,

Komitmen Kehutanan Jokowi Di COP21 Paris Dinilai Masih Lemah. Kenapa?

Pemerintah Indonesia menjadikan sektor kehutanan menjadi bagian penting dalam komitmen dan penanganan perubahan iklim nasional maupun global.  Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya disesi Leaders Event pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada Senin (30/11/2015).

Leaders Event merupakan sesi penyampaian pandangan masing-masing negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang komitmen dan penanganan perubahan iklim global dalam COP21 tersebut.

“Saya hadir disini untuk memberikan dukungan politik kuat terhadap suksesnya COP 21. Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru-paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi. Pemerintah yang saya pimpin, akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan,” kata Jokowi.

“Baru-baru ini, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut. El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun telah dapat diselesaikan. Penegakan hukum secara tegas dilakukan, langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai implementasikan, restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut,” lanjutnya.

“Kerentanan dan tantangan perubahan iklim tersebut tidak menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi. Untuk itu, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah di bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, melalui penerapan one map policy, menetapkan moratorium dan review ijin pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi yang  lestari,” kata Jokowi dalam pidatonya.  (transkip lengkap pidato Presiden Jokowi bisa dilihat disini)

Belum Jelas dan Tegas

Menanggapi pidato Jokowi tersebut,  Jalal,  Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability melihat pernyataan Presiden Jokowi masih belum jelas dan tegas menunjukkan komitmen Indonesia.

“Pada pembukaan pidatonya, Presiden Jokowi menyatakan ‘Pemerintah yang saya pimpin, akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan’.  Pernyataan ini sangat normatif dan juga tidak begitu jelas. Frasa ‘memperhatikan lingkungan’ itu beragam tingkatannya, mulai dari apa yang dikenal sebagai greenwashing, light green/weak sustainability, hingga deep ecology/strong sustainability.  Tingkatan mana yang sesungguhnya dirujuk oleh Presiden?  Tak jelas benar,” kata Jalal kepada Mongabay, Selasa (01/12/2015).

“Tetapi bila kemudian kita lihat kalimat terkait sifat perjanjian di Paris di bagian akhir pidato, yaitu ‘…ambisius, namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang’, maka kita dapat menduga bahwa masih ada pemikiran bahwa bentuk upaya memperhatikan lingkungan sesungguhnya bisa bertentangan dengan pembangunan.  Ini ditunjukkan dengan kata hubung ‘namun’. Oleh karena itu, sikap Pemerintah RI kemungkinan berada pada weak sustainability,” lanjutnya.

Mengenai pernyataan Jokowi tentang kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia, Jalal melihatnya sebagai pernyataan yang bersifat defensif.  Walaupun tak menyalahkan siapapun kecuali alam—yang diwakili oleh El Nino—namun Presiden juga tak meminta maaf dan mengakui kesalahan bangsa Indonesia.

“Narasi yang hendak dibangun dari awal memang hendak menyatakan bahwa Indonesia merupakan bagian dari solusi.  ‘Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi’, demikian yang dinyatakan pada bagian paling awal pidato,” kata Jalal.

Dia melihat sikap ini, bagaimanapun, tidak menunjukkan sensitivitas, karena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia punya pengaruh sangat besar terhadap semakin tingginya emisi di dunia.  “Akan sangat elok kalau Presiden Jokowi berani meminta maaf.  Obama, sebagai perbandingan, menyatakan bahwa sebagai negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia, Amerika Serikat bertanggung jawab untuk melakukan tindakan yang lebih dibandingkan dengan negara-negara lain.  Sementara itu, Indonesia yang tahun ini emisinya diperkirakan melebihi negara manapun, tidak mengambil sikap yang jantan,” lanjut Jalal.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

“Tetapi, pernyataan tentang penegakan hukum serta langkah preventif dan restoratif, patut mendapatkan apresiasi.  Tak ada jalan lain memang untuk memperbaiki kondisi lahan gambut, kecuali melalui langkah tersebut.  Pengumuman tentang akan diresmikannya Badan Restorasi Gambut jelas akan disambut gembira oleh seluruh pihak, dan hal ini bisa mendatangkan bantuan luar negeri untuk mewujudkannya,” katanya.

