,

‘Perlu Usaha Ekstra Keras untuk Jaga Suhu Bumi Tetap 2 Derajat’

Seluruh elemen yang ada di Indonesia diminta untuk ikut terlibat aktif dalam penanganan aksi perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini. Perlunya partisipasi aktif masyarakat luas, karena dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim akan dirasakan oleh semua elemen tanpa kecuali.

Himbauan tersebut diungkapkan Utusan Khusus Presiden Untuk Perubahan Iklim Rachmat Witoelar di Jakarta, Rabu (23/12/2015).

Menurut dia, persoalan terbesar di Indonesia saat ini, bukan hanya karena masalah kebijakan dalam isu perubahan iklim saja, tapi lebih dari itu adalah bagaimana mengedukasi masyarakat luas megenai ancaman perubahan iklim yang tak bisa dicegah lagi.

“Bagaimana menggalang kepedulian satu dunia, itu juga lebih susah. Banyak yang belum paham tentang climate change. Dan itu juga berlaku di Indonesia ini,” ujar Rachmat.

Rachmat mengungkapkan, momen pertemuan konferensi perubahan iklim (COP21) yang sudah berlangsung di Paris, Perancis, harus menjadi momen bagus untuk meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia. Dengan cara tersebut, visi dan misi Pemerintah Indonesia untuk ikut terlibat dalam penurunan emisi bisa dilakukan secara perlahan.

Salah satu misi yang akan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, kata dia, adalah menjaga agar suhu bumi di Indonesia tidak melebihi 2,5 derajat celcius. Jika memungkinkan, bahkan suhu bumi bisa dijaga jangan melebihi 2 derajat celcius.

“Untuk sekarang kita harus bisa menjaga di 2,5 derajat celcius. Kalau bisa, bahkan pada 2 derajat celcius, seperti hasil Paris Agreement kemarin,” tutur dia.

Untuk bisa menjaga suhu seperti itu, Rachmat meyakini usaha yang dilakukan akan sangat keras. Namun, usaha tersebut harus tetap dilakukan karena perubahan iklim akan terus terjadi jika Indonesia tidak melakukan adaptasi dan mitigasi sejak dari sekarang.

“Kalau negara maju dan negara Eropa Utara sudah menurunkan emisi dengan jumlah banyak, maka Indonesia patut untuk mengikuti jejak mereka. Walaupun, kita tahu kalau negara maju memang memiliki kemampuan untuk menurunkan emisi lebih banyak dari negara berkembang,” papar dia.

Selepas COP21, Rachmat menjanjikan Pemerintah akan melakukan pemetaan kembali untuk menyesuaikan hasil Paris Agreement. Namun, menurutnya, tidak akan ada perubahan rencana pembangunan jangka panjang nasional atau menengah (RPJP/RPJMP).

Negara Kepulauan

Kesepakatan yang dihasilkan dari COP21, adalah menjaga suhu global jangan sampai melebihi 2 derajat celcius. Kesepakatan tersebut dicapai 195 negara yang hadir dalam COP21, termasuk di dalamnya adalah negara maju dan negara berkembang.

Tetapi, menurut Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan aHidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhati, saat perundingan berlangsung, negara-negara kepulauan mendesak ditetapkannya batas suhu global di bawah 1,5 derajat celcius.

“Tapi, memang kesepakatan akhir memutuskan bahwa suhu global harus dijaga di bawah 2 derajat. Itu kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang,” jelas dia.

Agar suhu global bisa tetap di bawah 2 derajat, menurut Tantri, kuncinya ada di pendanaan secara global. Donatur yang harus mendanai proses tersebut, adalah negara maju dan menghibahkannya kepada negara berkembang seperti Indonesia.

“Sampai 2020 nanti, negara maju harus tetap memimpin dalam memerangi emisi gas rumah kaca. Caranya, dengan menyediakan dana sebesar USD100 miliar dan diberikan kepada negara-negara berkembang,” sebut dia.

Pendanaan dari negara maju tersebut sangat penting dilakukan, karena menurut Tantri, adaptasi dan mitigasi harus dilakukan di semua elemen tanpa kecuali. Dan itu, dipastikan akan memerlukan dana yang tidak sedikit. Kalau semuanya mengandalkan dana dari masing-masing negara berkembang, itu akan sulit dilakukan.

“Di negara berkembang, upaya untuk melakukan pembangunan masih terus berjalan setiap saat. Untuk itu, supaya bisa melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, maka perlu upaya keras selain sosialisasi dan edukasi, juga harus ada pendanaan yang kuat,” tandas dia.

“Tapi upaya ini tidak hanya berlaku untuk negara berkembang saja, semua negara wajib untuk ikut menurunkan emis. Semuanya harus bahu membahu bekerja keras. Indonesia sendiri sudah menurunkan emisi, tapi masih perlu upaya lebih keras lagi,” tambah dia.

Mitigasi dan Adaptasi

Pasca keluarnya Paris Agreement, Sri Tantri Arundhati menyimpulkan, perlu upaya esktra keras dari Pemerintah Indonesia dan seluruh elemen di Tanah Air tanpa kecuali. Hal itu, karena untuk bisa menerapkan kebijakan dari pertemuan COP21 tersebut, perlu ditegaskan untuk melaksanakan proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Tantri menjelaskan, untuk bisa melaksanakan mitigasi yang baik dan sejalan dengan kebjiakan Paris Agreement, perlu ada komitmen yang kuat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (EGRK) yang bisa diverifikasi. Selain itu, harus ada kebijakan kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan rendah emisi.

“Tak lupa juga, harus ada keterlibatan dunia usaha, dan juga ada kemampuan accounting pelaksana aksi mitigasi dan verifikator. Yang paling penting, perlu ada keterlibatan yang intens di dunia usaha,” papar dia.

Selain mitigasi, Tantri menambahkan, perlu juga melaksanakan proses adaptasi yang dimulai dengan komitmen dan kebijakan kementerian atau lembaha dan pemerintah daerah dalam peningkatan ketahanan perubahan iklim.

“Perlu juga diperkuat data dan informasi iklim. Kemudian, harus ada juga peningkatan kapasitas SDM (sumber daya manusia, red). Peningkatan institusi juga perlu dilakukan karena bisa mendukung pelaksanaan adaptasi dengan baik,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,