,

Kisah Air dan Manusia dalam Karya Seni

Ada yang menarik dalam pamerah Biennal Jakarta yang digelar 14 November 2014 – 16 Januari 2016 di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan. Pameran seni bertema Maju Kena Mundur Kena, Saatnya Bertindak yang melibatkan 70 seniman dalam dan luar negeri ini, mengusung tiga tema utama lingkungan, khususnya pengelolaan dan penyalahgunaan air dan pemukiman, gender, dan sejarah.

Dalam kurasinya, para kurator menjelaskan pentingnya isu lingkungan – terutama soal air. Ini berdasar pengalaman, keprihatinan nyata yang masalahnya belum terselesaikan. Pengalaman yang mengukuhkan pentingnya air bersih bagi kehidupan yang baik, juga sebagai contoh penyalahgunaan air menjadi alat yang sempurna dari perusakan lingkungan. “Ini menjadi keprihatinan atas Kota Jakarta dan sejarahnya,” demikian kuratorialnya.

Tak percaya? Coba tengok karya Tita Salina berupa video dan seonggok besar sampah plastik yang diwadahi sebuah jaring besar berukuran 14 x 5 x 2 meter. Sampah yang dijaring di salah satu muara sungai dekat Muara Angke dan Muara Karang bersama para nelayan. Mereka mengolahnya dan memberi nama pulau itu Pulau 1001. Pulau ini rencananya bakal ditempatkan di antara pulau-pulau hasil reklamasi dan Kepulauan Seribu. Melalui karya ini, Tita coba menghubungkan isu reklamasi Teluk Jakarta dan peruntukan lahan dengan sampah kota yang bermuara di laut, serta masa depan para nelayan tradisional. “Butuh tiga pekan untuk menjaring sampah-sampah itu,” ujarnya.

Sampah yang dikumpulkan selama tiga pekan di salah satu muara sungai dekat Muara Angke, Jakarta. Foto: Asti Dian
Sampah yang dikumpulkan selama tiga pekan di salah satu muara sungai dekat Muara Angke, Jakarta. Foto: Asti Dian

Ada pula M. Cora yang mengamati pengaruh Sungai Ciliwung terhadap bentuk rumah atau hunian di sekitarnya. Sungai ini merupakan salah satu urat nadi penduduk Jakarta. Berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat mengalir melalui Bogor, Depok sebelum masuk ke Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Aliran sungai ini terbelah di Manggarai, melalui wilayah Gunung Sahari dan Tanah Abang; dua wilayah yang sama-sama padat penduduknya.

Selama sebulan dia tinggal di Kelurahan Balekambang, Condet, Jakarta Timur dan berkolaborasi dengan warga sekitar. Mereka membuat maket purwarupa hunian dan sketsa morfologi rumah warga setempat dari masa ke masa.

Sedangkan Dwi Wicaksono dengan karya lukisan yang mengeksplorasi jembatan di atas kali Ciliwung. Sungai yang tak lagi jernih tapi masih dipakai sebagai tempat bermain dan mencuci bagi warga Kampung Pulo. Ada pula ritual sesajen di Ciliwung oleh sebagian masyarakat Depok. Dia merefleksikan ritual dan kegiatan masyarakat ini di kanvas berjudul Hai Jembatan Panus, Hai Kampung Pulo.

Masih soal air, Firman Djamil mengingat kehidupan di desa yang diwujudkan dalam instalasi berjudul Menggantung Air, berwujud seratus wadah air dari kelapa muda yang ditopang seutas kawat dan dua bilah pasak  pada 100 tongkat bambu. Seperti pose orang desa saat membawa air dari sumur atau sumber air manapun yang jauh dari rumah. Karya ini mengingatkan pembangunan yang digiatkan tanpa kesadaran lingkungan.

Yang juga menarik, karya foto instalasi berjudul Cleanliness karya Evelyn Pritt. Dia membuat potret air dengan menghadirkan wujud air di tiga tempat berbeda bersama segala perlakuan manusia di sekitarnya. Sebulan lebih, dia mengikuti keberadaan air di Kampung Geulis (Bogor), Kampung Pulo dan Kampung Maja di Jakarta. Dia memotret lanskap alam dan buatan manusia yang mengurung air.

