Opini : Kesepakatan Paris : Keajaiban atau Bencana?

*Fabby TumiwaReader on Energy Issues Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
**Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability.   Tulisan ini merupakan opini penulis.

By comparison to what it could have been, it’s a miracle.

By comparison to what it should have been, it’s a disaster.

George Monbiot

Kesepakatan yang Ajaib

Paris Agreement merupakan kesepakatan historis untuk menyelamatkan bumi dan umat manusia dari ancaman perubahan iklim. Setelah kegagalan di COP-19 Copenhagen 2009, banyak orang skeptis bahwa perundingan perubahan iklim secara multilateral tidak akan berhasil melahirkan kesepakatan yang mengikat secara global. Namun Paris membuktikan bahwa skeptisisme itu bisa disangkal.

Disepakatinya Paris Agreement hari ini menjadi bukti bahwa proses perundingan multilateral masih ada dan semangat kolektif bangsa-bangsa untuk memperjuangkan sesuatu yang bernilai (noble) bagi kemanusiaan.

Paris ternyata membawa energi yang mampu mendobrak perbedaan kepentingan antara negara kaya dan negara miskin; antara negara maju dan negara yang ekonominya sedang tumbuh.  Semangat kerjasama sedemikian kuatnya sejak sebelum Hari H, tetap terjaga sejak awal perundingan, dan terbukti dengan pencapaian kesepakatan itu.

Paris agreement, pada intinya, merupakan kesepakatan yang bersifat seimbang dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak: negara-negara maju, Alliance of Small Island States (AOSIS), Least Developed Countries (LDCs), dan negara-negara yang bergabung dalam Like Minded Developing Countries (LMDCs).

Dan tugas menyatukan kepentingan-kepentingan yang berbeda itulah yang dianggap maha-berat.  Sehingga, ketika akhirnya tercapai kesepatakan yang bisa menjembatani beragam kepentingan itu, dunia menyaksikannya sebagai sebuah keajaiban, sebagaimana yang dinyatakan dalam kalimat pertama Monbiot yang dikutip di atas.

Salah satu hal kunci terpenting dari kesepakatan ini adalah target penurunan emisi 193 negara anggota UNFCCC yang dituangkan dalam target agregat untuk mencegah kenaikan temperatur di bawah 2 derajat Celsius, yang menuju pada 1,5 derajat C.  Ini jelas bukan kesepakatan yang mudah diterima dan gampang diimplementasikan.

Untuk menuju target tersebut—sebagaimana yang telah diperhitungkan oleh banyak pakar dan lembaga otoritatif dalam perubahan iklim—sekitar 80% bahan bakar fosil yang telah terbukti (proven resources) yang berada dalam tanah harus tetap berada di dalam tanah. Kawasan hutan dan gambut yang merupakan sumber utama simpanan karbon juga harus tetap terjaga (intact), serta laju deforestasi harus ditekan menuju nol.

Negara-negara maju harus sampai pada puncak emisinya dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak sekarang, sementara negara-negara berkembang harus sampai pada puncak emisinya maksimal 15 tahun dari sekarang.

Pencapaian Terpenting

Apa saja kesepakatan terpenting yang telah dinyatakan di akhir COP21 itu?  Dan, bagaimana nilai dari kesepakatan itu?  Apakah benar seluruhnya merupakan bencana, sebagaimana yang Monbiot nyatakan dalam kalimat kedua yang dilontarkannya?

Adam Vaughan, koresponden lingkungan Guardian, menyatakan bahwa terdapat enam hal paling penting dari Paris Agreement,  yaitu upaya untuk menekan kenaikan suhu jauh di bawah 2 derajat Celsius bahkan hingga 1,5 derajat Celsius saja; janji negara-negara untuk membatasi emisi; tujuan jangka panjang global untuk mencapai emisi nol; evaluasi dan perbaikan target lima tahunan; mekanisme loss and damage; serta pembiayaan.  Bagaimanapun, nilai dari setiap butir tersebut bisa dikatakan berbeda.

Menyatakan bahwa seluruh pihak sepakat untuk mengejar batas kenaikan suhu jauh di bawah 2 derajat Celsius dan bekerja keras mencapai kenaikan maksimal 1,5 derajat Celsius adalah sebuah keajaiban.  Walaupun ada pertanda ambisi yang besar dari Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa, di akhir 2014 dan pertengahan 2015, imajinasi paling liar pun tampaknya tak berani menyatakan bahwa di Paris akan muncul pernyataan target seperti itu.

Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris Perancis 2015. Sumber : diplomatie.gouv.fr
Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris Perancis 2015. Sumber : diplomatie.gouv.fr

Jelas bahwa target tersebut memiliki dasar ilmiahnya. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang kelima menyatakan hal tersebut.  Tetapi, sudah lama dunia politik internasional tak cukup mendengarkan suara jernih dari ilmu pengetahuan.  Kenaikan 1,5 derajat Celsius memang menandai bahaya besar, atau menurut kata-kata Hans Joachim Schellnhuber, sang penasihat perubahan iklim untuk Vatikan, “serious tipping points in the world’s climate.”

Kalau dunia bisa menyatakan setuju pada target 1,5 derajat itu, berarti ilmu pengetahuan telah mendapatkan tempat yang layak. Target tersebut juga menandai kemajuan dari batas 2 derajat Celsius yang telah dicapai di Copenhagen.

Namun demikian, sangat penting untuk menyadari bahwa target tersebut berarti tinggal menyisakan kenaikan 0,5 derajat saja dari sekarang.  Dan, data menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda penurunan emisi global yang serius.  Kalau tidak ada upaya-upaya yang serius, dengan sumber daya yang memadai, sejak detik awal kesepakatan, maka aspirasi tersebut bisa dikatakan tidak berarti.

Aspirasi di atas sangatlah terkait dengan janji negara-negara untuk menurunkan emisinya melalui mekanisme Intended Nationally Determined Contribution (INDC).  Di bulan September dan Oktober 2015, mayoritas negara yang hadir di Paris memasukkan INDC-nya. Dan, bila disimak melalui bebagai analisis yang sudah ada, target yang dimasukkan ke dalam INDC tersebut masih jauh dari target di atas.

Lebih dari 2 derajat Celcius

Seluruh analisis yang dihimpun World Resource Institute (WRI) memberi tahu bahwa dunia dengan janji INDC itu sedang menuju kenaikan suhu antara 2,7 derajat Celsius (paling optimis), atau bahkan 5,2 derajat Celsius (paling pesimistik), dengan nilai tengah pada 3,7 derajat Celsius.

Tentu, hal ini bukanlah hal yang menyenangkan. Negara-negara seharusnya bisa memberikan koreksi segera terhadap INDC-nya pada kesempatan di Paris, karena target 1,5 derajat Celsius sudah disuarakan dan dipasarkan dengan gigih mulai awal minggu kedua perundingan.  Masalah yang lain lagi, INDC juga direkognisi dalam perjajian, namun dinyatakan bukan sebagai hal yang mengikat secara hukum (legally binding).  Dengan demikian, dalam hal komitmen negara-negara, Paris bisa dikatakan sebagai kondisi mendekati bencana.

Bila INDC sebagai janji masing-masing negara yang disetorkan sebelum Hari H perundingan bisa dikatakan sebagai bencana, atau setidaknya mendekatinya, mood kolektif yang dituangkan ke dalam Paris Agreement memuat mood yang berbeda. Negara-negara penanda tangan menyatakan berjanji untuk mencapai puncak emisi dalam waktu sesegera mungkin.  Bahkan, untuk jangka yang lebih panjang mereka berjanji “to achieve a balance between anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases in the second half of this century.”  Ini adalah pencapaian yang ajaib, atau setidaknya luar biasa.

Dalam bahasa awam, apa yang dinyatakan itu berarti emisi nol akan dicapai pada periode antara tahun  2050 dan 2100.  Hal ini bisa dikatakan sesuai dengan rekomendasi dari laporan IPCC yang menyatakan bahwa agar bahaya besar bisa dihindarkan, dunia harus mencapai emisi nol pada tahun 2070.  Tentu saja, periode 2050 – 2100 seharusnya bisa dibuat lebih tegas lagi, menjadi, misalnya, sebelum tahun 2070.

Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC
Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC

Namun, sebagaimana yang dinyatakan oleh Jennifer Morgan dari World Resources Institute (WRI), apa yang sudah dinyatakan itu merupakan pencapaian yang transformasional, dan mengirimkan sinyal yang kuat ke pasar. Tentu, sinyal terkuat adalah tentang perlu segera diakhirnya masa bahan bakar fosil.

Untuk mengetahui apakah negara-negara dan dunia telah berada pada jalur komitmennya, serta, bila tidak pada jalur tersebut, bagaimana tindakan korektif akan dilakukan, Paris Agreement menyepakati untuk melakukan evaluasi 5 tahunan.  Pada tahun 2018 akan dilakukan evaluasi, atau yang dalam bahasa dokumen tersebut, stocktake.

Namun, yang dianggap masuk ke dalam perjanjian adalah yang akan dilakukan pada tahun 2023.  Teks tersebut menyatakan “…shall undertake its first global stocktake in 2023 and every five years thereafter unless otherwise decided by the Conference of the Parties…

Bagusnya, hasil dari stocktake di tingkat global tersebut akan dipergunakan untuk “…updating and enhancing, in a nationally determined manner, the actions and support in accordance with the relevan povisions…”  Sisi baiknya, INDC akan diperbaiki sesuai dengan kondisi yang diketahui.  Namun, sisi buruknya, dunia mungkin perlu menunggu 8 tahun dari sekarang untuk melihat perbaikan itu.  Padahal, sebagaimana yang telah diketahui dari beragam analisis, INDC yang sudah dimasukkan masih jauh dari memadai.

Opsi yang lebih baik, bila dimungkinkan, adalah meminta negara-negara untuk segera memerbaiki INDC-nya, dengan menekankan pada target 1,5 derajat Celsius itu.  Selain itu, karena tindakan pra-2020 juga akan sangat menentukan keberhasilan puncak emisi dan penurunan sesudahnya, maka sudah seharusnya ada mekanisme untuk juga memastikan adanya tindakan-tindakan yang lebih kuat antara 2015 – 2020. Kalau tidak, dunia sebetulnya membuang-buang waktu dan peluang.  Dan karena masih ada kemungkinan seperti itu, maka butir stocktaking ini bisa dikatakan masih lemah.  Bukan bencana, namun juga bukan keajaiban.

Bagian loss and damage dari kesepakatan tersebut merupakan mekanisme untuk mengelola kerugian finansial dari negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.  Seperti misalnya dampak dari cuaca ekstrem.  Upaya-upaya yang masuk ke dalamnya termasuk menghindari (averting), meminimumkan (minimizing) kerugian, dan membantu meringankan (addressing) dampak kerusakan.

Walau tampaknya merupakan hal yang sangat positif, namun bagian ini jelas jauh dari memuaskan.  Negara-negara maju dan kaya dengan emisi yang tinggi seperti Amerika Serikat, dalam pandangan Vaughan, akan sangat gembira karena adanya klausa yang membebaskan mereka dari klaim finansial dari negara-negara yang terkena bencana perubahan iklim.

Klausa tersebut “…does not involve or provide a basis for any liability or compensation.”  Tentu saja, tanpa mekanisme akuntabilitas dan liabilitas tersebut, loss and damage menjadi lemah.  Tak jelas berapa besaran dana yang akan dicurahkan juga untuk menghindari, meminimumkan dan membantu meringankan mereka yang terkena dampak.  Karenanya, bagian ini bisa dikatakan sebagai bencana tambahan bagi negara-negara yang potensial terkena bencana.

Terakhir, bagian tentang sumberdaya finansial untuk menolong negara-negara berkembang dalam menjalankan adaptasi dan melakukan transisi menuju energi bersih.  Bagian ini selalu menjadi, dalam pernyataan Vaughan, important sticking point in the negotiations.”

Tampak jelas bahwa bagian ini juga melayani kepentingan Amerika Serikat, karena sistem politiknya, yang tak bisa menjanjikan kepastian jumlah dana mengingat senatnya yang dikuasai oleh Partai Republik.  Partai yang berisikan para pendusta (denier) perubahan iklim dan penunda (delayer) tindakan mengelola perubahan iklim ini menjadikan Amerika Serikat kesulitan melakukan tindakan yang benar.  Karenanya, bagian pendanaan digeser ke dalam bagian yang disebut non-legally binding decision text.

Teksnya sendiri menyatakan “…intend to continue their existing collective mobilisation goal through 2025.”  Artinya, bila Copenhagen sudah menjanjikan pendanaan sebesar USD100 miliar per tahun hingga 2020, maka jumlah tersebut akan terus dijadikan sebagai rujukan pasca-2020.  Sementara, mulai tahun 2025 jumlahnya akan dinaikkan menjadi “from a floor of $100bn” alias setidaknya USD100 miliar.  Jumlah ini, sebetulnya sangatlah tidak memadai untuk membantu negara-negara berkembang.

