Muara Tae: Kami Tidak Mau Diadu Domba Perusahaan (bagian-2)

Bagian pertama cerita dapat di lihat di tautan ini: Muara Tae: Bara Konflik itu Masih Tetap Menyala

Pagi itu di bulan Juni 2012, beberapa pria warga Muara Tae berjalan di dekat perairan Sungai Melinau. Lamat-lamat terdengar suara buldoser dari seberang hutan, lokasi dimana base camp PT Borneo Surya Mining Jaya (PT BSMJ) terletak di dekatnya.

Masrani dan rekan-rekannya pun langsung mendatangi camp untuk menuntut penjelasan. Rizaldy, manajer umum perusahaan, yang ditemui saat itu menyebutkan bahwa perusahaannya telah mengakuisisi lahan seluas 400 hektar dari warga Muara Ponak, bernama Yokubus. Menurutnya ini mengacu kepada SK Bupati Kutai Barat nomor 146.3/K.525/2012 bahwa lahan tersebut kepunyaan warga Muara Ponak. Terkejut warga Muara Tae, yang baru mengetahui jika ada SK Bupati tnetnag penetapan batas, yang selama ini dianggap sebagai wilayah adatnya.

“Jika tidak suka, silakan bawa saja ke pengadilan,” ujarnya.

Mendapat penjelasan tersebut, warga Muara Tae pun berupaya apa yang mereka bisa. Warga mulai menghalangi operasi buldoser PT BSMJ di lokasi sengketa dengan cara berjalan di depan buldoser. Bahkan, beberapa orang Muara Tae bersiaga di hutan selama berminggu-minggu untuk melindungi hutan dan wilayahnya.

Hingga suatu hari, Masrani dan warga Muara Tae menjumpai buldoser yang dilindungi oleh 30 orang Muara Ponak dan petugas kepolisian. Suasana bertambah panas, hampir terjadi baku hantam. Masrani berucap kepada Rudiyanto, Kepala Desa Muara Ponak. “Jangan memaksa untuk buka lahan ini, sadarlah kita ini sedang diadu domba perusahaan.”

Atas: Yokubus berpose dengan seorang perwakilan PT BSMJ setelah menandatangani pelepasan 400 hektar lahan kepada perusahaan. Wilayah ini diklaim oleh dua desa, Muara Tae dan Muara Ponak. Bawah: Pejabat yang bertandatangan di dalam dokumen yaitu Rudiyanto, kepala desa Ponak ini; Burhan, kepala adat; dan Markus, kepala dewan musyawarah desa.

Masrani terkejut dan amat marah kepada PT BMSJ, anak perusahaan First Resources, perusahaan asal Singapura itu, yang telah berani-beraninya mengklaim lahan dengan asumsi bahwa lahan telah bebas dari sengketa. Padahal sebelumnya, telah berulangkali warga Muara Tae mengajukan keberatan kepada pihak BMSJ, bahwa lahan tersebut adalah bagian dari wilayah mereka, bukan milik warga Muara Ponak, tetangga desanya.

Cerita kembali ke tahun 2010, saat Pemerintah Kabupaten Kutai Barat mengeluarkan ijin lokasi kepada PT BMSJ. Dengan surat itu, perusahaan diperbolehkan bernegosiasi langsung dengan pemilik tanah di wilayah ijinnya. Jika proses ini telah selesai, perusahaan dapat memperoleh Ijin Usaha Perkebunaan (IUP) untuk beropreasi di lahan yang mereka dapat secara sah.

Ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Pemkab berada di kedua sisi Bukit Benuakng yang berada di antara batas wilayah Desa Muara Tae dan Muara Ponak. Pada pertengahan tahun 2011, setelah PT BMSJ menggelar pertemuan dengan warga Muara Tae, pihak desa mengeluarkan surat resmi penolakan yang dilampirkan dengan batas wilayah desa mereka. Belajar dari kesalahan sebelumnya, saat anak perusahaan TSH Resources/PT MWJP, perusahaan sawit lain masuk ke wilayah desa, pihak-pihak yang sebelumnya berseberangan di Muara Tae pun tampak bersatu dan turut menandatangani surat yang ditujukan kepada PT BMSJ.

Petrus Asuy, di depan pohon benggeris, yang sekarang dikelilingi oleh sawit. Foto: Philip Jacobson

Anak perusahaan First Resources, PT BMSJ tampaknya telah menduga kesepakatan mereka dengan Yokubus, warga Muara Ponak, bakal memicu konflik sengketa baru dengan pihak Muara Tae.

Untuk antisipasinya, perusahaan berlindung di balik kontrak yang ada, yang menyebutkan bahwa lahan tersebut dimiliki oleh Yokubus, dan jika terjadi sengketa, maka pihak Yokubus yang akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Surat itu turut diperkuat oleh tandatangan Rudiyanto, Kepala Desa Muara Ponak dan dua pejabat Muara Ponak lainnya, dimana salah satunya sepupu Yokubus. Dari kesepakatan ini, Yokubus menerima Rp 400 juta rupiah dari PT BMSJ.

