, ,

Hutan Itu Laksana Ibu Bagi Kehidupan Orang Sungkup

Malam merayap pagi ketika sayup-sayup suara lesung terdengar memecah keheningan. Satu per satu warga mulai turun dari kediaman masing-masing. Mereka bergegas, mengayun langkah ke rumah betang atau rumah panjang (rumah adat Dayak). Di sana, ritual selamatan daun padi segera dihelat.

Pagi itu, Kamis (26/11/2015), jarum jam baru menunjuk angka dua. Namun, tanda-tanda kehidupan di Dusun Sungkup, Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat sudah mulai berdenyut.

Warga membawa perlengkapan ritual seperti beras, ayam, daun padi, dan tipah (anyaman dari bambu). Semua kebutuhan itu dikumpulkan di selasar rumah panjang sebagai salah satu sarat sahnya ritual.

Suasana perlahan mengarah takzim ketika warga mulai berkumpul memenuhi ruang pertemuan rumah panjang. Di sana sudah hadir Temenggung Belaban Ella, Manan. Hadir pula sejumlah tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan aparat Desa Belaban Ella.

Sekilas, kaum perempuan lebih dominan mengambil peran dalam ritual. Mantra-mantra berseliweran, diselingi alunan suara suling yang ditiup seorang ibu paruh baya. Tetes darah ayam yang disembelih, berbaur dengan lenggak-lenggok tarian khas seluruh warga pemilik ladang.

Itulah akhir dari rangkaian ritual Mopat Daun Padi (selamatan daun padi) di rumah panjang sebelum tipah (anyaman bambu) diantar oleh warga pemilik ladang untuk ditancapkan di tengah dan sisi ladang.

Mopat Daun Padi ini sekaligus menjadi simbol rasa syukur dan penghormatan yang tinggi komunitas masyarakat Sungkup terhadap hasil alam yang diberikan Sang Mahakuasa.

“Ritual ini mengajak para pemilik ladang dan warga pada umumnya untuk datang bersilaturrahmi dalam suasana kekeluargaan di rumah panjang. Kita berdoa bersama, sekaligus mengumpulkan semangat padi supaya tetap subur dan bebas dari gangguan hama,” kata Bahen, tokoh masyarakat Sungkup.

Menurut Bahen, semua padi yang sudah ditanam warga akan dicuci dengan air yang sudah dibumbui mantra. Pada waktunya, air itu dibawa ke ladang masing-masing supaya padi yang sudah ditanam tumbuh subur.

Sementara anyaman yang terbuat dari bambu (tipah) akan ditancapkan di tengah dan sisi ladang. Ini diyakini dapat membuang atau menolak segala sesuatu yang tak baik. “Ini salah satu cara kami mengelola potensi alam yang ada secara bijak. Semua punya aturan adat. Dari membuka ladang sampai panen tiba,” kata Bahen.

Mandi Anak adalah salah satu upacara adat orang Sungkup untuk kali pertama memandikan anak di sungai dan menjadi simbol interaksi yang harmonis dengan alam (sungai). Foto: Andi Fachrizal
Mandi Anak adalah salah satu upacara adat orang Sungkup untuk kali pertama memandikan anak di sungai dan menjadi simbol interaksi yang harmonis dengan alam (sungai). Foto: Andi Fachrizal

Bertahan dalam pusaran adat

Orang Sungkup percaya hutan telah memberikan segalanya bagi kehidupan. Oleh karenanya, tidak ada alasan yang cukup untuk menuding komunitas Dayak Limbai dan Ransa penghuni Kampung Sungkup ini mengelola hutannya secara tidak berkelanjutan.

Salah satu hal yang patut dijadikan pegangan adalah pengetahuan mereka tentang alam dan lingkungan yang sangat dalam. Orang Sungkup menjalankan aktivitas kesehariannya melalui tanda-tanda alam. Warga tahu kapan masa membuka ladang atau memasok protein dari hutan.

“Semua itu sudah diatur dalam hukum-hukum adat. Misalnya, kapan orang boleh membuka ladang. Kalau dibakar, caranya bagaimana? Atau, kapan masa berburu yang tepat serta jenis-jenis hewan yang boleh diburu,” kata Manan, Temenggung Belaban Ella.

Menurutnya, hutan telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi orang Sungkup. Atas pelajaran-pelajaran itu pula, warga sadar dan sangat berhati-hati dalam membuka dan memanfaatkan kawasan hutan.

