,

Perhutanan Sosial di Aceh, Bisakah Diterapkan?

Pemerintah Indonesia menargetkan areal pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Target perhutanan sosial ini merupakan komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 sekaligus mendukung Nawacita yang mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

“Penyediaan areal kelola masyarakat sebagai dukungan nyata KLHK dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan sekitar kawasan hutan. Juga, penyelesaian konflik tenurial secara damai dan mendorong pertisipasi aktif masyarakat untuk menjaga dan bertanggung jawab terhadap pelestarian kawasan hutan yang dikelolanya,” ujar Wiratno, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, di Banda Aceh, Jum’at (27/11/2015).

KLHK  bersama pihak terkait di tingkat nasional telah menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Peta tersebut disusun berdasarkan data dan informasi dari Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, Dirjen KSDAE, juga NGO. “Bertahap, sebelum ditetapkan oleh Menteri LHK, PIAPS dikonsultasikan lebih dahulu dengan pihak terkait, termasuk di Aceh yang mewakili region Sumatera.”

Aceh merupakan provinsi dengan otonomi khusus dan aktif mendorong pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Berdasarkan SK Menteri Nomor 103/MenLH-II/2015, 2 April 2015, tentang Kawasan Hutan Provinsi Aceh, terdapat hutan seluas 3.557.928 hektar. Rinciannya, hutan konservasi (1.058.144 ha), hutan lindung (1.788.265 ha), hutan produksi terbatas (141.771 ha), hutan produksi tetap (554.339 ha), dan hutan produksi konversi (15.409 ha).

Berdasarkan data sementara PIAPS yang mengacu SK tersebut, Aceh memiliki potensi 467.670 ha untuk dikelola dan dimanfaatkan masyarakat. “Bentuknya, Hkm, HD, HTR, hitan adat dan kemitraan kehutanan.”

Wiratno menambahkan, pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak merubah fungsinya sebagai hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Areal indikatif perhutanan sosial yang berbatasan dengan hutan konservasi diharapkan bersinergi untuk pengembangan daerah penyangga.

Sedangkan wilayah adat yang diusulkan oleh BRWA/AMAN di hutan konservasi, dapat ditempuh melalui penataan zonasi. Antara lain, memasukkannya ke zona pemanfaatan tradisional, atau melalui skema lain sesuai Keputusan MK 35, yaitu mengeluarkan wilayah adat dari statusnya sebagai hutan negara menjadi hutan hak. “Payung hukum perubahan statusnya masih proses di KemenLHK.”

Wiratno juga mengatakan, hingga Oktober 2015, perkembangan perhutanan sosial di Aceh yaitu HKm telah ditetapkan seluas 23.964 ha. Sebarannya, Kab. Aceh Timur (13.658 ha), Kab. Aceh Tamiang (8.500 ha), Kab. Bener Meriah (95 ha), Kota Sabang (1.100 ha), Kab. Aceh Barat Daya (200 ha), dan Kab. Aceh Tengah (411 ha).

Tujuan akhir perhutanan sosial adalah terciptanya hutan lestari dan masyarakat sejahtera. “Kerja sama terpadu dan saling menguntungkan dilakukan dengan fokus penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas masyarakat, pemupukan modal usaha, penggunaan teknologi tepat guna, dan pembangunan jaringan pemasaran,” papar Wiratno.

Hutan Aceh yang rusak, dari permukaan terlihat hijau namun di tengahnya gundul. Foto: Junaidi Hanafiah

Harus bermanfaat

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma, Rabu (2/12/2015) mengatakan, sistem perhutanan sosial yang digelontorkan Pemerintah Pusat melalui KLHK dapat dijadikan titik tolak pengelolaan hutan oleh masyarakat. Sehingga, upaya pengurangan konflik seperti yang selama ini terjadi dapat diminimalisir.

“Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pola komunikasi, koordinasi dan join manajemen dengan KPH harus terbangun. Asistensi dan pendampingan pun harus dilakukan agar tidak terjadi pengelolaan yang salah.”

Efendi mengatakan, hutan Aceh tidak boleh dibaca dalam bentuk angka sebagaimana yang terjadi ketika penataan ruang kehutanan dilakukan (RTRW Aceh). Pendekatan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) harus disusun benar sebagai acuan pengembangan wilayah ketika melakukan pembangunan.

“Kita berharap sistem perhutanan sosial ini bukan sebagai usaha pemerintah dalam “menina bobokkan” masyarakat agar tidak mengganggu bisnis perizinan terhadap korporasi besar yang akan mengelola hutan Aceh. Baik untuk perkebunan sawit maupun tambang,” ujar Efendi.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur, mengatakan hal yang sama. Walhi Aceh sangat setuju dengan program yang dibuat oleh pemerintah tersebut, namun harus dipastikan, melalui program ini hutan di Aceh selamat dan tidak akan rusak lagi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,