, ,

Ekspansi Sawit Terus Menggila, Ekosistem Leuser Makin Merana

Hamparan tanaman sawit tumbuh di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), termasuk di Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan yang seharusnya pepohonan ini berubah menjadi ‘hutan sawit.’ Rainforest Action Network (RAN) merilis laporan terbaru pada 11 November 2015, mengungkapkan KEL terus terdesak ekspansi sawit. Ini laporan sesi lanjutan setelah setahun lalu launching pada tanggal dan bulan yang sama.  Laporan berjudul, “Tempat Terakhir di Bumi: Menelusuri Perkembangan dan Tantangan Baru untuk Melindungi Ekosistem Leuser,”  ini memuat bukti terus terjadi pembersihan lahan oleh para penanam sawit yang mensuplai hasil panen ke pabrik di wilayah ekosistem.

Ekosistem Leuser merupakan kawasan penting, tempat hidup empat satwa langka, yakni gajah, orangutan, badak dan harimau Sumatera. Tak kurang, 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di sini. Ia juga kaya flora. Kawasan ini memiliki bentang alam luas, dan padat di Sumatera, luas lebih 6,5 juta hektar. Ia berada di Aceh dan Sumatera Utara, terdiri dari hutan tropis dataran rendah dan berbukit. Di kawasan ini, lebih dari 460.000 hektar lahan gambut yang kaya karbon.

Temuan ini memperlihatkan, hutan hujan tropis terus ditebang, lahan gambut dikeringkan, konflik antara masyarakat dan perusahaan terus terjadi. Juga perlindungan hukum untuk ekosistem Leuser terancam. Laporan ini juga merilis gambar satelit terbaru dan invetigasi lapangan soal penghancuran hutan dataran rendah berharga dan lahan gambut demi sawit.

RAN menyebut Wilmar International, Musim Mas Group, dan Golden Agri Resources, sebagai “Tiga Pembeli Besar” sawit berisiko mengambil bahan mentah dari ekosistem Leuser. Perusahaan lain yang bertanggung jawab atas deforestasi pada ekosistem Leuser, yakni, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) III, perusahaan milik negara.

RAN pun mendesak perusahaan-perusahaan dan pemerintah menjabarkan langkah-langkah yang perlu lakukan untuk melindungi spesies langka dan sumber penghidupan masyarakat dari pembangunan industri sawit ini.

Laporan ini juga menekankan, kesempatan menemukan jalan baru bagi pembangunan Aceh, dengan melindungi Ekosistem Leuser, memastikan kedamaian dan mata pencaharian, serta membuka kesempatan ekonomi untuk masyarakat lokal. Presiden Joko Widodo, disebut menjadi faktor kunci guna mengamankan ini karena memiliki kekuatan menolak persetujuan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh yang tertunda hingga kini.

“Nasib mahkota permata alam ini, termasuk lahan gambut dan hutan dataran rendah rumah harimau, orangutan, badak, gajah, serta beruang madu, tergantung pada keputusan yang dibuat saat ini,” kata Gemma Tillack, Direktur Juru Kampanye Agribisnis RAN.

Dia mengatakan, Ekosistem Leuser merupakan kawasan dengan keragaman hayati terkaya di dunia. Jutaan orang, katanya, bergantung pada ekosistem ini untuk pangan, air, dan sumber penghidupan.

Menurut dia, tiga pembeli utama bersama rekan lain yang belakangan meluncurkan Janji Sawit Indonesia (Indonesian Palm Oil Pledge/IPOP) memiliki kekuatan menghentikan penghancuran Ekosistem Leuser ini. Penghentian penghancuran hutan dan lahan gambut serta menghentikan kebakaran hutan yang disengaja demi ekspansi industri sawit ini, akan mengurangi emisi karbon Indonesia. “Juga mengurangi krisis kabut asap tahunan, dan mengamankan kehidupan serta sumber penghidupan masyarakat banyak,” ujar dia.

