Serikat Petani Indonesia (SPI) Wilayah Bengkulu bersama Perkumpulan Mahoni berinisiatif melakukan perubahan cara pandang dan praktik pengelolaan kebun kopi dengan pola agroekologi. Bila selama ini petani hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi, melalui pola ini petani diminta mempertimbangkan kepentingan ekologi dalam mengelola kebunnya.
Dengan agroekologi, petani dapat menerapkan ilmu ekologi dalam mengembangkan pola agroforestry. Dengan kata lain, pengembangan agroforestry bukan semata mempertimbangkan kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk kepentingan ekologi. Lahan dikelola sebagai suatu ekosistem.
“Agroekologi kopi penting dilakukan guna memulihkan daya dukung lahan, menjaga keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim. Kami akan mulai inisiatif ini dengan mengundang 20 petani kopi untuk mendiskusikannya,” ujar Ketua SPI Wilayah Bengkulu Hendarman saat ditemui bersama Ketua SPI Cabang Kepahiang Sasmitra, Sabtu (5/12/2015).
Hasil penelitian menunjukkan kopi berpola agroforestry bukan hanya mampu meningkatkan pendapatan petani melalui produktivitas kopi dan dari komoditi lain. Tetapi juga, bermanfaat bagi konservasi tanah dan air, menjaga keanekaragaman hayati baik flora dan fauna, dan ikut berkontribusi menurunkan emisi karbon.
“Kebun kopi agroforestry berkontribusi lebih besar dibandingkan monokultur dalam penyerapan dan penyimpan karbon. Tingkatnya bervariasi sesuai dengan keragaman jenis. Informasi ini bagi petani sebagai landasan mengelola kebun,” ujar Hendarman.
SPI Wilayah Bengkulu mencatat, pada 2014 luas perkebunan kopi di Bengkulu sekitar 90.478 hektar dengan total volume produksi 56.375,6 ton dan melibatkan 66.892 kepala keluarga. Di Indonesia, Bengkulu merupakan provinsi penghasil kopi terbesar ketiga.
Kebun
Wahidi (62), warga Desa Air Sempiang, Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, yang mengelola kebun kopi berpola agroforestry menuturkan di kebun seluas satu hektar, ia menanam sekitar 24 jenis tumbuhan. Diantaranya lada, durian, mahoni, cengkeh, pinang, pisang dan cabai. Ia juga beternak ayam, kerbau, dan lebah madu. Ranting dan daun kopi serta kotoran ayam dan kerbau dimanfaatkan sebagai pupuk.
“Sebelumnya, hasil panen hanya 1 – 1,2 ton. Setelah berpola agroforestry, panen menjadi 2 – 2,5 ton. Saat kemarau panjang lalu, suhu udara di kebun saya tidak panas dan daun kopi tidak menguning,” ujar Wahidi yang mulai mengembangkan pola agroforestry sejak 2005.
Wahidi menuturkan, pendapatan yang diperolehnya jauh lebih besar dibandingkan ketika menganut pola monokultur. Selain dari peningkatan jumlah panen kopi, dia juga memperoleh pendapatan dari menjual madu, ayam, lada, dan komoditi lainnya. Mengenai burung yang singgah ke kebun, Wahidi mengatakan, jumlahnya saat ini jauh lebih banyak. “Lebih dari 20 jenis. Beberapa yang saya tahu adalah bentet, perkutut, kutilang, dan elang.”
Cegah pembukaan lahan
Pakar kopi dari Universitas Bengkulu, Prof. Dr. Alnopri tidak menampik sebagian besar petani kopi di Bengkulu mengelola kebunnya berpola monokultur. Sehingga, jangka waktu petani memanfaatkan lahan relatif tidak lama. Setelah mengelola 10 tahun, petani meninggalkan lahannya akibat produksi kopi menurun drastis, lalu membuka lahan baru.
Ironisnya, daerah yang sering menjadi sasaran adalah kawasan hutan. “Perubahan pola pengelolaan kebun kopi yang dilakukan masyarakat bisa membantu mencegah atau meminimalisir pembukaan lahan baru. Terutama, di kawasan hutan yang dilindungi.”
Alnopri sangat mendukung inisiatif perubahan cara pandang dan praktik pengelolaan kopi dengan pola agroekologi. Selain menaikkan produksi kopi Provinsi Bengkulu yang relatif rendah (rata-rata 0,7 ton/ha), inisiatif tersebut selaras dengan kepentingan konservasi lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim.
Mengenai kopi tidak masuk Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK, Alnopri menilai, pemerintah tetap perlu memprogramkan pengembangannya. “Paling tidak diprogramkan oleh pemerintah provinsi, menjadikan kopi sebagai komoditi unggulan dalam upaya pengurangan emisi GRK secara nasional.”
Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia, dengan luas perkebunan sekitar 1,24 juta hektar dan melibatkan 1,9 juta kepala keluarga. Pada 2014, volume produksi kopi Indonesia sebesar 685.089 ton yang sekitar 385.000 ton diekspor dengan devisa mencapai US$ 1,4 miliar.