,

Opini : Menyelamatkan Diri dari Bencana Perubahan Iklim

*Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Gambaran Pesimistik tentang COP 21

Telah beberapa lama kita tahu dari laporan-laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa dunia ini hanya akan aman bila pada tahun 2100 kenaikan suhunya tidak melampaui 2 derajat Celsius dibandingkan periode revolusi industri.  Sebaiknya, bahkan kita perlu mengupayakan kenaikan yang tidak melampaui 1,5 derajat.  Tetapi, sekarang suhu kita sudah tercatat 0,83 derajat Celsius di atas suhu pada periode revolusi industri, sehingga menyisakan jatah kenaikan 1,17 derajat Celsius lagi untuk 85 tahun ke depan, kalau yang hendak dituju adalah kenaikan maksimal 2 derajat.

Bagaimana kondisi kita sekarang hingga tahun 2100? Kalau kita tetap berlaku seperti sekarang (business as usual / BAU), maka pada tahun 2100 kita akan mengalami kenaikan 4,5 derajat celsius, atau 2,5 derajat di atas ambang batas aman itu.  Dan, apabila kita pelajari dokumen-dokumen IPCC yang menguraikan apa yang akan terjadi dengan kenaikan rerata 4,5 derajat itu, kita tahu bahwa secara umum kondisinya adalah katastrofik.  Bencana sangat dahsyat akan disaksikan oleh generasi yang hidup di tahun tersebut.

Banyak upaya yang telah dilakukan selama ini, namun hingga sekarang hasilnya adalah apa yang digambarkan dalam skenario BAU tersebut.  Yang paling mutakhir, negara-negara telah berjanji untuk mengupayakan penurunan gas rumah kaca penyebab naiknya suhu atmosfer melalui dokumen resmi yang diberi nama Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang dimasukkan pada 1 Oktober 2015 yang lalu.

Tapi, dengan mengandaikan bahwa semua janji negara-negara itu ditepati—sebuah asumsi yang sangat ceroboh sebetulnya, mengingat selama ini beragam komitmen terkait perubahan iklim tak juga dipenuhi—maka kenaikan suhu Bumi tetap akan mencapai 3,5 derajat alias 1,5 derajat di atas ambang aman.  Demikian yang disimpulkan dari simulasi yang dilakukan oleh Climate Interactive, Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Karena janji negara-negara ini masih jauh di atas ambang batas aman, maka penurunan emisi gas rumah kaca (mitigasi) yang lebih dalam akan dirundingkan untuk mencapai trajektori kenaikan suhu maksimal 2 derajat.  Perundingan ini akan terjadi pada Conference of Parties ke-21 (COP 21) di Paris.

Namun, lantaran mitigasi yang lebih dalam itu membutuhkan banyak perubahan atas tata cara kehidupan yang sekarang, termasuk dan terutama terkait dengan ekonomi, maka perkiraan terbaik adalah COP 21 tidak akan menghasilkan kesepakatan yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia. Negara-negara akan cenderung menunda kesepakatan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi dampak perubahan iklim yang memburuk bagi generasi mendatang.

Dari Global ke Lokal; Dari Mitigasi ke Adaptasi

Demikianlah, penyelamatan di level global sulit diharapkan, demikian juga di tingkat negara yang luas seperti Indonesia, maka kita harus bersiap terhadap kenyataan bahwa satuan penyelamatannya harus diupayakan pada skala yang lebih kecil: lansekap/DAS.

Tujuan penyelamatan pada skala yang lebih kecil itu adalah untuk memastikan bahwa kondisi lingkungan di suatu tempat mampu menopang kehidupan manusia di atasnya (habitable), dengan memastikan daya tahan (resilience) masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.  Ini menggeser perhatian yang selama ini condong pada mitigasi kepada adaptasi.  Hal ini memang merupakan keniscayaan karena dampak perubahan iklim memang telah hadir, dan mitigasi saja tak akan bisa membuat masyarakat tertolong.

Kondisi sungai Air Nokan di wilayah hulu yang masih terjaga. Foto: dok INFIS
Kondisi sungai Air Nokan di wilayah hulu yang masih terjaga. Foto: dok INFIS

Setiap daerah yang menginginkan dirinya dapat  bertahan dari perubahan iklim selama mungkin harus memulainya dengan melakukan analisis kerentanan (vulnerability assessment) untuk mengetahui apa saja dampak perubahan iklim yang menimpa daerahnya.  Dari hasil analisis kerentanan itu pula akan diketahui apa saja tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan yang ‘normal’ di wilayah itu.

Demikian juga, kebutuhan siapa melakukan apa dengan sumberdaya yang diperlukan. Diharapkan, dengan relatif kecilnya skala kerja, maka kesepakatan di antara pemangku kepentingan di situ bisa lebih mungkin dicapai, dan tindakan konkret bisa dilaksanakan dalam kurun waktu yang sesuai dengan urgensi.

Salah satu aspek paling penting dari ketahanan terhadap perubahan iklim adalah ketersediaan dan akses atas air untuk beragam keperluan hidup manusia dan spesies lainnya. Setiap daerah perlu mengetahui trajektori kebutuhan airnya lalu merancang dan mengeksekusi strategi memastikan ketersediaan dan akses atas air.