Dalam pidatonya yang menjadi sangat terkenal, Menteri Lingkungan Hidup Nigeria, Amina Mohammed, menyatakan “You can’t keep telling me it’s a lot of money. It’s a drop in the ocean. We have an over $70tn global economy and you are balking at spending $100bn for saving lives?”  Jumlah USD100 miliar tersebut seharusnya dilihat hanya sebagai titik permulaan belaka.  “The $100bn we are asking for is a signal from the international community that they are serous about the financing challenge for climate change.  We need trillions, not billions.  The first one hundred billion is the signal that trillions will be attainable.” Dengan sifat yang tidak mengikat secara hukum dan jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan, bagian ini juga bisa dinyatakan sebagai bencana.

Konsekuensi bagi Indonesia

Mengomentari capaian di Paris, salah satu aktivis lingkungan Indonesia yang hadir di sana, Iwan Wibisono, menyatakan bahwa beragam capaian positif yang ditunjukkan dalam Paris Agreement harus disikapi dengan rasa syukur.  “Bagaimanapun ini adalah momen penting dalam perjalanan upaya memerangi dampak negatif perubahan iklim. Selamat untuk semua negosiator yang terlibat,” demikian tegasnya.  Namun, ia juga mengungkapkan kekhawatirannya, “Indonesia harus konsisten dengan melakukan upaya-upaya domestik yang signifikan dan konkret.  Dalam hal konsistensi, Indonesia kerap bermasalah, juga lemah dalam implementasinya.  Kelemahan-kelemahan ini harus diatasi.”

Apa yang dimaksud dengan upaya-upaya domestik yang signifikan dan konkret itu?  Bagi Indonesia, target kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius ini berarti kebutuhan segera untuk mempercepat transisi menuju low carbon development.  Sebagai konsekuensinya, Indonesia tidak boleh tertinggal mengembangkan energi terbarukan. Target energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 tidak bisa tidak tercapai, dan Indonesia secara cepat harus meningkatkan laju energi terbarukan untuk menggantikan batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.

PLTU3-Turbin Angin di pesisir pantai Baru Bantul memberikan asupan energi murah dan ramah lingkungan. Foto Tommy Apriando

Demikian juga, target 25% bauran energi terbarukan di tahun 2030 dirasakan menjadi kurang ambisius, jika ingin menyumbang dengan serius pada pencapaian target 1,5 derajat Celsius. Energi terbarukan harus diakselerasi jauh melebihi 25% pada 2030.

Jika ini terjadi, dan ditambah dengan upaya mendorong efisiensi energi secara massif, serta mencapai angka nol untuk deforestasi dan kebakaran lahan dan hutan, maka pada 2030 Indonesia dapat berdiri bangga di pandangan mata dunia karena telah menjadi bagian dari penyelamat bumi untuk diwariskan ke generasi mendatang.

Setelah 2025, bagaimanapun, Indonesia sudah harus mengurangi penggunaan batubara sebagai sumnber energi. Pada tahun 2030, energi terbarukan sudah harus mencapai di atas 30%, dan secara gradual mencapai setidaknya 50-60% pada 2050.  Dan paling lambat pada 2070, Indonesia sudah harus berada pada kondisi emisi nol, dari semua sumber emisi.

Ini, tentu saja, bukan pekerjaan mudah karena hingga saat ini bauran energi terbarukan baruk mencapai 6%. Pengendalian emisi batubara menjadi mutlak dilakukan sejak sekarang, dan ini berarti peninjauan kembali proyek-proyek listrik 35.000 megawatt yang masih jauh lebih banyak menggunakan batubara dibandingkan energi terbarukan.

Semoga seluruh anggota Delegasi Republik Indonesia bisa menyerukan keperluan ini dengan sangat nyaring sekembalinya mereka dari Paris.  Tentu, terutama kepada para pengambil keputusan dan penentu kebijakan di negeri ini.  Sementara, seluruh pemangku kepentingan yang lain juga harus bersiap untuk memberi masukan kebijakan yang sesuai dengan target batas kenaikan suhu global tersebut, lalu menjalankan dan mengawasi tindakan-tindakan implementatifnya secara konsisten.

Tidak akan mudah, lantaran ini pertama-tama berarti banyak kebijakan pembangunan yang harus ditinjau ulang dan diharmoniskan dengan target itu.  Namun, kita tak punya pilihan lain bila menginginkan masa depan yang baik untuk generasi mendatang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,