Salah satu contoh adalah, ketika warga hendak membuka ladang dengan cara membakar. “Itu harus dengan persetujuan adat. Tak boleh dikerjakan sendiri. Prinsipnya gotong-royong, dan dilakukan pada siang hari. Kemudian, batas api juga mesti dibuat,” jelas Manan.

Orang Sungkup juga belajar tentang musim melalui tanda-tanda alam seperti karakter sungai, gerak-gerik pepohonan, dan sebagainya. “Jadi kami tahu kapan ikan-ikan akan memijah, dan kapan waktunya tanah-tanah di perbukitan menjadi subur,” ucap Manan.

Berdasarkan literatur yang dihimpun melalui Kalimantan Update, areal hutan dan kantong-kantong air dikunci dengan tata cara adat yang ketat, dimana orang harus mendapatkan izin dari pengurus adat sebelum mengambil kayu atau hasil hutan lainnya. Upacara adat akan menjadi pertanda pemberian izin bagi pihak pemohon.

Begitu pula dengan perburuan binatang, dibatasi dengan penuh perhitungan agar binatang tersebut dapat kembali lagi di titik-titik tempat berburu pada musim selanjutnya. Larangan-larangan akan diberikan di areal-areal kramat. Pun jika terpaksa harus mengambil sesuatu di kawasan-kawasan tersebut, maka para pemohon harus menyelenggarakan upacara adat.

Upacara adat Mopat Daun Padi menjadi simbol rasa syukur atas anugerah alam yang dilimpah Tuhan kepada orang Sungkup. Foto: Andi Fachrizal
Upacara adat Mopat Daun Padi menjadi simbol rasa syukur atas anugerah alam yang dilimpah Tuhan kepada orang Sungkup. Foto: Andi Fachrizal

Sengketa ruang kelola

Harmoni-harmoni hidup antara orang Sungkup dengan alamnya tak melulu berjalan mulus. Begitulah kondisi yang terjadi di Desa Belaban Ella. Seiring perkembangan zaman, pemerintah menetapkan garis kebijakan baru pada 26 Februari 1992 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 281/Kpts-II/1992.

Salah satu hal yang mengusik adalah masuknya ruang kelola orang Sungkup dalam kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Hal ini berujung pada konflik ruang yang berkepanjangan. Luas kawasan sengketa diperkirakan mencapai 5.000 hektar.

Puncak konflik terjadi pada 2007. Kala itu, dua orang warga Sungkup ditangkap Polres Melawi atas laporan TNBBBR dengan tuduhan berladang dalam kawasan taman nasional. “Masyarakat dituduh berladang di kawasan taman nasional,” kata Agustinus, Direktur Eksekutif Lembaga Bela Banua Talino (LBBT).

Agus mengatakan hal itu di hadapan sejumlah jurnalis dari Pontianak dan Jakarta yang berkunjung ke Dusun Sungkup, Desa Belaban Ella, bersama Yayasan Perspektif Baru, 25-27 November 2015.

Inilah aliran Sungai Ella di Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Inilah aliran Sungai Ella di Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Untuk menghindari konflik berkepanjangan seperti ini, jelas Agus, pihaknya mendorong Desa Belaban Ella menjadi wilayah adat yang luasnya mencapai 13.183,29 hektar. “Kita sudah membangun komunikasi multipihak dengan harapan mengunci semua ruang konflik yang sewaktu-waktu bisa terjadi,” jelasnya.

Upaya-upaya itu meliputi dialog dengan aparat terkait, baik pada tataran eksekutif maupun legislatif di pemerintahan kabupaten hingga pemerintah pusat. Hasilnya, Dirjen PHKA mengeluarkan rekomendasi pada 2014 agar Bupati Melawi menerbitkan Perda Pengakuan atas Wilayah Adat Belaban Ella.

Selanjutnya, pada 2015 Menteri ATR/Ka. BPN mengeluarkan surat kepada Bupati Melawi agar melakukan identifikasi dan menerbitkan Perda pengakuan atas wilayah adat ini; “Sampai sekarang kami masih terus melakukan dialog dengan Pemda dan DPRD Melawi hingga terwujudnya pengakuan atas wilayah adat Sungkup-Belaban,” jelasnya.

Agus berharap, Belaban Ella menjadi salah satu model pengelolaan wilayah adat yang sedang didialogkan dengan Menteri LHK, BPN dan menteri terkait untuk dibuat kebijakan khusus tentang pengakuannya. “Itu salah satu cara agar orang Sungkup-Belaban Ella dapat mengelola ruangnya secara bijak tanpa ada rasa takut ditangkap polisi,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,