,

Nelayan Tuna Kejar Sertifikat MSC

Meski menjadi komoditas andalan dari Indonesia, namun produk perikanan tuna hingga saat ini masih belum menjadi produk yang sudah bersertifikat Marine Stewardship Council atau MSC. Hal itu, karena hingga saat ini para pengusaha yang memproduksi komoditas tersebut masih menghadapi kendala di laut.

Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Agus A.Budhiman kepada Mongabay di Hotel Gren Alia, Jakarta Pusat, Kamis (17/12/2015). Menurut dia, permasalahan yang masih dihadapi tersebut, karena hingga saat ini belum ada dukungan regulasi dari Pemerintah Indonesia.

“Seharusnya, untuk bisa mendapatkan sertifikat MSC ini, kami didukung secara regulasi oleh Pemerintah. Karena, kami tidak bisa begitu saja mendapatkan sertifikat,” ungkap Agus.

Yang dimaksud dukungan, adalah dikeluarkannya regulasi untuk mengatur pembagian kuota tangkap di laut. Karena, tanpa pembagian tersebut, itu akan memengaruhi secara langsung proses sertifikasi yang sangat bergantung pada hasil tangkapan.

Agus menjelaskan, untuk bisa mendapatkan sertifikat penting tersebut, komoditas yang ditangkap oleh kapal harus fokus pada yang dituju. Jadi, jika ada komoditas lain yang ikut tertangkap, maka itu akan jadi penilaian.

“Selain itu, saat menangkap tuna, alat tangkap kapal sebisa mungkin menghindari menangkap baby tuna. Kalau bisa, itu jangan lebih dari 5 persen dari total tangkapan. Itu sangat sulit dilakukan,” sebut dia.

Satu-satunya jalan yang bisa mendukung pencegahan dalam menangkap komoditas perikanan tersebut, menurut Agus, adalah dengan dukungan regulasi Pemerintah melalui pengaturan wilayah tangkap dan kuota serta waktu tangkapan.

“Kalau ada regulasinya, kita bisa menangkap di waktu tertentu dan bisa menghindari sebanyak mungkin tangkapan baby tuna. Selain itu, dengan regulasi tersebut, nanti tidak akan ada tumpang tindih dengna komoditas lain,” tandas dia.

Karena itu, Agus berharap, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa membantu para penggusaha dan nelayan untuk mengatasi persoalan tersebut. Pasalnya, jika sudah ada sertifikat MSC, maka itu akan berpengaruh postif pada bisnis tuna di Indonesia.

“Cukup bantu regulasi saja, tidak perlu bantu dana. Kita butuh itu,” tutur dia.

Keterbukaan Informasi

Sementara itu, Ketua AP2HI Janti Djuari dalam kesempatan yang sama mengatakan, diluar persoalan sertifikasi MSC yang masih terus diperjuangkan, saat ini pihaknya juga terus melakukan pengawasan kepada seluruh perusahaan yang menjadi anggota asosiasi tersebut.

Pengawasan yang dimaksud, adalah dengan memantau sistem kerja dan juga rantai produksi yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan. Hal itu, untuk memastikan apakah benar produk yang diproses berasal dari cara yang benar.

“Kita sebisa mungkin menghindari produk tuna yang berasal dari perbuatan IUU Fishing. Kita awasi dengan ketat masing-masing perusahaan,” ungkap Janti.

Saat ini, AP2HI sendiri menaungi 18 anggota yang terdiri dari 8 (delapan) perusahaan penangkapan ikan, 5 (lima) perusahaan pengolahan dan 4 (empat) perusahaan pengalengan, serta 1 (satu) diluar usaha penangkapan, pengolahan, dan pengalengan ikan.

Terkait predikat rapor merah yang diterima beberapa perusahaan anggota AP2HI berdasarkan hasil survei yang dirilis Greenpeace Indonesia, Janti menjelaskan bahwa itu merupakan salah satu proses dari perbaikan kinerja perusahaan untuk publik.

“Kita selalu mendorong anggota kami untuk bisa terbuka kepada publik. Jika ada kesulitan, kita akan membantu mereka. Bagaimanapun, mereka memang harus memperbaiki kinerjanya, walau kenyataannya sudah benar dan baik,” cetus dia.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Sumardi Ariansyah menyatakan, Greenpeace bekomitmen untuk mendukung, membangun komunikasi terbuka dan memantau langkah-langkah maju yang terus ditempuh oleh perusahaan-perusahaan yang memproduksi tuna.

“Keberpihakan dan dukungan pemerintah untuk mendorong terbangunnya inisiatif dan mekanisme ketelusuran tuna kaleng tentu juga sangat diharapkan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa perikanan tuna yang lebih berkelanjutan dengan cara tangkap pancing ulur dan huhate benar-benar mendapatkan perhatian serius, salah satunya dengan menertibkan sejumlah armada jaring-lingkar (purse seines) yang beroperasi tidak sesuai izin lokasi penangkapan dan menggunakan rumpon secara ilegal,” lanjutnya lagi.

Seperti diketahui, pada 2013, jumlah produksi tuna internasional mencapai 7.318.381 ton. Asia menghasilkan lebih dari setengah jumlah tersebut sebanyak 4.769.508 ton. Tiga puluh sembilan persen (39%) dari produksi Asia datang dari armada Indonesia dan Filipina masing-masing sebanyak 1.298.091 ton dan 556.843 ton.

Indonesia, Filipina dan Thailand adalah produsen dan eksportir terbesar tuna kalengan. Pada tahun 2013, ekspor tuna kalengan dunia mencapai nilai yang mengejutkan yaitu sebesar lebih dari USD 8,1 miliar. Thailand berada di peringkat 1 dengan pangsa pasar sebesar 32,63%, Filipina berada di peringkat 4 dengan pangsa pasar sebesar 6,88% dan Indonesia memiliki pangsa pasar sebesar 4,62%.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,