Dia melihat pernyataan paling penting pidato Jokowi adalah komitmen Indonesia menurunkan emisi sebesar 29% di bawah business as usual (BAU) pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional.  “Seperti yang telah dinyatakan oleh Greenpeace dan banyak pakar yang mengomentari INDC Indonesia INDC itu, sesungguhnya komitmen itu mengecewakan,” tambahnya.

“Karena Indonesia telah menyatakan di berbagai forum pada di tahun 2020 emisi Indonesia adalah 26% dari skenario BAU, dengan sumberdaya sendiri.  Ini berarti bahwa emisi Indonesia pada tahun itu diperkirakan akan mencapai 1.400-an gigaton setara karbondioksida.  Sementara itu, Indonesia bukannya tidak mendapatkan bantuan luar negeri, sehingga seharusnya emisinya di tahun 2020 menjadi lebih rendah lagi, yaitu sekitar 1.100 gigaton.  Kalau kemudian Indonesia menyatakan bahwa BAU 2030 adalah hampir mencapai 2.900 Gigaton dan memotongnya dengan 29% dengan sumberdaya sendiri, maka hasilnya adalah 2050 Gigaton.  Ini berarti Indonesia menjanjikan kenaikan emisi yang signifikan antara 2020 hingga 2030.  Bukan penurunan,” terang Jalal.

“Sangat penting juga untuk diingat bahwa ada berbagai data yang ber-sliweran tentang berapa sesungguhnya emisi Indonesia.  Perhitungan resmi Pemerintah RI berbeda dengan UNFCCC atau WRI (world resources international), misalnya.  Hal ini, kalau Pemerintah RI ingin menunjukkan keseriusan, seharusnya diklarifikasi terlebih dahulu,” lanjutnya.

Data WRI tentang 10 negara dengan emisi GRK tertinggi di dunia pada tahun 2011. Indonesia menjadi negara pengemisi tertinggi. Sumber : WRI
Data WRI tentang 10 negara dengan emisi GRK tertinggi di dunia pada tahun 2011. Indonesia menjadi negara pengemisi tertinggi. Sumber : WRI

“Hutan dan lahan adalah strategi penurunan emisi berikutnya.  Presiden menyatakan: ‘penerapan one map policy dan menetapkan moratorium serta review ijin pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari’.  Seluruhnya adalah komitmen yang baik dan diperlukan untuk penurunan emisi di sektor kehutanan,” kata Jalal.

Namun, rehabilitasi hutan dan lahan gambut yang terbakar sebaiknya disebutkan lagi di bagian ini.  “Moratorium dan review ijin saja tidak akan mengembalikan kondisi ekosistem gambut.  Akan jauh lebih ciamik bila dalam bagian ini Presiden mengungkapkan target-target rehabilitasi yang ambisius namun tampak masuk akal untuk dicapai.  Di bagian ini pula Presiden bisa mengundang negara-negara lain untuk berpartisipasi membantu Indonesia (dan dunia) untuk mengupayakan tidak terbakarnya lagi ekosistem gambut,” lanjutnya.

“Secara singkat, walaupun ada banyak butir yang bisa diapresiasi, pidato Presiden Jokowi belum bisa memberi inspirasi untuk berbuat yang lebih dari apa yang sudah dijanjikan dalam INDC.  Dan, penting untuk diingat, bahwa bahwa INDC kita dinilai oleh seluruh dunia sebagai tidak memadai.  Tanggal 21 Oktober lalu, Climate Action Tracker menyatakan bahwa INDC kita statusnya inadequate.  Pidato Presiden Jokowi bisa dikatakan hanya menguatkan posisi tersebut.  Agaknya kita belum bisa berbangga diri dalam urusan yang satu ini,” tambah Jalal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,