,

Larung 7 Tumpeng, Ungkapan Syukur untuk Kelestarian Sungai dan Ikan

Kepulan dupa wangi memenuhi teras rumah yang di situ tersusun 7 tumpeng dengan aneka lauk. Hasil bumi dan buahan khas pinggir sungai juga tersusun rapi di atas tampah bundar yang terbuat dari bambu beralas dau pisang.

Lantunan doa yang disusul musik gending jawa mengiringi 7 tumpeng yang dibawa menuju bibir Sungai Surabaya di Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Siang itu, Prigi Arisandi bersama anggota LSM Ecoton menaiki perahu untuk melarung 7 tumpeng tersebut sebagai ungkapan syukur atas rezeki dan kebaikan yang diperoleh masyarakat dari sungai.

“Ini ungkapan syukur kepada sungai dan ikan, yang telah memberi kami dan masyarakat  kehidupan penuh kebaikan,” kata Prigi, Direktur Eksekutif Ecoton, akhir November 2015.

Melalui prosesi larung pakan ikan, Prigi mengajak masyarakat kembali melihat sungai sebagai tempat penyokong kehidupan yang harus dijaga kelestarian dan kebersihannya. “Pola pikir kita yang lama itu membelakangi sungai. Sungai dianggap tempat pembuangan bangkai dan sampah.”

Melalui larung, masyarakat kami ajak merawat sungai, yang bukan hanya sebagai sumber air minum, melainkan tempat hidup makhluk dan biota lainnya. “Kita ingin mengembalikan tradisi kehidupan yang selaras dan harmoni dengan sungai.”

Larung ini lanjut Prigi, sekaligus pencanangan Gerakan Kembali ke Sungai dan Gerakan Sungaiku Omah Iwak (sungaiku rumah ikan). “Gerakan ini mengajak masyarakat menempatkan sungai sebagai pusat kehidupan sekaligus rumah ikan,” ujar lulusan Biologi Universitas Airlangga ini.

Sungai yang terjaga dan bersih sebagai rumah ikan diamini Supriyo, nelayan Sungai Brantas asal Jombang. Pencemaran sungai akibat limbah pabrik kertas 2001 silam membuat puluhan jenis ikan asli Sungai Surabaya mati. “Ada jendil, rengkik, jambal, mura ganting, papar, pacal, bader merah dan bader putih, palung, mujair, lele, dan bulus dulunya banyak. Sekarang sudah pada hilang.”

Menurut Supriyo, menjaga sungai tetap bersih diyakini akan mengembalikan fungsinya sebagai pusat kehidupan masyarakat. “2011 lalu, ikan rengkik habis, lalu diberi bibit lagi sehingga pada 2014 kembali banyak. Jadi, sungai harus dijaga.”

Peluncuran Buku Sensus Ikan di kantor Ecoton, di  Wringinanom, Gresik. Foto: Petrus Riski
Peluncuran Buku Sensus Ikan di kantor Ecoton, di Wringinanom, Gresik. Foto: Petrus Riski

Pentingnya pohon

Pada kesempatan yang sama, Prigi bersama pegiat lingkungan lainnya membentuk “Komunitas Penyembah Pohon.” Komunitas ini tentu saja bukan mengajak masyarakat menyembah pohon dalam arti yang sebenarnya, melainkan menghormati pohon sebagai karunia Tuhan bagi manusia.

Menghormati pohon dilakukan sebagai sindiran bagi pelaku pembabat hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan serta berdampak pada perubahan iklim. Padahal, pohon merupakan pabrik penghasil oksigen dan sumber kehidupan manusia. “Pohon penting untuk menghidupi kita dan juga sungai. Kita harus menjaga dan melestarikannya.”

Prigi mencontohkan proyek pelebaran jalan di Wringinanom pertengahan tahun hingga saat ini yang telah mengorbankan ratusan pohon asem berusia ratusan tahun dengan cara ditebang. Pemerintah terkesan enggan mencari solusi selain menebang, meski pohon berukuran besar itu dapat dipindahkan. “Kita sudah memindahkan pohon asem tua ke bantaran Sungai Surabaya, totalnya ada 20 pohon tanpa harus ditebang. Ini harus menjadi perhatian pemerintah.”

Sebelum melarung 7 tumpeng, Prigi meluncurkan Buku Sensus Ikan, yang berisi berbagai hasil penelitian dan kajian Ecoton terkait sungai dan ikan. “Mari kita jadikan sungai sebagai laboratorium alam tempat belajar. Selama ini kita lupa, sungai ikut mendukung kehidupan kita,” pungkas Prigi

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,