, ,

Rencana Eksploitasi Geothermal di Tangkoko Ditentang Banyak Pihak. Kenapa?

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov Sulawesi Utara mewacanakan pengembangan energi panas bumi (geothermal) di sejumlah kawasan konservasi. Hal itu terungkap dalam workshop bertema Future of  Tangkoko, Rabu (16/12/2015).

Namun, gagasan tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena dinilai dapat berdampak buruk bagi lingkungan.

Dikatakan Kathreen, dari ESDM Sulut, sejumlah lokasi seperti Gunung Ambang, Gunung Tangkoko dan Gunung Duasudara memiliki potensi geothermal yang dapat dikembangkan. Dalam pemaparannya, dari sejumlah lokasi yang menyimpan potensi panas bumi di Sulut, baru PLTP Lahendong yang berhasil dioperasikan, dengan daya 80 MW.

Di sisi lain, berdasarkan perkiraan Dinas ESDM, potensi di Cagar Alam Duasudara menyimpan daya sebesar 125 MW, sedangkan Batuputih (Tangkoko) 30 MW. Sementara itu, cadangan terduga di Gunung Ambang sebesar 225 MW.

Diyakini, jika bisa dikelola secara maksimal maka pengembangan energi tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik di Sulut, serta dapat menunjang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung. Namun, diakui Kathreen, upaya tersebut terkendala dengan masalah status lahan. Sebab, sebagian besar potensi geothermal berada di kawasan hutan Cagar Alam, seperti Gunung Ambang, Tangkoko dan Duasudara.

“Agar hal ini dapat dilaksanakan, maka diharapkan ada perubahan status di sebagian kawasan Cagar Alam, baik Gunung Ambang, Tangkoko dan Duasudara. Perubahan dari kawasan konservasi cagar alam ke hutan lindung,” katanya.

Namun, Kathreen tidak ingin berkomentar lebih jauh mengenai realisasi pemenuhan energi tersebut. Sebab, dalam workshop itu pihaknya hanya berniat mengemukakan potensi yang ada dan mengetahui respon dari perwakilan masyarakat yang hadir.

“Kita baru kemukakan potensi yang ada. Kalau dimungkinkan kegiatan tersebut dan juga dirasa penting, kenapa tidak? Kan, itu bagus. Tapi kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa. Kan statusnya harus turun dulu baru bisa,” tutur Kathreen kepada Mongabay.

Dalam workshop itu, aktivis tunas hijau melakukan pembentangan spanduk yang berisi protes terhadap wacana pembangunan di Cagar Alam Tangkoko. Dikatakan Cindy Samiaji, aksi itu spontan dilakukan karena sudah sekitar seminggu mendengar isu terkait proyek geotermal di Cagar Alam Tangkoko.

Aksi protes aktivis Tunas Hijau terhadap wacana pembangunan geothermal di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly
Aksi protes aktivis Tunas Hijau terhadap wacana pembangunan geothermal di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Cindy mengkhawatirkan, pembangunan itu dapat merusak lingkungan di kawasan konservasi dan mengganggu kehidupan satwa liar di sana. Ditakutkan pula, jika proyek tersebut lolos, akan ada pembangunan-pembangunan lainnya. “Harusnya di kawasan cagar alam tidak boleh ada pembangunan apapun.”

Pihaknya menyerukan pemanfaatan sumber energi lainnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sulut. Salah satu sumber energi yang dinilainya lebih ramah lingkungan dan bisa dibuat di banyak tempat adalah tenaga surya.

“Kami akan terus menyuarakan penolakan ini. Semoga masyarakat luas dapat mengetahui dan terlibat dalam penolakan konsep pembangunan tersebut,” seru Cindy.

Alfons Wody, pemandu wisata asal desa Batuputih, Tangkoko, mengatakan, sejauh ini masyarakat di sekitar cagar alam belum mendapat informasi mengenai rencana tersebut. Sebagai pemandu wisata, ia menilai jika pembangunan tersebut berjalan maka profesinya akan terancam. Sebab, jika lingkungan rusak, maka jumlah wisatawan di Tangkoko akan menurun.

“Selama ini, masyarakat mendapat banyak keuntungan dari kunjungan wisatawan ke Cagar Alam Tangkoko. Harusnya pemerintah berupaya menjaga dan merawat potensi ekowisata yang ada di sana. Bukan malah merusak lingkungan yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat.”

Sementara itu, John Tasirin, pakar Biodiversitas Sulut membenarkan, beberapa wilayah konservasi memang memiliki potensi dan akses panas bumi yang sangat baik. Meski demikian, ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan pemanfaatan energi lain untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut.

John menilai wajar jika masyarakat bereaksi terhadap wacana pembangunan di Cagar Alam Tangkoko, sebab cagar alam tidak boleh dieksploitasi. Tetapi tergantung keputusan pemerintah.

“Saat ini kita sedang menunggu putusan strategis dari pemerintah. Mereka (pemerintah) bisa lakukan alih fungsi sehingga zona tersebut bisa dimanfaatkan. Contohnya di Gunung Ambang, statusnya berubah dari cagar alam menjadi hutan produksi terbatas,” tambahnya.

Lilik Yuliarso, Regional Coordinator EPASS mengakui bahwa Cagar Alam Tangkoko memiliki banyak potensi selain konservasi, yaitu potensi geotermal. Menurut dia, dalam workshop tersebut, pihak ESDM coba mengeksploitasi potensi tadi untuk menjadi sumber energi. “Tapi itu masih sekedar wacana karena prosesnya panjang. Undang-undang dan status kawasannya harus jelas. Sebab di kawasan konservasi tidak bisa (melakukan pembangunan).”

Ia khawatir, pembangunan geotermal ini nantinya berdampak besar. Total luasan areal dan jumlah tegakan yang akan dibongkar dapat mengganggu keseimbangan alam di sana. Sebagai alternatifnya, Lilik menyarankan, pemerintah harus lebih memaksimalkan pemanfaatan sumber energi selain geotermal, misalnya angin, solar bahkan arus laut.

“Ada potensi lain yang bisa dimanfaatkan. Kalau kita lihat di tahun 2015, misalnya, bulan keringnya lebih banyak dari bulan basah. Artinya, potensi energi matahari seharusnya bisa dieksploitasi dan itu tidak akan ada habisnya, malahan menjamin ketersediaan energi. Nah itu, yang belum dilihat,” ujarnya.

Workshop bertema Future of  Tangkoko diselenggarakan lewat program hibah bernama Enhanching the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) for Biodiversity Conservation. Berdasarkan penjelasan Lilik, kegiatan ini bertujuan membuat manajemen di kawasan Cagar Alam Tangkoko kedepannya lebih mandiri.

Salah satunya dengan mengusulkan agar kawasan ini menjadi KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi), di luar Taman Nasional. Sehingga, apa yang ada di sana diusahakan dapat terjaga untuk keberlanjutan di masa depan. Karena, banyak satwa di Cagar Alam Tangkoko yang harus dilindungi.

“Sesuai dengan target di Kementerian Kehutanan yaitu ada peningkatan populasi 25 jenis satwa, yang 3 di antaranya terdapat di Sulawesi Utara, seperti maleo, babirusa dan anoa. Ada juga yaki (Macaca nigra) yang dilindungi di Cagar Alam Tangkoko,” pungkas Lilik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,