaran dan distribusi merkuri atau air raksa serta sianida harus berpedoman pada peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang pengadaan, distribusi, dan pengawasan bahan berbahaya.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah juga meminta Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Aceh menindak tegas pertambangan emas tradisional tanpa izin yang beroperasi di beberapa daerah di Aceh. Seperti Geumpang, Kabupaten Pidie; Gunong Ujeun, Kabupaten Aceh Jaya; serta di Kecamatan Manggamat dan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan.

Namun, ribuan warga Kabupaten Pidie, yang bekerja sebagai petambang emas tradisional, pada 28 Agustus 2014, menolak rencana Pemerintah Aceh itu karena akan menghilangkan mata pencaharian mereka.

Seruan bersama Fokorpimda kepada warga yang melakukan penambangan emas ilegal agar segera menghentikan kegiatannya.

“Kami meminta Gubernur dan Muspida Aceh untuk mencabut seruan penutupan itu. Perlu kami jelaskan, lebih 5.000 jiwa masyarakat Manee, Guempang, dan sekitarnya hidup dari tambang tradisional,” M. Nasir, perwakilan masyarakat penambang Manee dan Geumpang.

Nasir mengatakan, semua petambang emas tradisional di Manee dan Geumpang merupakan korban konflik dan mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Kami coba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat konflik tiga dekade ini. Geumpang dan Mane merupakan daerah paling parah konfliknya.”

Untuk membuktikan adanya pencemaran sungai, masyarakat Kecamatan Manee dan Geumpang minta tim independen untuk meneliti dan menguji dari mana bocornya mercuri itu. “Jangan langsung menyalahkan, selama ini kami menjaga limbah pengolahan emas agar tidak masuk sungai. Kami telah membuat larangan bersama,” ujar Nasir

M. Abet, perwakilan warga Geumpang dan Manee lainnya, menambahkan, warga Geumpang dan Manee akan terus menambang emas secara tradisional dan tetap menjaga agar tidak mencemari lingkungan. “Kalau memang kemudian dikatakan cara kami tidak ramah lingkungan, silakan pemerintah ajari kami bagaimana cara menambang yang benar. Bukan langsung menutup usaha kami,” papar M. Abet.

Warga menyeberang sungai menggunakan jembatan kabel. Potensi alam di wilayah Geumpang, Mane, dan Tangse, Kabupaten Pidie, harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai air yang jernih tercemar merkuri dan hutan hijau hancur akibat tambang yang tak terkendali. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,