,

Photovoices, Menggunakan Mata Masyarakat sebagai Lensa Kehidupan

Puluhan foto bidikan warga biasa dipajang di Gedung Annika Linden di Denpasar, pada akhir pekan ini. Sebagian foto terkait lingkungan sekitar seperti laut, hutan, potret, ritual, dan lainnya.

Pemilik foto adalah warga yang dilatih memotret dengan metode Photovoices, potret yang diharapkan menyuarakan keseharian, tempat tinggal, manusia, dan alamnya.

Misalnya foto berjudul Ritual Kelahiran oleh Dicki Zulkarnaen. Ini disebut ritual buang pantang masyarakat Semangit di Kalimantan Barat untuk tiap bayi baru lahir. Oleh dukun beranak, kaki bayi dicelup di sungai sebagai petanda bayi sudah bisa main di sungai dan diajak keluar rumah. Setelah itu diberikan arang dari kayu Lukai  sebagai penangkal roh jahat.

Ada juga karya Koyod memperlihatkan warga sedang istirahat di sawah usai kerja bakti. Masyarakat adat berkumpul dibukanya Musim Babad, yakni membersihkan rerumputan di sawah yang dilakukan secara gotong royong antara laki, perempuan, dan anak-anak.

Ada juga beberapa foto-foto kegiatan bawah laut dengan aneka flora fauna laut. Ada kotak pos bawah laut di perairan Amed, objek wisata selam di Bali Timur.

Ini adalah sebagian karya dari peserta Photovoices International yang bertransisi menjadi Lensa Masyarakat Nusantara (LMN). Diluncurkan secara resmi di Bali oleh sejumlah pendiri dan pengurusnya. Photovoices dikenal sebagai nama sebuah metode pengajaran fotografi untuk melibatkan partisipasi masyarakat sebagai fotografernya.

Photovoices International didirikan oleh seorang peneliti perempuan Amerika, Ann Norton. Sejak 2006 di Indonesia menjangkau sejumlah masyarakat di Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Ia sempat tinggal di Bali dan kemudian balik ke Amerika. Program pertamanya di China.

“Metode ini menarik sekali dan sayang kalau tak diteruskan, karena itu kami melanjutkannya dengan nama Lensa Masyarakat Nusantara,” urai Rezal Kusumaatmadja, pendiri dan ketua Dewan Pengurus LMN.

Mulai tahun perdananya ini, LMN didukung sejumlah lembaga donor internasional dan perusahaan. “The power of fotography. Kami percaya partisipasi antar para pihak. Saya pebisnis dan ingin berpartisipasi dengan komunitas,” ujar Suzy Hutomo, CEO The Body Shop di Indonesia, perusahaan produk perawatan tubuh. Terlebih Suzy mengaku kini tinggal di Bali dan ingin terlibat dalam program komunitas setempat.

Suzy Hutomo (kiri), CEO The Body Shop di Indonesia menjelaskan dukungannya pada program Lensa Masyarakat Nusantara (LMN) dari Photovoices Internasional dalam pembukaan pameran Photovoices di Gedung Annika Linden di Denpasar, pada pertengahan November 2015. Foto : Luh De Suriyani
Suzy Hutomo (kiri), CEO The Body Shop di Indonesia menjelaskan dukungannya pada program Lensa Masyarakat Nusantara (LMN) dari Photovoices Internasional dalam pembukaan pameran Photovoices di Gedung Annika Linden di Denpasar, pada pertengahan November 2015. Foto : Luh De Suriyani

LMN memilih berbasis di Bali. Saat ini programnya melibatkan sejumlah warga di Desa Tulamben dan kawasan Amed. Daerah pusat wisata penyelaman di Kabupaten Karangasem. “Baru mulai di Karangasem untuk peningkatan partisipasi masyarakat di program konservasi berkelanjutan,” ujarnya.

Made Waktu, peserta pelatihan photovoices dari Karangasem mengatakan memotret adalah cara menyampaikan aspirasi tanpa banyak bicara. LMN meminjamkan kamera pada peserta dan mendampingi untuk pameran karya, diskusi dengan memanfaatkan foto, dan lainnya.

Riza Marlon, anggota dewan LMN yang juga fotografer spesialis alam liar ini menyebut kamera hanya alat. Warga punya kelebihan ketika memegang kamera karena bisa merekam sesuatu yang sangat dekat karena keseharian.

Ketika melatih warga Lamalera, ia hanya menyarankan warga memotret saja terus, dengan setting kamera di mode otomatis (A) atau program (P). Agar mereka tidak bingung dan malas memotret.

Peserta pelatihan lainnya, Ratih dari Sukabumi menyebut dengan memotret bisa berkontribusi pada desa. Ia mengaku kini dilibatkan dalam kegiatan desa seperti pengawasan pembuatan jalan. “Ibu rumah tangga seperti saya kan biasanya tak didengar,” keluh perempuan yang dulu terlibat di projek Photovoices International 2009 ini.

Berbagai foto bidikan warga melalui metode Photovoices, yang dipajang di Gedung Annika Linden di Denpasar, pada pertengahan November 2015. Foto : Luh De Suriyani
Berbagai foto bidikan warga melalui metode Photovoices, yang dipajang di Gedung Annika Linden di Denpasar, pada pertengahan November 2015. Foto : Luh De Suriyani

Selain memamerkan foto warga, pada peluncuran LMN juga dilelang 136 foto yang mulai ditawarkan Rp 500 ribu per unitnya. Selain itu ada serial postcard seharga Rp 100 ribu.

Menggunakan foto sebagai medium partisipasi warga dan pemetaan juga banyak dilakukan komunitas lain. Inisiatif ini memberikan perspektif lebih lebar karena dilakukan oleh warga sendiri. Misalnya WWF Indonesia pada 2012 melaksanakan program pemberdayaan yang diberi nama Panda Click! (Communication Learning towads Innovative Change and Knowledge) berupaya menjembatani komunikasi masyarakat dengan pemerintah dalam pembangunan serta mendorong munculnya perubahan-perubahan positif di masyarakat. Setiap partisipan yang mengikuti program ini dibekali kamera saku digital dan juga pelatihan.

Dalam skala kecil, juga tak sedikit inisiatif warga yang melakukannya secara swadaya. Seperti yang dilakukan Komunitas Foto Lubang Jarum Semut Ireng di Bali. Mereka pernah mendamping anak-anak membuat kamera manual dari kaleng bekas dengan teknologi lubang jarum memotret sekitar dan masalah lingkungannya.

Ada juga Sloka Institute melalui Kelas Jurnalisme Warga mendorong warga memanfaatkan ponselnya sendiri untuk mendokumentasikan melalui foto atau video. Program No News Without U (tidak ada informasi tanpa warga) ini memanfaatkan semaraknya aplikasi pengolahan foto dan video secara instan untuk menyuarakan masalah sekitar dengan atraktif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,