Tangse merupakan kecamatan di Kabupaten Pidie yang terletak sekitar 190 km dari Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh. Tangse dikenal sebagai daerah penghasil beras dengan kualitas terbaik. Bulir padinya putih, saat dimasak, nasinya harum dan pulen.
Tangse juga, yang pernah dijadikan pangkalan militer Belanda saat menggempur perlawanan para pejuang Aceh, merupakan daerah penghasil kopi robusta terbaik. Kopi telah ditanam petani sejak Belanda menancapkan kakinya di Aceh. Dan jangan lupakan pula durian asal Tangse yang selalu diburu masyarakat karena rasanya yang legit.
Untuk semua kelebihannya itu dan dengan anugrah wilayah yang kaya akan hasil tambang seperti biji besi dan emas, Tangse pernah disebutkan sebagai wilayah paling makmur di Aceh. Bersama Mane dan Geumpang, yang juga nama kecamatan di Pidie, Tangse identik dengan wilayah yang dipenuhi kandungan emas.
Namun, kegemilangan Tangse mulai pudar sejak 2011, ketika daerah ini mulai akrab dengan bencana alam: banjir bandang dan gempa. 10 Maret 2011, warga di Desa Blang Pandak, Blang Dalam, Desa Layan, Desa Peunalom 1, Krueng Meriam dan sebagian besar dessa lainnya panik setelah mendengar suara gemuruh dari hutan. Warga berhamburan keluar rumah setelah mengetahui suara itu merupakan terjangan air.
Akibat banjir bandang itu, 24 warga merenggang nyawa, 645 rumah warga rusak. Sejumlah fasilitas publik seperti sekolah dan sarana ibadah rusak parah. Belum selesai pemerintah membangun rumah warga yang hancur karena banjir, 25 Februari 2012, Tangse kembali berduka. Banjir bandang kembali menerjang 10 desa di kecamatan yang dulunya makmur itu. Diperkirakan, 26 orang hanyut dan ribuan warga mengungsi.
Bencana belum berakhir. Selasa, 22 Oktober 2013, gempa berkekuatan 5,6 SR mengguncang Tangse. Bupati Pidie, Sarjani Abdullah dilokasi gempa saat itu mengatakan, gempa telah merusak ratusan rumah warga dan fasilitas publik lainnya di tiga kecamatan yaitu, Tangse, Geumpang, dan Mane. “Gempa telah merusak 368 rumah di 11 desa.”
Duka masih menyambangi masyarakat Tangse di 2015. Banjir dan longsor kembali merendam sejumlah desa di kecamatan tersebut dan memutus jalan utama. Sekretaris Desa Blang Dhot, Kecamatan Tangse, Edi Saputra pada 11 Desember 2015 menyebutkan, akibat banjir, Desa Sarah Panyang dan Blang Pandak terisolir. “Tumpukan kayu dan lumpur yang mengendap, tidak bisa dibersihkan manual. Harus menggunakan alat berat,” ungkap Edi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pidie, Apriadi menjelaskan, akibat banjir bandang yang terjadi di Tangse 10 Desember 2015, lima rumah warga di Desa Blang Bungong hanyut terseret arus sementara tiga rumah lainnya rusak parah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menuturkan, penyebab sering terjadinya berbagai bencana di beberapa wilayah di Aceh karena Pemerintah Aceh belum menganggap penting agenda lingkungan hidup.
“Hingga saat ini, pemerintah di Aceh belum menganggap penting isu lingkungan hidup. Bahkan, masalah lingkungan hidup masih dianggap tidak menguntungkan khususnya terkait agenda politik. Ini menjadi masalah, karena bencana semakin sering terjadi di Aceh.”
Menurut Muhammad Nur, akibat kesalahan pengelolaan lingkungan di Aceh, berbagai bencana datang seperti banjir dan tanah longsor dengan kerugian cukup besar. “2015 ini, kerugian akibat bencana alam di Aceh mencapai Rp1,349 triliun,” paparnya.