,

Titik Terang? Kasus Korban Lubang Tambang Samarinda Jauh dari Penyelesaian

Suara Rahmawati bergetar ketika menyampaikan testimoni di acara konsultasi publik “Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM 2016” yang diselenggarakan Komnas HAM, di Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kamis (26/11/2015).

Rahmawati adalah ibu almarhum Muhammad Raihan Saputra, bocah 10 tahun yang meninggal di lubang bekas tambang batubara milik PT. Graha Benua Etam di Sempaja Utara, Samarinda. “Saya ibunda Raihan, korban ke-9 yang meninggal di kolam tambang.”

Rahmawati terbata menceritakan kejadian yang menimpa putra keduanya itu, setahun lalu. Beberapa kali, ia diam, berusaha menenangkan diri agar tidak larut dalam kesedihan. Berbeda dengan keluarga korban lainnya, Rahmawati gigih memperjuangkan kasus yang menimpa anaknya itu untuk dibawa ke pengadilan. “Saya membuat petisi di Change.org. Tujuannya, agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban. Namun, kejadian ini berulang dan terus memakan korban.”

Mulyadi dan Mulyana, suami istri yang baru saja kehilangan anaknya, Aprilia Wulandari (13), tak kuasa menceritakan pengalaman pahitnya. Mereka masih teringat akan putrinya yang dimakamkan pada 18 November 2015. Aprilia merupakan korban ke-12 yang meninggal di lubang bekas tambang di Jl. Karang Mulya, RT 17, Kelurahan Lok Bahu.

Testimoni berikutnya disampaikan Nuraini, ibunda almarhum Ardi bin Hasyim, korban ke-10 yang tenggelam di lubang tambang milik PT. Cahaya Energi Mandiri. “Saya minta keadilan. Saya berharap, kolam bekas tambang segera ditutup.”

Selain keluarga korban, konsultasi publik dihadiri juga perwakilan masyarakat adat Paser, korban kriminalisasi PT. Kideco Jaya Agung; perwakilan masyarakat adat Dayak Basap Kraitan, Bengalon, Kutai Timur, korban pemindahan paksa PT. Kaltim Prima Coal; dan perwakilan masyarakat Muara Jawa, Kutai Kartanegara yang berkonflik dengan PT. Toba Bara Sejahtera.

Gerakan #SeribuRupiah merupakan inisiatif pegiat lingkungan di Samarinda untuk penyelesaian lubang tambang yang tidak di reklamasi. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Gerakan #SeribuRupiah merupakan inisiatif pegiat lingkungan di Samarinda untuk penyelesaian lubang tambang yang tidak direklamasi. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Kota jahat

Ketua Komnas HAM yang hadir di pertemuan itu memberi tanggapan atas penjelasan keluarga korban. “Biar saya komentari dulu soal korban yang meninggal ini. Yang meninggal, semuanya anak-anak?” tanya Nur Kholis.

Keprihatinan mendalam akan banyaknya bocah yang meninggal, membuat Nur Kholis menyebutkan Kota Samarinda adalah kota jahat. Karena, membiarkan lubang tambang menganga. “Jahat sekali pemerintah jika terus membiarkan peristiwa ini terjadi.”

Saya bisa merasakan kepedihan yang bapak ibu rasakan. Sanksi hukum kita, paling hanya menyentuh manajer lapangan. Tidak pernah sampai ke komisaris. “Seharusnya, siapa yang paling banyak merasakan keuntungan korporasi, itulah yang paling bertanggung jawab jika ada musibah.”

Faktanya jelas, di negara kita, pemerintah kalah kuasa dibanding korporasi. Dalam penentuan kebijakan, harus diakui negara masih diatur korporasi. Komnas HAM juga memiliki kewenangan terbatas, yaitu hanya memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.

“Kewenangan penindakan ada di kepolisian. Untuk penyelesaian reklamasi, DPRD harus melakukan pengawasan, meminta semua pihak duduk bersama menyelesaikan persoalan ini. Termasuk, memastikan uang jaminan reklamasi segera digunakan untuk menutup lubang-lubang tambang,” ujar Nur Kholis.

Meliana, Pejabat (Pj) Wali Kota yang baru dilantik, kurang sependapat dengan pernyataan bahwa Kota Samarinda adalah kota paling jahat HAM. “Janganlah menyebut seperti itu. Ini bisa diselesaikan baik-baik.”

Meliana menyatakan akan langsung memantau kolam tambang yang tidak direklamasi dan akan mengunjungi keluarga para korban. Untuk mengurai persoalan ini, Meliana yang juga Asisten IV Setprov Kaltim akan berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH). “Saya akan berkoordinasi dengan dinas terkait untuk mendapatkan informasi langsung. Setelah itu, saya akan beri keterangan.”

Sampai kapan korban berjatuhan yang merupakan anak-anak terus terjadi? Foto: Jatam Kaltim
Sampai kapan korban berjatuhan yang merupakan anak-anak terus terjadi? Foto: Jatam Kaltim

Gerakan #SeribuRupiah

Jum’at (27/11/2015), pegiat lingkungan yang tergabung dalam Forum Satu Bumi melakukan aksi bertajuk Samarinda Berkabung. Mareta Sari dari Jatam Kaltim mengatakan, aksi ini bertujuan untuk mengugah kepedulian dan solidaritas warga Samarinda terhadap kematian 12 bocah di lubang bekas tambang sejak 2011 lalu. “Sudah genap satu lusin anak yang meninggal, tetapi masih dianggap angin lalu oleh pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat luas,” kata Eta panggilan akrabnya.

Eta menjelaskan untuk mengalang solidaritas warga, kelompok aksi solidaritas ini menyusuri jalan utama Kota Samarinda sambil membawa gerobak dan ember besar. Gunanya, untuk menampung sumbangan masyarakat yang nantinya akan diserahkan kepada yang berwenang sebagai biaya bantuan penutupan lubang tambang.

“Kami simbolkan dalam bentuk #‎SeribuRupiah untuk menutup lubang tambang di Kota Samarinda. Kenapa begitu? Seribu rupiah biasanya kita siakan, namun kalau seluruh warga yang peduli bisa menyumbangkan, ini sangat membantu mengatasi persoalan lubang tambang yang hingga kini tiada penyelesaian,” ujar Eta.

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim yang menyertai aksi mengatakan, mereka akan terus menyuarakan persoalan ini. “Selama pemerintah gagal dan lalai, kami akan terus bersuara.”

Menurut Merah, saat ini, ada 150 lubang tambang yang dibiarkan terbuka, tidak direklamasi. Pemerintah selalu menjadikan alasan kekurangan biaya sebagai dalih untuk tidak melakukan penutupan.

“Alasan ini pula yang membuat kami menyelenggarakan aksi, mengajak masyarakat berpartisipasi dalam penanganan reklamasi lubang bekas tambang. Jika dana sudah terkumpul, akan kami berikan ke pemerintah. Agar tidak ada alasan untuk tidak berbuat,” pungkas Merah.

Aksi solidaritas Samarinda Berkabung, menggugah kepedulian warga Samarinda akan kondisi kota yang dikepung lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim
Aksi solidaritas Samarinda Berkabung, menggugah kepedulian warga Samarinda akan kondisi kota yang dikepung lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,