,

Opini : Mencari Kesepakatan Baru Penyelesaian Perubahan Iklim Global di Paris                                                 

*Co-Coordinator Pokja MRV, Dewan Pengarah Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; UNCC-Learn Climate Change Ambassador dan Mantan Negosiator UNFCCC bidang Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF). Tulisan ini merupakan opini penulis.

Tanggal 13 Nopember 2015 lalu, komunitas dunia dikejutkan oleh peledakan bom dan penembakan sadis yang terjadi di Paris, padahal mulai 30 Nopember 2015 ini selama dua minggu akan dilangsungkan perhelatan akbar yang akan mengusung isu perubahan iklim global, yaitu “2015 Paris Climate Conference”.

Menurut informasi, sekitar 40 ribu peserta yang mewakili hampir 200 negara akan hadir, dan lebih dari 400 anggota delegasi dari Indonesia sudah mendaftarkan diri untuk hadir di sana. Presiden Jokowi pun direncanakan akan menyampaikan sambutannya. Diperkirakan lebih dari 100 kepala negara lainnya dari seluruh dunia akan menyampaikan sambutan yang serupa.

Conference of the Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau konferensi perubahan iklim yang ke-21 (COP-21) merupakan pertemuan puncak tahunan dan kali ini akan berlangsung di Paris. Tahun 2007, Indonesia pernah kebagian menjadi tuan rumah COP-13 di Bali dan menghasilkan Bali Action Plan (BAP).

Para negosiator perubahan iklim sedunia akan bekerja keras untuk terus mencari penyelesaian menyeluruh tentang isu pemanasan global dan perubahan iklim, yang tidak kunjung selesai sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Pertemuan di Paris diharapkan akan menghasilkan kesepakatan global yang adil antara negara maju dan negara berkembang melalui penerapan prinsip Common But Different Reponsibilities and Respective Capabilities (CBDR & RC).

Prinsip lainnya adalah apa yang disebut dengan applicable to all, artinya kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) akan diberlakukan mulai tahun 2020 untuk setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Karena itu, sebelum Nopember 2015 ini, setiap negara diminta untuk menyampaikan kontribusi penurunan emisi GRK nasionalnya yang disebut dengan Intended National Determined Contribution (INDC). Indonesia, melalui focal point UNFCCC, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menyampaikan INDC kepada Sekretariat UNFCCC pada tanggal 24 September 2015 yang lalu.

Kesepakatan Paris akan menggantikan kesepakatan global sebelumnya yaitu Kyoto Protocol (KP), yang lebih menuntut kewajiban penurunan emisi GRK negara-negara maju yang pada saat revolusi industri banyak menggunakan bahan bakar fosil, yang banyak mengeluarkan emisi GRK, dan menyebabkan pemanasan global.

Sejak tahun 2011, para negosiator perubahan iklim telah bekerja keras untuk menyusun draft kesepakatan yang mengikat (legally binding) tentang hak dan kewajiban setiap negara. Sampai saat ini, kesepakatan mengikat yang ada hanyalah Kyoto Protocol, dimana Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 2004.

Kesepakan Paris akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap mekanisme dan cara-cara bagaimana pembangunan ekonomi dunia harus dilaksanakan dengan rendah emisi. Masyarakat dunia modern yang selama ini dininabobokan oleh penggunaan bahan bakar fosil, harus merubah kebiasaannya dengan penggunaan energi baru dan terbarukan, walaupun penggunaan bahan bakar fosil mungkin hanya dikurangi saja.

Tugas COP 21 adalah tetap berusaha untuk memperoleh komitmen para Pihak guna mengikis emisi GRK yang sebagian besar disebabkan karena penggunaan bahan bakar fosil.

Apa Urgensi Pertemuan Paris COP-21?

Kecepatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini sebenarnya cukup merisaukan dari sudut pandang perubahan iklim. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu variable emisi GRK. Semakin tinggi GDP suatu negara, maka semakin tinggi pula emisi GRK-nya.

Menurut informasi dari para akhli perubahan iklim, tahun 2013 tercatat sebagai tahun tertinggi emisi GRK-nya, dan ini terjadi khususnya karena pembakaran bahan bakar fosil untuk energi, industri, dan transportasi. Konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir telah melewati ambang batas psikologis 400 parts per million (ppm) sejak dimulainya pengukuran di Mauna Loa Observatory Hawaii pada tahun 1958.

Tahun 2014 tercatat sebagai tahun terpanas di dunia, namun rata-rata temperatur tahun 2015 diduga lebih panas lagi dibandingkan dengan tahun 2014. Kenaikan temperatur yang terus terjadi akan berdampak buruk terhadap sektor-sektor pertanian, kesehatan, perikanan dan kelautan.

Kenaikan temperatur global akan mempercepat melelehnya lapisan es di wilayah kutub, sehingga menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut akan mengancam tenggelamnya pulau-pulau kecil di seluruh dunia. Menurut para ahli, kenaikan permukaan air laut akan mencapai satu meter pada tahun 2100.

