, ,

Calon Kepala Daerah di Sumsel Tidak Sensitif pada Persoalan Lingkungan. Benarkah?

Pemilihan kepala daerah di tujuh kabupaten di Sumatera Selatan (Sumsel) tinggal dua pekan lagi. Namun, belum satu pun pasangan calon menyatakan secara terbuka mendukung keberadaan masyarakat adat dan menjamin terjaganya hutan, lahan gambut, serta menyelesaikan berbagai konflik lahan. Padahal bencana kebakaran, konflik lahan, dan berbagai persoalan lingkungan hidup di Sumsel cukup menonjol.

“Belum ada calon bupati atau pasangan bupati dan wakilnya di Sumsel melakukan kontrak politik dengan kita yang isinya akan mengakui dan melindungi masyarakat adat, termasuk akan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan hidup. Sebut saja kebakaran, perambahan, dan konflik lahan,” kata Rustandi Ardiansyah, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, Kamis (26/11/2015).

Memang, ada calon bupati di Kabupaten Ogan Ilir (OI) dan Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) sudah menyampaikan secara lisan akan mendukung keberadaan masyarakat adat. “Tapi, sikapnya itu belum dinyatakan terbuka ke masyarakat, misalnya membuat kontrak politik dengan kita atau dengan lembaga pegiat lingkungan hidup lainnya.”

Bagaimana jika tidak ada pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, OKU Selatan, Musirawas, dan Musirawas Utara? “Pilihan terburuk, mungkin masyarakat adat akan memilih golput, karena para calon tidak berpihak pada persoalan lingkungan hidup,” kata Rustandi.

Adio Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI) membenarkan belum ada calon kepala daerah di tujuh kabupaten di Sumsel yang menyatakan secara terbuka soal dukungannya terhadap masyarakat adat. Terlebih, menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan hidup di daerah pemilihannya.

Ini sebenarnya cukup aneh. Mereka seperti tidak sensitif dengan persoalan atau isu yang berkembang saat ini. “Padahal masyarakat, pemerintah, dunia international, tengah menyoroti persoalan lingkungan hidup, termasuk pula keberadaan masyarakat adat di Indonesia.”

Ada memang sejumlah calon bicara persoalan lingkungan hidup, seperti menyelesaikan konflik lahan dengan kita. “Tapi belum dalam bentuk kontrak politik. Kalau ada kontrak politik, kontrol masyarakat lebih terjamin dibandingkan hanya melalui diskusi atau pernyataan lisan.”

Jika memang tidak ada pasangan calon kepala daerah yang menunjukkan sikap pembelaan terhadap masyarakat adat termasuk persoalan lingkungan hidup, golput merupakan hal wajar. “Politik itu kan pertarungan kepentingan. Sangat wajar jika ada orang yang tidak mendukung seorang calon karena kepentingannya tidak dijamin, bahkan justru mengancam kepentingannya,” kata Adio.

Kanal-kanal di lahan konsensi HTI di Sumsel yang gagal mencegah kebakaran. Foto: Gita Rolis

Posisi tawar

Dr. Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang menilai sangat sulit mengharapkan jaminan dari partai politik terhadap para calon kepala daerah untuk mengatasi berbagai persoalan di Indonesia, khususnya di Sumsel. Misalkan lingkungan hidup, korupsi, apalagi masyarakat adat. “Ini sebagai akibat lemahnya posisi tawar masyarakat sipil. Tidak heran, mereka tidak mau atau tidak terpikir untuk melakukan kontrak politik dengan masyarakat sipil untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada,” ujarnya.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan posisi tawar, masyarakat sipil harus memiliki spirit seperti seperti reformasi dahulu. Mereka harus mendesak para calon kepala daerah untuk melakukan kontrak politik untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. “Jika mereka tidak mau, jelas mereka tidak akan didukung apalagi dipilih.”

Kontrak politik ini merupakan selemah-lemahnya pilihan. Sebab bukan tidak mungkin para calon kepala daerah yang terpilih akan mengkhianati kontrak politik. “Tapi setidaknya, itu akan menjadi bahan atau alasan bagi masyarakat untuk menuntut persoalan mereka nantinya,” kata Koordinator Program Sekolah Demokrasi di Sumsel yang sudah berjalan sembilan tahun ini.

Aziz Abdul Kamis, aktivis FITRA, menyatakan masyarakat, khususnya yang menetap di desa, jangan memilih pasangan calon kepala daerah yang tidak jelas komitmennya dalam mengatasi berbagai persoalan saat ini. Mulai dari persoalan lingkungan hidup, transparansi dan akuntabilitas anggaran, konflik lahan, dan sebagainya. “Jika mereka tidak peduli dengan persoalan tersebut, artinya mereka tidak peduli menciptakan masyarakat desa yang lebih baik.”

Memang salah satu indikator komitmen tersebut yakni melakukan kontrak politik dengan masyarakat. “Saya pikir, jika mereka peduli atau ingin menyelesaikan persoalan tersebut, mereka akan dipilih oleh masyarakat. Sebab, hampir setiap hari kita membahas persoalan tersebut,” ujar Aziz.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,