,

Bupati Sumedang Digugat Soal Limbah Cair Di Rancaekek. Ada Apa?

Organisasi pemerhati lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Greenpeace membentuk koalisi melawan limbah dan secara resmi melakukan gugatan terhadap Surat Keputusan Bupati Sumedang, nomor 660.31/Kep.509-IPLC/2014 tentang Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) ke Sungai Cikijing. Gugatan tersebut ajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat, pada Senin (21/12/2015).

Menurut Dhanur Santiko perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menuturkan, ketika menerbitkan IPLC tersebut Pemerintah Kabupaten Sumedang dinilai tidak memperhatikan azas umum pemerintahan yang baik, padahal peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Akibatnya ekosistem Sungai Cikijing dan lahan pertanian di Desa Linggar, Jelegong, Sukamulya dan Bojong Loa Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung menjadi rusak parah tercemar limbah.

“IPLC ini digugat karena Bupati dalam isi penerbitannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan Permen LH No.01 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sumedang juga telah melanggar dan IPLC tersebut tidak sah dan harus dibatalkan,” ujarnya saat dalam jumpa pers di Bandung.

Selaras dengan itu, Wahyu Widianto Advokasi dan kampanye Walhi Jabar mengatakan sumber pencemaran limbah di sungai Cikijing berasal dari 3 perusahaan tekstil yaitu PT. Kahatex, PT. Five Star Texile dan PT. Insan Sandang Internusa.

“Kami mengkaji berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan beberapa Universitas di Jawa Barat melakukan penelitian terhaap pencemaran limbah di sungai tersebut.  kemudian hasil yang didapat bahwa pencemaran limbah tersebut mengandung logam berat yang merugikan kesehatan masyarakat, juga lingkungan menjadi rusak,” ungkapnya.

Dhanur mengatakan luasan wilayah yang tercemar akibat pembuangan limbah ke sungai Cikijing mencapai 415 hektare atau setara 42 persen lahan pertanian di 4 desa. Ketiga perusahaan tersebut melanggar pasal 41 ayat 4 dan 5 PP tahun 2001, yakni tentang kriteria baku mutu dan pencemaran lingkungan.

“Kualitas Sungai Cikijing sudah menurun dan tercemar berat oleh 3 perusahan tersebut, ini tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus dan 3 perusahaan tersebut harus bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan yang juga membahayakan kesehatan masyarakat,” paparnya.

Air sungai di Dusun Jelegong, Rancaekek, Bandung. Foto: Indra Nugraha
Air sungai di Dusun Jelegong, Rancaekek, Bandung. Foto: Indra Nugraha

Dikatakan Wahyu, Jabar memiliki 44 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan 7 DAS besar. Walhi sudah melakukan pengamatan sungai di Jawa Barat, dan hasilnya menunjukan bahwa hampir 70 persen sungai tercemar bahan kimia mulai tingkat pencemaran ringan, sedang hingga berat sepeti kasus Citarum.

Menurutnya di cekungan Bandung banyak industri tekstil yang tidak terkawal dengan baik terkait pengelolaan limbah. Monitoring yang dilakukan pemerintah masih longgar bahkan terkesan membiarkan. sehingga dampak dari itu perusahaan banyak melakukan penyimpangan pengelolaan limbah yang seharusnya melakukan terlebih dahulu diproses sesuai baku mutu yang berlaku.

“Pemerintah mesti meminta laporan dari perusahan perihal pengelolaan limbah misalnya per triwulan, tengah semester dan laporan tahunan. Agar kontrol dari pemerintah ada sebagai pemangku kebijakan”, ucapnya.

Awal Langkah Perubahan

Ahmad Ashov Birry, Juru Kampanye Detox Greenpeace mengatakan sudah sejak lama Rancaekek menjadi sorotan publik akibat dari pencemaran limbah yang begitu pelik. Kawasan Rancaekek menjadi salah satu daerah di Indonesia yang pencemaran limbahnya secara masif dibuang ke sungai, seakan–akan pembuangan limbah pribadi.

“Tahun 2012 lalu Greenpeace bersama ITB, IPB dan Unpad melakukan sample pengujian limbah yang ada di Sungai Cikijing. Kami melakukan pengujian di 8 titik sepanjang sungai. Setelah itu kami bawa ke beberapa labolatorium untuk diidentifikasi dan hasilnya mengandung bahan kimia berbahaya yaitu logam berat,” kata Ahmad.

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup
Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

Dia memaparkan, dari beberapa studi yang pernah dilakukan limbah logam berat juga terkandung 8-20 cm di tanah pertanian. Tanah yang mengandung bahan berbahaya menyebabkan hasil pertanian terkontaminasi logam berat sehingga nantinya apabila dikonsumsi masyarakat menimbulkan penyakit yang merusak kesehatan.

Ahmad melanjutkan, berdasarkan data dari pemerintah bahan kimia yang beredar di indonesia berjumlah 150 ribu jenis dan setiap tahunnya bertambah 1500 jenis. Bahan kimia ini juga sering dipakai oleh beberapa sektor dan yang paling intensif menggunakannya adalah industri tekstil. Pemerintah baru melarang 264 jenis zat kimia sejak 2001.

“Jadi bisa kita bayangkan, masih banyak zat yang digunakan dalam kasus ini industri tekstil belum terindetifikasi seluruhnya. Padahal pembuangnya (limbah) tidak dilakukan secara benar bahkan masih jauh sesuai prosedur. Ini merusak lingkungan. Juga dapat merusak sistem saraf dan hormon manusia,” katanya.

Dia menuntaskan bahwa gugatan hukum terhadap penanganan limbah agar lebih menjadi langkah awal perubahan. Masih banyak yang harus dibenahi dari hulu hingga hilir terutama aturan dan penegakan hukum.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,