Pemenuhan kebutuhan akan air itu sangat tergantung dari jumlah penduduk dan aktivitasnya. Suatu daerah yang basisnya pertanian (dalam pengertian luas) tentu membutuhkan air yang banyak. Dan ini perlu dipenuhi dengan konservasi dan rehabilitasi hutan di daerah tangkapan air, serta upaya-upaya lain seperti penjagaan dan pembuatan embung, pembuatan biopori, dan sebagainya, yang sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut.

Dengan pemahaman yang demikian, penanaman pohon tidak akan dilakukan secara sembarangan seperti yang kebanyakan dilakukan hingga sekarang. Jumlah dan jenis pohon yang harus ditanam akan disandarkan pada perhitungan ilmiah. Demikian juga dengan penetapan lokasi dan luasan di setiap lokasi.

Yang tak bisa dilupakan: pemeliharaan. Karena hanya pohon dewasa saja yang mampu mengikat air dalam jumlah yang besar. Kalau selama ini air larian lebih banyak daripada air resapan, penanaman dan pemeliharaan pohon yang ilmiah akan memastikan rasionya berbalik, sehingga akan semakin banyak air tawar yang bisa disimpan dan digunakan di masa mendatang.

Tutupan hutan di Bantul terbilang cukup rapat. Foto:  Tommy Apriando
Tutupan hutan di Bantul terbilang cukup rapat. Foto: Tommy Apriando

Salah satu hal penting dari gerakan penanaman pohon yang baik adalah perhitungan hutang dari setiap pihak. Kita bisa berhitung dari rerata konsumsi per orang lalu mengkonversinya jadi jumlah pohon yang harus ditanam per orang per tahun. Namun yang lebih adil adalah dengan menghitung konsumsi sesungguhnya dari orang maupun industri, lalu memastikan bahwa sejumlah itu pula yang dibayar oleh orang dan industri. Ini juga memiliki nilai pendidikan serta tanggung jawab atas lingkungan.

Kalau selama ini ada aplikasi semacam kalkulator karbon, yang menghitung emisi setara karbondioksida setiap individu dan organisasi, sebaiknya dikembangkan aplikasi yang bisa menghitung seluruh hutang terhadap lingkungan (karbon, air, materi lain, pemulihan pencemaran, dll), sehingga kesadaran bisa ditimbulkan.

Jadi, dari carbon footprint kita perlu meluaskan perhitungan menjadi ecological footprint secara keseluruhan.  Sementara, pembayaran hutang pada alam itu harus diupayakan sesederhana mungkin, tanpa perlu membuat setiap individu merasa bersalah, namun bersedia membayar hutang tersebut.

Belanja APBD dan CSR Bidang Lingkungan

Namun demikian, langkah yang lebih mudah adalah dengan menggabungkan belanja APBD dan CSR bidang lingkungan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kabupaten/kota tertentu. Hal ini memerlukan strategi dan regulasi yang dituangkan dalam bentuk perda.  Sementara kesadaran individu yang membutuhkan waktu yang lebih lama bisa diharapkan tumbuh kemudian. Penting juga diingat bahwa pemda-pemda yang berada pada DAS yang sama perlu melakukan koordinasi dan kolaborasi, karena jarang sekali satuan lansekap/DAS itu berada hanya pada satu kebupaten/kota.

Sementara, karena belum banyak perusahaan yang menyadari arti CSR yang sesungguhnya adalah manajemen dampak ekonomi-sosial-lingkungan, termasuk di dalamnya dampak terhadap perubahan iklim, maka sosialisasi terhadap perusahaan juga perlu dilaksanakan secara massif. Termasuk dan terutama terkait dengan konsep payment for environmental services (PES) yang diturunkan dari beneficiaries pay principle, juga konsep pemulihan (rehabilitasi/restorasi) yang datang dari polluters pay principle.

Di atas itu semua, untuk membangun kesadaran perusahaan tentang kaitan tanggung jawab dengan keberlanjutan bisnis, perusahaan perlu diperkenalkan dengan argumentasi business case dari CSR lingkungan itu.  Mana bisa perusahaan menjadi menguntungkan dan berkelanjutan bila alamnya rusak serta tak mampu mendukung manusia untuk hidup di atasnya?

Strategi untuk menempatkan pengelolaan perubahan iklim pada satuan kabupaten/kota serta fokus pada melakukan adaptasi perubahan iklim sesungguhnya telah banyak dilakukan oleh kota-kota di seluruh dunia.  Organisasi International Council for Local Environmental Initiatives (ICLEI) yang berdiri pada tahun 1990 sudah sejak awal mengadvokasi pendekatan ini, karena memang lebih bisa diharapkan hasilnya dibandingkan dengan kesepakatan global yang sudah dua dekade diupayakan tanpa hasil yang memuaskan.

Kini, dengan gambaran pesimistik yang kemungkinan besar diperoleh dari COP 21 di Paris, pendekatan ini menjadi semakin penting di Indonesia maupun bagian dunia yang lain.  Kalau ingin selamat dari bencana perubahan iklim, usaha keras perlu difokuskan di level lokal.  Selain, tentu saja, kita masih perlu memupuk harapan dan mendorong agar para pemimpin negara bisa punya horison pemikiran yang jauh ke depan, yang jauh melampaui masa jabatan politik mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , ,