,

Dua Individu Orangutan yang Kembali Diselamatkan

Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat berhasil mengevakuasi dua individu orangutan dari masyarakat di Desa Balai Pinang dan Randau Jekak, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Kamis (17/12/2015).

“Orangutan peliharaan yang diambil dari Balai Pinang bernama Japik,” kata Heribertus Suciadi, Media dan Komunikasi YIARI. Japik, orangutan betina berusia antara 4 – 5 tahun. Pemiliknya, Yakobus, mengaku mendapatkan Japik dari saudaranya yang membeli dari pemburu di Randau Hulu, dua bulan lalu. Orangutan ini biasanya diberi makan apa saja, mulai nasi, lauk-pauk, buah-buahan, sambal, susu, kopi, sampai es teh.

Kondisi Japik memprihatinkan. Dia dipelihara di belakang rumah, di bawah sebatang pohon. “Lehernya dikalungi rantai dan ada bekas luka. Tidak ada pula atap yang menanunginya dari panas dan hujan.”

Menurut penuturan Yakobus, sudah lama ia ingin menyerahkan Japik, hanya saja tidak tahu harus menghubungi siapa. “Saya mau menyerahkan karena kasihan dan orangutan harus dijaga keberadaannya,” tuturnya.

Orangutan ke dua bernama Paini, diambil dari Randau Jekak. Menurut Pius, pemeliharanya, dia membeli Paini memang untuk menyelamatkannya. “Saya membeli seharga Rp500 ribu, dan berniat menyelamatkannya, makanya saya menghubungi YIARI,” ujarnya. Pius mengaku mendapatkan Paini dari pemburu. “Pemburu itu memang bukan berburu orangutan, tapi waktu mereka masuk hutan, mereka menemukan bayi orangutan ini sendirian.”

Tahun ini YIARI telah menyelamatkan tidak kurang 42 individu orangutan. Ini merupakan rekor, sebelumnya pada 2014 YIARI menyelamatkan 25 orangutan. Jika mengacu pada Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan 2007-2017, seharusnya sudah tidak ada lagi orangutan di pusat rehabilitasi. “Yang terjadi malah sebaliknya,” papar Tantyo Bangun, Ketua Umum YIARI.

Terpisah, Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, mengatakan pihaknya masih memberikan toleransi bagi pemelihara satwa dilindungi yang secara kooperatif mau menyerahkan. “Namun, untuk pelaku perdagangan, tindakan tegas sesuai undang-undang akan dilakukan.”

BKSDA Kalbar akan terus memberikan penyuluhan mengenai perlindungan satwa dilindungi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. “Kami akan memberikan apresiasi kepada warga yang secara sukarela menyerahkan satwa dilindungi,” ujar Sustyo.

Japik yang dipelihara di atas tumpukan sampah, tanpa pelindung dari terpaan panas dan hujan. Foto: YIARI Ketapang
Japik yang dipelihara di atas tumpukan sampah, tanpa pelindung dari terpaan panas dan hujan. Foto: YIARI Ketapang

Koridor

Hari Prayoga, akademisi dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura yang meneliti DNA orangutan menyatakan, saat orangutan dilepasliarkan maka ia harus dikembalikan ke habitat yang sesuai sub spesiesnya. “Banyak wilayah sebagai habitat orangutan di Kalimantan Barat yang telah terfragmentasi dan menciptakan “pulau-pulau” yang terpisah dan terisolir satu sama lain.”

Kondisi ini sangat buruk bagi orangutan, karena wilayah sempit tidak memberikan daya dukung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dampaknya, orangutan akan mencari makan ke daerah lain yang biasanya permukiman atau perkebunan.

Sementara, untuk suatu wilayah yang agak luas dan cukup memberikan daya dukung terhadap populasi kecil orangutan dalam jangka panjang jumlahnya akan meningkat. “Terjadinya “inbreeding” atau kawin antarkerabat tentunya akan memberi dampak signifikan.”

Paini, orangutan yang dibeli dari pemburu. Meski berstatus dilindungi, perburuan orangutan untuk diperjualbelikan terus terjadi. Foto: YIARI Ketapang
Paini, orangutan yang dibeli dari pemburu. Meski berstatus dilindungi, perburuan orangutan untuk diperjualbelikan terus terjadi. Foto: YIARI Ketapang

Namun begitu, menurut Hari, kawin antarkerabat ini nantinya berdampak pada daya tahan tubuh yang rentan terhadap penyakit. Sehingga, akan mudah sakit dan bisa punah secara lokal. “Membuatkan koridor sebagai wilayah pergerakan orangutan antardaerah yang wilayahnya telah terfragmentasi bisa dilakukan. Dengan begitu, orangutan dapat pindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan tidak akan terjadi perkawinan antarkerabat. Aliran gen (gen flow) dapat terjadi.”

Untuk membuat koridor, yang paling mudah adalah dengan menggunakan daerah sempadan sungai (riparian). Hal ini sejalan dengan PP No. 38 tahun 2011, mengenai sempadan sungai yang harus di konservasi. “Selain itu, daerah sempadan sungai juga merupakan daerah favorit orangutan karena ketersediaan pakan yang melimpah.

Di Kalimantan sendiri, terdapat tiga anak jenis orangutan. Pongo pygmaeus pygmaeus yang sebarannya di bagian barat dan utara Sungai Kapuas Kalbar, Pongo pygmaeus wurmbii yang berada di sebelah selatan timur Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) sampai ke Sungai Barito (Kalimantan Tengah), serta Pongo pygmaeus morio yang terdapat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

“Secara morfologi memang sulit untuk membedakan ketiga anak jenis orangutan yang telah ada secara alami ini. Namun, dengan teknologi biologi molekuler perbedaan antaranak jenis ini dengan mudah dapat diketahui,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,