, ,

Beginilah Semangat Anak Muda Bali Merawat Bakau

Sejumlah anak muda menyusuri jalan setapak yang membelah hutan bakau di kawasan Tuban, Badung, Bali. Mereka bukan berwisata, tetapi membersihkan kantong sampah yang penuh lumpur dan plastik. Baunya alamak. Limbah bercampur lumpur berusia beberapa hari itu bisa jadi dari sungai dan got yang muaranya di hutan bakau ini.

Satu gerobak sampah itu mereka pungut beberapa hari sebelumnya dari bibit bakau yang baru ditanam. Beberapa bibit berusia beberapa bulan mati karena kena limbah minyak, tutupan sampah plastik, dan lainnya. Anak muda dari sejumlah komunitas ini dikoordinir Earth Hour Denpasar dalam program Mangrove4Love. Menanam dan merawat bakau yang dilakukan lebih dari setengah tahun ini.

Kantong sampah lalu dicuci di pesisir Teluk Benoa yang berada di kawasan kelompok Nelayan Wanasari Tuban ini. Persis di bawah pintu gerbang tol ke arah bandara Ngurah Rai. Suara deru kapal terbang dan kendaraan adalah teman dari ribuan bibit bakau yang sedang berusaha tumbuh besar.

Kantong-kantong sampah yang sudah bersih dijemur agar dapat digunakan lagi. Setelah itu, paramuda ini bersiap naik motor. Mereka menuju bagian hutan bakau yang agak jauh untuk mencari buah-buahnya yang sudah jatuh untuk disemai menjadi bibit baru.

Perjalanan naik motor selama 10 menit menuju hutan bakau di bagian utara harus melewati pemukiman penduduk yang sangat padat di kawasan Tuban ini. Hutan bakau makin terdesak dengan bangunan-bangunan baru. Tim pencari buah bakau ini akhirnya menemukan akses menuju hutan lewat sebuah tempat pembuangan sampah sementara (TPS).

Bau sampah menyengat, abu bekas pembakaran sampah terlihat menumpuk di pinggiran hutan. “Kami sudah pernah ke sini cari buah,” seru Tiwi yang tak terkejut dengan kondisi ini.

Lumpur cukup tebal menyambut mereka. Buah-buah bakau yang mirip kacang panjang namun lebih gemuk ini dipungut di antara akar bakau yang mencuat di sana sini. Mereka memungut buah yang kondisinya baik, tak busuk atau rusak tercabik-cabik kepiting.

Ketika jejak kaki mendekat, kerumunan kepiting kecil khas ekosistem bakau ini lalu bersembunyi di lubang-lubangnya. Sangat mudah menemukan buah-buah bakau ini. Dalam waktu satu jam, sudah terkumpul beberapa karung.

Seorang aktivis mengumpulkan buah mangrove sebagai bibit untuk reboisasi hutan mangrove di kawasan Tuban, Badung, Bali dalam program Mangrove4Love. Foto : Luh De Suriyani
Seorang aktivis mengumpulkan buah mangrove sebagai bibit untuk reboisasi hutan mangrove di kawasan Tuban, Badung, Bali dalam program Mangrove4Love. Foto : Luh De Suriyani

Dicky Hartono, pegiat Earth Hour (EH) Denpasar menceritakan program menanam dan merawat bakau ini bermula dari penggalian dana menjual cokelat olahan bakau kelompok nelayan di kawasan ini. “Setiap cokelat yang terbeli akan kami tanam 1 bakau,” katanya mengingat obrolan dengan Koordinator EH Denpasar Eka Juliana.

Mereka melanjutkan kerjasama dengan kelompok nelayan yang membuat ekowisata bakau ini dengan mulai belajar membuat bibit, menentukan daerah tanam, dan memantau bakau yang ditanam. Ia menyebut sekitar 2500 bibit yang sudah ditanam atas bantuan kelompok ekowisata Wanasari di Tuban ini.

“Tidak tahu persis berapa yang masih hidup tapi sebagian kami lihat masih,” lanjut Dicky yang aktif dalam gerakan sosial ini. Ia mencontohkan dalam satu ikat dengan 3 batang bakau, 2 batang masih bertahan. Jika dilihat ukurannya memang masih kecil kurang dari 1 meter. Ia menyebut tantangan terbesar adalah sampah dan limbah cair.

Agus Andrianus, salah satu anggota Ekowisata Mangrove Kampung Kepiting memandu anak muda ini mencari calon bibit pohon bakau baru. Ia bertugas di bagian pembibitan yang menjadi bagian program ekowisata yang dibuat Kelompok Nelayan Wanasari.

Beberapa aktivis mengumpulkan buah mangrove sebagai bibit untuk reboisasi hutan mangrove di kawasan Tuban, Badung, Bali dalam program Mangrove4Love. Foto : Luh De Suriyani
Beberapa aktivis mengumpulkan buah mangrove sebagai bibit untuk reboisasi hutan mangrove di kawasan Tuban, Badung, Bali dalam program Mangrove4Love. Foto : Luh De Suriyani

Dipimpin Made Sumasa, kelompok ini punya cerita panjang dalam negosiasi pengelolaan hutan bakau beberapa tahun ini. Awalnya karena nelayan makin sulit dapat hasil dari melaut. Kemudian ada dampak pembuatan jalan tol pertama di Bali yang dibangun di perairan Teluk Benoa yakni perahu nelayan sulit keluar masuk melalui tiang-tiang tol. Ini salah satu alasan mereka meminta izin pengelolaan beberapa hektar hutan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai yang luasnya sekitar 1300-an hektar ini. Selain bisnis pembibitan dan budidaya kepiting, ekowisata ini membuat restoran terapung.