Bagi Indonesia, ini merupakan ancaman serius mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di sektor pertanian, produk-produk pertanian akan mengalami penurunan akibat musim panas yang ekstrim. Selain itu, musim hujan yang singkat dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan menimbulkan banjir dan erosi di berbagai belahan dunia.

Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC
Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC

Belajar dari COP-15 tahun 2009 di Kopenhagen yang kurang memperoleh dukungan dari negara-negara berkembang, COP-21 di Paris diharapkan dapat menyatukan harapan bersama antara negara maju dan negara berkembang. Apabila ini terwujud, maka kesepakatan perubahan iklim global yang akan berlaku mulai 2020 akan merubah paradigma pertumbuhan ekonomi, politik, dan sosial komunitas global dengan cukup signifikan.

Struktur Ekonomi

Ekonomi hijau akan berubah dari hanya sekedar konsep dan atau hipotesis menjadi implementasi. Penggunaan “energi hijau“ akan menyediakan berbagai alternatif pemanfaatan energi baru dan terbaharukan yang rendah atau bebas emisi karbon dengan biaya yang relatif murah.

Pada awal tahun ini, mantan Menteri Perubahan Iklim Inggris, Greg Barker, menyampaikan keyakinannya bahwa hal ini segera akan menjadi kenyataan. Sebagai contoh, biaya pembangkitan energi yang berasal dari sinar matahari (solar energy) telah turun sebesar 80% dalam sepuluh tahun terakhir.

Bila pada tahun 2009, energi solar hanya menyumbang 23 gigawatts of capacity (GW), maka pada saat ini telah jauh melejit menjadi 177 GW, dengan tambahan 40 GW dalam tahun 2014. Selanjutnya, investasi dalam energi terbaharukan dan biofuels naik sebesar USD 270 miliar, atau 17% dalam tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013.

Yang cukup mengagetkan adalah kenyataan bahwa Cina yang selama ini dianggap sebagai penyumbang emisi GRK terbesar, telah menyisihkan investasi untuk pembangunan energi terbaharukan sebesar 31% pada tahun 2014, seiring dengan penurunan energinya yang berasal dari batubara. Kecenderungan pergeseran global dalam peningkatan penggunaan energi terbaharukan ini dituangkan dalam laporan studi yang dilakukan International Energy Agency tahun 2014 yang menyampaikan sembilan kata kunci sebagai simpulan apa yang terjadi saat ini: “Fossil fuels still dominate, but alternatives are now emerging”.

Struktur Politik.

Dua negara raksasa penyumbang emisi GRK terbesar, Amerika Serikat dan Cina, sejak bulan Nopember tahun lalu telah bertemu dan menunjukkan niat baiknya untuk menyelesaikan isu perubahan iklim. Cina menyampaikan akan menurunkan emisi puncaknya (peak emission rate) pada tahun 2030; sementara AS menetapkan target reduksi emisinya sebesar 26-28% dibandingkan tingkat emisinya pada tahun 2005.

Walaupun masih jauh dari harapan, kedua negara tersebut sudah menunjukkan niat baiknya untuk memberikan perhatian terhadap masalah perubahan iklim global.

Selanjutnya, pada bulan Juni2015, EU dan Cina telah bersepakat untuk mencapai target penurunan emisi bersama melalui mekanisme perdagangan karbon dan teknologi hijau. Kemudian melalui pertemuan G7, Kanada dan Jepang sepakat untuk tidak menggunakan bahan bakar fosil paling lambat pada tahun 2100.

Pertemuan G20 yang tinggal menghitung hari, diharapkan juga akan menyinggung resiko finansial berkenaan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Diharapkan Saudi Arabia, AS, Rusia, India, Australia, dan Cina akan mengambil bagian dalam pertemuan ini.

Prognosa

Nampaknya COP-21 Paris akan berakhir dengan kesepakatan baru tentang arsitektur penanganan perubahan iklim pasca 2020.  Namun demikian pertanyaannya adalah bagaimana ambisi untuk mereduksi emisi tsb akan dicapai?

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013. Foto : Jay Fajar
Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013. Foto : Jay Fajar

Kelompok pesimistik mengkhawatirkan perdebatan panjang yang tiada berujung antara para negosiator, sementara para pengambil kebijakan seringkali berada di luar arena negosiasi. Maka kesimpulannya adalah jangan terlalu berharap bahwa kesepakatan Paris menjadi satu-satunya solusi perubahan iklim.

Paris hanyalah salah satu upaya global. Upaya ini akan memakan waktu lama untuk mencapai apa yang diharapkan kita semua. Yang terpenting adalah bagaimana membuat semua pihak terus bergerak maju pada arah yang sama. Inilah yang akan menjadi kritis ketika kita semua berada di Paris nanti.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,