,

Indonesia Fokus di Sektor Energi dan Kelautan untuk Perubahan Iklim

Pemerintah Indonesia akan fokus untuk melakukan adaptasi perubahan iklim di sektor kelautan dan kemaritiman. Hal itu, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia akan sangat bergantung pada kondisi perairan di lautnya. Kondisi tersebut, jika tidak dibenahi dari sekarang, maka akan berpotensi menjadi masalah besar.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Sub Direktorat Iklim dan Cuaca Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Syamsidar Thamrin di Jakarta, Senin (21/12/2015). Menurut dia, sektor kelautan dan kemaritiman akan berjalan berdampingan dengan sektor energi dan kehutanan yang selama ini menjadi fokus di Indonesia.

“Selama ini, kehutanan selalu menjadi fokus. Namun, pada 2030 nanti, dari hasil kajian, energi akan menjadi sektor paling berpengaruh dalam perubahan iklim di Indonesia. Selain itu, sektor kelautan dan kemaritiman juga akan menempati porsi yang sama,” ujar dia.

Syamsidar menjelaskan, energi akan menjadi ujung tombak, karena diperkirakan pada tahun-tahun mendatang Indonesia akan mengalami stagnasi penambahan luas hutan nasional. Sementara, pada saat bersamaan, industri justru menggenjot kinerja mereka untuk menghasilkan produk. Karenanya, energi diprediksi akan meningkat berkali-kali lipat dari sekarang.

“Kita akan terus melakukan pemetaan seperti apa dampak dari penggunaan energi yang berlipat ini nanti. Sekarang, kita terus berkampanye agar sektor industri melaksanakan programnya dengan mengarah ke konsep ­green,” tutur dia.

Selain energi, Syamsidar mengatakan, sektor lain yang akan menjadi fokus adalah kelautan dan kemaritiman. Sektor tersebut penting, tidak saja karena selaras dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo di Pemerintah Indonesia, namun karena berhubungan langsung dengan kondisi geografis dan topografis Indonesia.

“Laut menjadi wilayah yang penting bagi Indonesia. Karena itu, kita akan terus memetakan dan melakukan adaptasi di sektor tersebut,” jelas dia.

Akan tetapi, meski sudah menjadi prioritas, Syamsidar mengakui, sektor kelautan dan kemaritiman masih belum diakui di tingkat dunia. Hal itu, terlihat dari pelaksanaan konferensi perubahan iklim (COP21) yang berlangsung di Paris, Perancis belum lama ini.

“Disana, negara-negara lain masih berfokus pada sektor energi dan kehutanan yang memang sudah mendominasi sejak lama. Untuk kelautan dan kemaritiman, masih belum,” sebut dia.

Penyebab belum diakui, kata Syamsidar, tidak lain karena Indonesia tidak membawa fakta ilmiah yang sudah diteliti secara akademis dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika itu sudah dilakukan, maka Indonesia akan bisa membawanya ke tingkat dunia dan mempunya daya tawar yang tinggi.

Efek Perubahan Iklim

Syamsidar Thamrin memaparkan, walau belum bisa meyakinkan negara lain tentang pentingnya sektor kelautan dan kemaritiman, namun Indonesia meyakini, karena memang luas lautan Indonesia mencapai 2/3 dari total wilayah Indonesia.

Dampak yang akan terasa jika perubahan iklim terjadi di sektor tersebut, menurut dia, adalah akan banyaknya pulau-pulau di Indonesia tenggelam. Hal itu disebabkan, karena air laut terus mengalami peninggian dan itu menyebabkan pulau-pulau terdepan dan terpencil yang luasnya sangat terbatas, akan terkena dampaknya lebih dulu dari pulau-pulau yang lain.

Tunggu Kejelasan Dana Climate Change USD100 miliar

Sementara itu, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), lembaga wali amanat yang fokus membiayai isu perubahan iklim di Indonesia, hingga sekarang masih menunggu kepastian pendanaan dari negara maju yang totalnya mencapai USD100 miliar.

Masih belum jelasnya kepastian tersebut, menurut Direktur Eksekutif ICCTF Erwin Widodo, karena saat ini muncul wacana pembentukan ICCTF+ yang fungsinya sama sebagai lembaga wali amanat untuk pendanaan isu perubahan iklim di Indonesia.

“Kami siap menjadi institusi yang mendanai kegiatan-kegiatan terkait isu perubahan iklim. Tapi, sekarang juga kami masih dalam proses persiapan mendapatkan dana dari negara-negara maju. Kita menunggu itu,” jelas dia.

Erwin mengungkapkan, dana yang akan dialirkan dari negara-negara ke negara berkembang seperti Indonesia, besarnya mencapai USD100 miliar. Dana tersebut akan dikucurkan, jika Indonesia ikut berkomitmen melaksanakan aksi mitigasi pengurangan emisi secara aktif dari saat ini.

Menanggapi hal tersebut, Syamsidar Thamrin mengatakan, Indonesia harusnya mengambil sikap jelas dan tegas terkait pendanaan perubahan iklim. Jika memang dirasa ICCTF belum siap untuk melaksanakan program, maka sebaiknya diperkuat saja.

“Saya kurang sreg jika harus membentuk lembaga baru, karena itu akan memerlukan proses lagi dan memakan waktu lama. Saya pikir, ICCTF sudah berpengalaman cukup lama menangani isu pendanaan. Jadi, sebaiknya diperkuat saja,” tandas dia.

Untuk diketahui, tahun ini ICCTF menerima hibah dana sebesar USD11 juta atau sekitar Rp150 miliar. Dengan rincian, dari Amerika Serikat (USAID) sebesar USD5 juta dan sisanya dari Inggris (UKCCU), Denmark (Danida), dan Rp15 miliar dari pemerintah Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,