, , ,

Berikut Para Pegiat Lingkungan Soroti Janji Jokowi Tekan Emisi

Presiden Joko Widodo dalam pidato pada Conference of Parties (COP) 21 Paris menyatakan, kesiapan Indonesia berkontribusi dalam aksi menekan emisi global dari berbagai sektor, yakni, hutan dan lahan, energi serta maritim. Jokowi menjabarkan, beberapa langkah dari perbaikan tata kelola hutan/lahan, energi terbarukan sampai perlindungan keragaman hayati laut. Apa kata pegiat lingkungan?

Yuyun Indardi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, sejauh ini lahan belum ada tanda-tanda tata pemerintahan sektor kehutanan membaik.

“Kalau Jokowi mempunyai jargon revolusi mental, KLHK juga perlu melakukan itu. Investasi Presiden Jokowi lebih memperlihatkan basis ekonomi pada SDA (sumber daya alam). Kita masih kedodoran. Masih tertinggal. Pengelolaan SDA harus lebih baik. Bonusnya pengurangan emisi,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/12/15)..

Aktivis Koalisi untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, Nadia Hadad juga berkomentar. Langkah adaptasi masih kurang. Selama ini, katanya, upaya pemerintah fokus mitigasi. Intended Nationally Determined Contributions (INDC) juga terlihat bias daratan. “Kita negara kepulauan. Urusan pesisir dan laut penting.”

Dia juga menyayangkan, prioritas energi terbarukan kurang, masih fokus fosil. Memang, katanya, ada rencana membangun energi terbarukan, tetapi tetap mengandalkan batubara.

Koordinator Riset Debwatch Indonesia Diana Gultom menyatakan, inkonsistensi yang disampaikam dengan kebijakan pemerintah Indonesia.

“Presiden mengatakan Indonesia memiliki 17.000 pulau harus diselamatkan, dalam RPJMN justru merencanakan reklamasi ribuan hektar. Padahal kawasan pesisir penuh mangrove harus dijaga. Kalau tak ada, akan melepaskan emisi lima kali lebih besar daripada hutan,” katanya.

Dia menilai, untuk adaptasi seolah pemerintah berharap pada bantuan internasional. Pola perencanaan dan penganggaran, katanya, minim buat adaptasi.

Sisilia Nurmala Dewi dari HuMa melalui sambungan skype mengatakan, momentum COP seharusnya menjadikan pemerintah Indonesia berhenti pura-pura peduli perubahan iklim.

“Indonesia harus memberikan contoh konkrit. Kita menyoroti banyak kontradiksi. Moratorium dan one map sebagai komitmen tapi realisasi belum.”

Sisil juga menyoroti situasi paviliun Indonesia di COP21. Ada banyak sekali investor berperan dalam peningkatan emisi muncul di sana. Padahal, tema Indonesia dalam paviliun soal solusi perubahan iklim.

“Justru pengisi paviliun banyak perusahaan perkebunan sawit. Mereka seolah ingin menunjukkan diri sebagai perusahaan peduli penurunan emisi. Fakta di lapangan sebaliknya. Justru berkontribusi besar pelepasan emisi.”

Soal pidato Jokowi, terkait pelibatan masyarakat adat, katanya, antara ucapan dan realitas berbeda. “Sampai saat ini, AMAN dan teman-teman NGO lain masih berjuang bagaimana masyarakat adat mendapatkan hak dalam pengelolaan SDA. Setelah dua setengah tahun putusan MK35, belum ada satupun hutan adat ditetapkan dengan berbagai alasan.”

Pemerintah, katanya, justru mensyaratkan penetapan hutan adat harus melalui perda, tak boleh bersinggungan dengan wilayah konservasi dan lain-lain. “Yang sekarang diprioritaskan hanyalah wilayah-wilayah sempit. Ini jadi pertanyaan kita.”

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, pidato Presiden menunjukkan kesadaran Indonesia sebagai negara pesisir dan kepulauan rentan dampak perubahan iklim.

“Faktanya kebijakan pembangunan nasional tak berubah. Reklamasi dan tambang saat ini justru menyasar pulau-pulau kecil. Ini kontradiksi dengan yang disampaikan.”

Kurniawan Sabar dari Walhi Nasional menambahkan, COP21 Paris semestinya menghasilkan kesepakatan mandatori mengikat secara hukum (legally binding) hingga mengikat seluruh pihak.

“Kita lihat pidato Presiden tak menyinggung legally binding. Padahal Indonesia mempunyai posisi strategis mendesak negara-negara lain lebih berkomitmen,” katanya.

Energi terbarukan

Fabby Tumiwa, Koordinator Indonesia Climate Action Network (ICAN) baru-baru ini mengatakan, Indonesia bisa berkontribusi lebih banyak dalam mitigasi perubahan iklim global melalui sejumlah opsi berbiaya rendah, seperti penanganan kebakaran hutan dan lahan, perlindungan lahan gambut, dan pengendalian pembukaan lahan. Langkah lain, efisiensi energi pada perangkat rumah tangga, industri, dan bangunan gedung, peningkatan efisiensi bahan bakar untuk transportasi melalui perbaikan fuel economy standard maupun akselerasi energi terbarukan untuk bahan bakar dan pembangkit listrik.

Pemanfaatan energi terbarukan untuk sistem off-grid listrik pedesaan, katanya, potensi yang belum dioptimalkan. Pemerintah cenderung mendorong elektrifikasi melalui perluasan jaringan bahan bakar diesel.

Indra Sari dari WWF Indonesia mengatakan, kontribusi emisi energi akan makin besar jika penggunaan energi terbarukan tak didorong sejak sekarang.

“Indonesia perlu memiliki target ambisius dan konsisten pengembangan energi terbarukan. Pemanfaatan teknologi berbasis masyarakat seperti mikrohidro, panel surya, biogas dan biomassa dapat ditingkatkan terutama memberikan akses energi bersih bagi masyarakat di daerah terpencil,” katanya.

Pengoptimalan energi terbarukan skala besar seperti geothermal juga penting. Berbagai kendala, katanya, seperti perizinan, koordinasi lintas sektoral, konflik sosial serta investasi publik dan swasta harus segera diselesaikan. “Tentu mengedepankan aspek keberlanjutan dan keadilan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,