,

Lagi! Ribuan Burung Asal Kalimantan Diselundupkan melalui Kapal Motor

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur menggagalkan penyelundupan 2.711 ekor burung dari Balikpapan, Kalimantan Timur, ke Surabaya melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Kamis (3/12/2015).

Kepala BKSDA Jawa Timur Suyatno Sukandar menjelaskan, terungkapnya penyelundupan ribuan burung yang akan diperdagangkan ke Jakarta dan Jawa Timur ini, bermula dari laporan penumpang Kapal Motor (KM) Mahkota Nusantara, yang bersandar di Pelabuhan Jamrud, Tanjung Perak Surabaya. Burung-burung itu dibawa dalam kotak kardus dan kotak-kotak yang dilubangi, kemudian diangkut menggunakan sebuah Truk Fuso merah bernopol L 9678 UT.

Ribuan burung tersebut adalah cica-daun besar (Chloropsis sonnerati) sebanyak 1.411 individu, kucica hutan (Copsychus malabaricus) 712 individu, tiong emas (Gracula religiosa) 557 individu, branjangan jawa (Mirafra javanica) 20 individu, tangkar ongklet (Platylophus galericulatus) 8 ekor, kucica kampung (Copsychus saularis) 2 individu, dan merbah-mata merah (Pycnonotus brunneus) 1 individu.

“Semua dibawa tanpa dokumen atau surat sah. Rencananya burung-burung itu akan dibawa ke Pasar Burung Pramuka Jakarta,” imbuh Suyatno, Sabtu (5/12/2015).

Dari ribuan burung yang akan diperdagangkan itu, diduga banyak yang mati selama di perjalanan. BKSDA Jawa Timur telah meminta bantuan dokter hewan di beberapa lembaga konservasi untuk memeriksa kondisi burung tersebut yang saat ini diamankan di kantor BKSDA.

Maraknya penyelundupan dan perdagangan burung yang dibawa melalui jalur laut, menurut Suyatno tidak lepas dari lemahnya pengawasan dan penjagaan di tempat asal atau sumber satwa itu diselundupkan. Seharusnya petugas di tempat asal satwa dapat mencegah keberangkatan kapal, yang diduga membawa satwa liar dilindungi maupun satwa hasil tangkapan dari alam liar.

Usai pendataan dan pemberkasan perkara, BKSDA Jawa Timur berencana melepasliarkan kembali ribuan burung itu ke habitat aslinya di Kalimantan Timur. “Diperkirakan ribuan burung itu memiliki nilai jual Rp700 juta,” ujarnya.

Burung cica-daun besar yang berhasil diamankan Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, 11 November 2015. Dalam beberapa bulan terakhir, Surabaya dijadikan wilayah penyelundupan burung liar. Foto: Petrus Riski

Rusak ekosistem

Lembaga Protection of Forest and Fauna (Profauna) menyayangkan maraknya penyelundupan burung melalui angkutan kapal motor. Penyelundupan dengan waktu panjang itu, dipastikan membuat sebagian besar satwa mati atau sakit. Riset Profauna menyebutkan, 40 persen burung mati dalam perjalanan setelah ditangkap di alam. Sehingga, pedagang burung akan menangkap lebih banyak lagi untuk mengantisipasi kematian sebelum dijual ke pasar burung.

“Kalau perburuan di alam kemungkinan satwa mati 20 persen. Di perjalanan setelah ditangkap risiko mati hingga 40 persen,” ujar Rosek Nursahid, Ketua Profauna.

Maraknya penangkapan burung jenis yang tidak dilindungi, menurut Rosek, menjadi ancaman tersendiri terhadap populasinya di habitat asli. Minimnya pantauan mengenai populasi di alam serta yang ditangkap, dikhawatirkan akan menyebabkan kepunahan lokal burung di suatu daerah.

Rosek memaparkan, peningkatan permintaan burung berkicau dari alam, terutama dari Sumatera dan Kalimantan meningkat. Pemerintah harus membuat aturan dan tindakan tegas untuk melindungi burung-burung yang tergolong tidak dilindungi. “Kalau dibiarkan terus, akan mengancam keseimbangan ekosistem lokal. “Penelitian mengenai populasi jenis yang tidak dilindungi itu kecil sekali datanya, tapi penangkapan yang terjadi justru ribuan jumlahnya.”

Pendiri Profauna Indonesia ini juga mendesak pemerintah melalui Kementerian Perhubungan membuat peraturan yang melarang seluruh pengangkutan umum dan ekspedisi untuk membawa dan mengangkut satwa liar jenis apa pun dalam kondisi hidup. “Kita pernah jumpai satwa diselundupkan dalam truk di tengah paket sayur-mayur. Jadi, semua harus dilarang total,” tegas Rosek.

Tiong emas atau sering disebut Hill Myna, merupakan jenis burung yang turut diburu. Foto: Asep Ayat

Dampak negatif

Bukan hanya persoalan perburuan untuk diselundupkan, keberadaan burung-burung liar di Indonesia juga menghadapi dampak negatif akibat kebakaran dan kabut asap yang terjadi di Indonesia sejak Juli hingga November 2015 lalu.

BirdLife International memperkirakan, lebih dari seribu jenis burung yang ada di Indonesia, yang 50 jenisnya masuk dalam Daftar Merah IUCN, terpapar dampak negatif dari kebakaran dan polusi asap tersebut. BirdLife menyerukan agar Pemerintah Indonesia, pelaku usaha, masyarakat, dan semua pihak agar mencari solusi guna mencegah terjadinya kebakaran hutan di masa depan dan pentingnya melakukan restorasi ekosistem.

Hutan Indonesia merupakan rumah bagi banyak spesies endemik, terlebih burung. Pembakaran hutan tidak hanya membuat satwa pindah atau mati, tapi juga akan mempermudah para pemburu untuk mendapatkan targetnya. Terparah, ekologi perilaku satwa akan terganggu karena habitat aslinya berupa hutan sudah rusak.

“Kita harus melakukan inisiatif positif yang tidak hanya melindungi hutan sebagai rumahnya keanekaragaman hayati tetapi juga penting untuk memikirkan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan,” ungkap Direktur BirdLife Indonesia, Agus Budi Utomo, Jum’at (4/12/2015).

Menurut Agus, kita perlu memusatkan seluruh perhatian untuk menemukan solusi guna mencegah kebakaran ketimbang melakukan pemadaman. “Solusi harus bisa diterapkan di tingkat lokal, sehingga bisa dilakukan. Dengan begitu, penyelamatan hutan dan kelestarian burung beserta satwa lainnya akan terjaga,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,