Namun untuk inisiatif Mangrove4Love ini, anak muda ini tak perlu mengeluarkan biaya pembelian bibit karena mereka menyemainya sendiri. Dari mencari buah, membersihkan dan memilah, dan menanamnya di lokasi pembibitan. Setelah cukup umur dan tinggi, baru ditanam di area hutan bakau yang saat ini populer dengan nama Kampung Kepiting ini.

Agus hanya ingat nama lokal pohon-pohon bakau yang pernah ditanamnya. Misalnya pidada, prapat, lindur, jangkah merah, dan banang-banang. Semuanya punya karakteristik dan daya tahan berbeda. Ada yang hanya bisa tumbuh di lumpur dengan sedikit air, ada yang di area pasang surut, dan lainnya.

“Pohon bakau ini memang susah sekali hidupnya. Dari 100 bibit mungkin 1 yang bisa bertahan,” ujar Agus. Karena itu ia mengatakan sangat senang dengan model program Mangrove4Love yang menargetkan merawat bakau tak hanya menanam.

“Idealnya satu orang rawat 10 bibit biar lebih banyak yang hidup,” kata pria yang belajar soal bakau secara otodidak ini.

Dalam setahun ia mengaku bisa belasan kali ada grup-grup yang membeli bibit untuk program penanaman bakau. Jika semua bakau itu tumbuh, harusnya kawasan Teluk akan rapat dengan bakau. Namun kenyataannya, tantangan sebatang bakau untuk tumbuh sangat besar di area ini. Ada pelabuhan industri penangkapan ikan, instalasi pembangkit listrik, pemukiman, usaha wisata, jalan tol, dan lainnya.

Kondisi Mangrove

Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Unda Anyar  yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS)  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut sebaran potensi bakau (mangrove) di Bali ada di 7 lokasi yang tersebar di 5 kabupaten/kota. Salah  satu yang terluas di Tahura Ngurah Rai yang termasuk wilayah Denpasar dan Badung ini.

Kerapatan tajuk berdasarkan pengolahan data citra Landsat di Taman Hutan Raya Ngurah Rai terdiri dari kerapatan tajuk jarang seluas 906 ha, sedang seluas 261 ha dan lebat seluas 43 ha. Dan lahan rusak berat sekitar 253 ha.

Berdasar besarnya nilai indeks vegetasi, jenis bakau terbanyak yaitu Sonneratia alba, menyusul Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhyza, Rhizophora stylosa, Avicennia marina, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha dan Avicennia lanata.

Dengan alasan penyelamatan kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 2012 Gubernur Bali memutuskan menyerahkan pengelolaan kawasan hutan bakau ini selama 55 tahun kepada pihak swasta sekitar 102 hektar. Syaratnya, perusahaan ini diwajibkan mengelola hutan berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Bali.

Dalam masterplan yang terlampir dalam izin disebutkan bahwa perusahaan akan membangun sedikitnya 75 unit penginapan, 5 kios, 8 rumah makan, 2 spa, 1 restoran, 1 gedung serba guna, tempat meditasi, toilet, dan sarana penunjang pariwisata lainnya.

Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali pada 2013 menggugat Gubernur Bali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar karena mengeluarkan surat keputusan (SK) izin pemanfaatan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai 122,22 hektar itu. Saat ini pengelolaan hutan bakau ini masih ditangan pemerintah.

Fungsi Ekologis Mangrove

Dalam sebuah acara di Bali, KLHK menyebut sekitar 29% atau lebih dari 1 juta hektar hutan bakau di Indonesia rusak. Dari lebih 3 juta hektar, dalam kondisi baik dan sedang sekitar 2 juta. Kerusakan mangrove karena alih fungsi, tambak, pemukiman, industri, infrastruktur, pencemaran limbah, dan lain-lain.

Selain menjadi penyerab karbon atau blue carbon, bakau meningkatkan kesuburan tanah dan penahan gelombang paling mumpuni. Juga mengurangi pencemaran dengan menyerap logam berat, menurunkan intrusi air laut serta hampir semua bagian pohon seperti biji dan batang bermanfaat karena mengandung antioksidan.

Kawasan pesisir dan lautan Indonesia disebut berpotensi menyerap karbon sekira 138 juta ton ekuivalen per tahun atau lima kali lebih besar dibanding potensi penyerapan ekosistem hutan tropis di Indonesia. Potensi penyerapan karbon itu dapat mengurangi 25 persen emisi karbon global.

Namun tantangan bakau tak hanya soal menanam tapi merawatnya karena peluang hidupnya masih kecil di tengah tekanan dan masalah pesisir. Konferensi Perubahan Iklim atau COP 21 di Perancis tahun ini mengeluarkan komitmen baru untuk mengurangi emisi. Namun di lapangan, ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan aksi bersama mengurangi tekanan pada ibu bumi ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,