Para pembeli, kata Tillack, harus meningkatkan upaya bekerja dengan para pemangku kepentingan lain, dan memberikan insentif riil pada para pemasok dan pemerintah lokal untuk menyetop penghancuran hutan dan gambut. “Juga mengamankan perlindungan hukum Ekosistem Leuser.”

Harimau Sumatera, salah satu satwa langka yang hidup di KEL. Foto: Rhett A Butler

Perusahaan-perusahaan inipun menanggapi laporan RAN. Musim Mas mengklaim memiliki kepedulian sama dengan RAN, soal perlu melindungi Ekosistem Leuser. Sekaligus menegaskan komitmen nyata perusahaan melindungi kawasan penting ini.

“Kami serius menanggapi keluhan sebagai kesempatan mengintensifkan dialog dengan mitra LSM dan para pemasok,” kata Carolyn Lim, Corporate Communications Manager kepada Mongabay.

Sebagai salah satu pemain besar, katanya, mereka menyadari, memainkan peran penting untuk mengikuti norman-norma sawit berkelanjutan. “Kami percaya, strategi terbaik memastikan kesuksesan kami adalah menjadi perusahaan yang memimpin berkelanjutan dan bertanggung jawab. Inilah mengapa, mulai 16 November 2015, kami resmi menjadi anggota Palm Oil Innovation Group,” ucap Lim.

Perusahaan, katanya, akan membentuk dialog untuk menciptakan rantai pasokan minyak sawit kredibel dan berkelanjutan. Sebenarnya, kata Lim, kebijakan keberlanjutan perusahaan mereka mulai Desember 2014. Sejak Juni 2015, perusahaan ini telah memetakan 100% pabrik-pabrik mereka. “Kami memetakan rantai pasokan sampai ke perkebunan. Anda dapat lebih melihat pada strategi penelusuran kami di sini.”

Dia memastikan, kerja mereka juga terverifikasi oleh mitra independen, konsorsium CORE—yang akan mendukung implementasi keseluruhan kebijakan dan penilaian pihak ketiga selaku pemasok agar sesuai dengan kebijakan perusahaan. Dia mencontohkan, PT Mopoli Raya. Perusahaan mengumumkan penghentian membeli dari Mopoli Raya. “Aksi tindaklanjut kami atas keluhan publik bisa terlihat di sini.” Mopoli Raya, merupakan perusahaan sawit yang dalam laporan Greenomics Indonesia, disebutkan, masih membuldoser hutan bernilai tinggi dalam Ekosistem Leuser.

Tak jauh beda dengan Golden Agri Resources (GAR). Perusahaan ini menyatakan, tak akan membeli sawit dari tempat-tempat ilegal seperti dari kawasan hutan termasuk ekosistem Leuser.

Agus Purnomo, Managing Director Sustainability & Strategic Stakeholders Enggagement GAR mengatakan, GAR mendukung seruan RAN agar perusahaan beraksi nyata menyelamatkan Ekosistem Leuser, salah satu dengan tak membeli sawit yang berasal dari kawasan penting itu. “Kami sangat setuju itu,” kata Pungky, panggilan akrab Agus Purnomo, di sela-sela pertemuan RSPO di Kuala Lumpur, pekan lalu.

GAR pun, katanya, mulai Agustus 2015, telah menurunkan tim ke Aceh guna menelusuri dan memantau langsung pasokan sawit pabrik-pabrik di sana. “Kita mulai turun, ke tiga sampai lima (pabrik). Kita dateng, kita ngobrol, kita cek, mereka ngambil dari kebun mana saja. Harapannya, dengan kita kenal lebih baik, kita bisa perkirakan risiko,” katanya. Langkah ini, katanya, akan terus dilanjutkan tahun depan. Intinya, perusahaan ingin memastikan bahwa pasokan sawit tak dari kawasan hutan atau ekosistem penting. “Asal sawit bisa terlacak.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,