Dari sana, Evelyn memperlihatkan tingkat kejernihan dan kekotoran yang dibawanya sekian lama. Sebagai bukti, seniman ini memperlihatkan tiga kaos putih yang dicuci beberapa perempuan di tiga tempat itu. Perempuan juga disinggung sebagai simbol pekerja domestik—mencuci, beberes rumah, sementara air menyimbolkan sumber kehidupan.

Wilayah pinggir sungai Ciliwung antara Bogor-Depok, masih lebat dengan vegetasi riparian. Foto: Ridzki R. Sigit

**

Beberapa bulan lalu, penggusuran warga bantaran kali Ciliwung di Kampung Melayu menjadi  berita yang menghiasi halaman depan media cetak dan waktu utama siaran televisi. Warga yang berpuluh tahun menghuni bantaran kali ini harus mau direlokasi ke rumah susun yang tak jauh dari tempat semula. Pemerintah DKI Jakarta bermaksud menormalisasi kali yang bantarannya kadung dipenuhi ribuan rumah dan sampah yang menimbulkan banjir.

Tetapi, fenomena berbeda akan terlihat di bantaran Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. Jika Anda melintasi jalan menuju Wonokromo Surabaya, akan terlihat pemukiman warga Strenkali Surabaya dan Strenkali Wonokromo. Mereka hidup di bantaran kali, tetapi terlihat berbeda dengan kondisi di Kampung Melayu. Pemukiman ini terlihat rapi, dengan jalan inspeksi selebar 3-5 meter, rumah menghadap  sungai. Mereka juga membuat septic tank, mengelola sampah rumah tangga—tidak membuangnya ke badan sungai.

Pemukiman ini dikelola dengan kesadaran warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (PWSS). Sebuah organisasi yang anggotanya bermukim di sepanjang Strenkali Surabaya. Wilayah mereka meliputi Kampung Strenkali Surabaya, Kali Wonokromo, Strenkali Karang Pilang, Kebraon, Gunung Sari I, Gunung Sari II, Gunung Sari  PKL, Kampung Baru Bratang Tangkis PDAM, Bratang Tangkis, Barata Jaya, dan Medokan Semampir.

Paguyuban ini memiliki struktur organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga hingga pertemuan rutin dan kegiatan-kegiatan sosial budaya seperti larung, pentas pertunjukan membuat warga semakin guyub.

Kegiatan warga Strenkali inilah yang kemudian diangkat oleh dua seniman Belanda Bik Van der Pol. Mereka menyajikan seni instalasi berjudul Jogo Kali. Memperlihatkan bagaimana warga sekitar Kali Surabaya dan Wonokromo mengatur diri mereka dengan alam—mengadaptasi kehidupan di tepi sungai, merawat sungai.

Aliran Ciliwung. Sumber: Presentasi Djati Witjaksono Hadi

Sejalan dengan karya mereka adalah, Lifepatch yang juga memperlihatkan usaha masyarakat Strenkali yang mempertahankan kehidupan air melalui proyek penjernihan air secara tradisional. Karya berjudul Banyu Mili diwujudkan dalam instalasi multimedia.

Salah satu seniman manca yang bicara soal air adalah Maddie Leach dari Selandia Baru. Seniman ini semula mengusulkan pengiriman dua tong air dari mata air Putraruru—sebuah kota kecil di Pulau North, Selandia Baru. Mata air ini menghasilkan 70 persen air botolan di negara itu.

Dia bermaksud, membawa air itu ke Indonesia untuk ditukar ke perusahaan pulp & paper dengan satu kilogram kertas.  Sederhana, tetapi proses pertukaran itu rumit dan birokratis. Proses surat menyurat elektronik yang panjang, saling berbalas dan tak jelas ujungnya malah akhirnya memunculkan satu karya baru. Yakni instalasi setumpuk kertas surat-menyurat sebagai dokumen yang diletakkan di samping tong air.

Masih banyak karya para seniman yang mengeskpresikan kegelisahan mereka tentang lingkungan sebagaimana situasi sekarang. Berkarya dan bertindak, pastinya sangat patut dilakukan demi kelestarian lingkungan kita!

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,