Bagi First Resources, jika sudah ada keputusan yang diambil oleh pihak berotoritas, maka sengketa lahan dianggap telah usai, setidak-tidaknya itu nalar dari Chong Wei Kwang, senior manager First Resources.

Ambrosius Ruwindrijarto, mantan Ketua Telapak, LSM yang telah bekerja dengan Muara Tae sejak tahun 1990-an, menyebutkan niat dan tindakan perusahaan “menunjukkan ketidaktahuan, atau bahkan lebih parahnya adalah niat yang amat buruk.”

“Ini jadi semacam modus bagaimana perusahaan beroperasi,” tambahnya. “Kami menemukan hal yang sama di seluruh dunia. Yang perusahaan pedulikan cuma selembar kertas [kepemilikan dan jual beli lahan]. Mereka tidak peduli itu dapat dari mana. Kertas itu memang satu-satunya yang mereka pedulikan.”

Warga Muara Tae ketika menyetop buldoser yang akan membuka hutan adat. Foto: Muara Tae

Jika sebelumnya warga Muara Tae dalam posisi yang tampak bersatu terhadap PT BSMJ, hal tersebut berubah setelah perusahaan mulai beroperasi. Seiring dengan berjalannya operasi perusahaan, mulailah terjadi perpecahan. Beredar petisi yang mencoba menyudutkan Masrani, Kepala Desa Muara Tae. Petisi diedarkan oleh sebagian keluarga yang pro kepada adanya sawit di Muara Tae. Puncaknya adalah tuntutan pelengseran (impeachment) kepada Masrani.

Bambang Dwi Laksono, Kepala Keberlanjutan First Resources mengelak jika dianggap turut intervensi dalam gerakan pelengseran Masrani. Menurutnya perusahaan tidak ikut campur dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat Muara Tae, juga ikut campur dengan keputusan yang diambil Pemda.

Namun Masrani percaya bahwa Rizaldy, manajer PT BMSJ turut bermain sebagai dalang terhadap rencana pencopotan dirinya. Menurut Masrani, Rizaldy bisa bermain, karena memiliki kedekatan dengan kekuasaan yaitu Bupati Kutai Barat Ismael Thomas. Saat Bupati Ismael menjadi Ketua Cabang PDIP Kutai Barat, Rizaldy menjadi anggota DPRD di periode tersebut.

Terkait masalah pelengseran. Masrani menyebutkan, kasak-kusuk dimulai sejak November 2012. Saat Janssen Ewang, anak kedelapan dari warga Muara Tae bernama Abdul Sokeng, mulai mendekatinya agar menggelar perjanjian pelepasan lahan dengan PT BMSJ.

Kebetulan, keluarga Sokeng, termasuk warga yang lahannya masuk ke wilayah sengketa. Menurut mereka, alih-alih terus bersengketa dengan perusahaan, maka jalan yang paling masuk akal adalah bekerjasama dengan pihak perusahaan. Mereka mendesak agar Masrani sebagai Kepala Desa, memberikan dukungan bagi kesepakatan mereka.

Dalam tradisi Dayak Benuaq, biasanya pengambilan keputusan terhadap suatu masalah yang akan berdampak kepada masyarakat, seperti menerima atau menolak sawit, dilakukan lewat suatu musyarawarah adat. Dalam beberapa kali pertemuan warga Muara Tae sebelumnya, warga telah menyatakan penolakannya terhadap kehadiran PT BSMJ. Apalagi jika itu melibatkan tanah sekelompok warga masyarakat. Namun tampaknya berbeda kali ini.

Dalam tanah sengketa tersebut, menurut Masrani keluarga Sokeng menawarkan kepada perusahaan tidak saja tanah miliknya, tetapi tanah lainnya. Saat itu Masrani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Janssen.

Andreas Singko (paling kanan), salah satu tetua adat Muara Tae, setelah ritual yang dilakukan pada tahun 2012. Foto: Tomasz Johnson/Environmental Investigation Agency

Suasana menjalar panas. Dalam beberapa minggu selanjutnya, keluarga yang kontra di Muara Tae terus melakukan dakwaan kepada Masrani. Mereka mengklaim bahwa petisi telah didukung oleh mayoritas warga dan dibawa kepada Badan Permusyawarahan Kampung (BPK). Hal ini mereka lakukan karena selain kejahatan serius seperti terlibat terorisme atau korupsi, Kepala Desa tidak dapat diberhentikan tanpa rekomendasi dari BPK.

Dalam petisi itu, disebut bahwa Masrani menggunakan jabatannya untuk “kolusi, korupsi dan nepotisme”, yang membawa para penggugat meminta agar Masrani dilengserkan dari kedudukan sebagai kepala desa. Meski hingga pada akhirnya, tuduhan tersebut tidak pernah terbukti atau dibawa ke pengadilan.

Pihak BPK Muara Tae menolak permohonan petisi. Karena tidak ada bukti. Menurutnya banyak tanda tangan warga yang dipalsukan dan ditipu. “Ada warga yang bilang kalau mereka disuruh tandatangan petisi agar pemerintah turunkan bantuan untuk beri lampu tenaga surya [bukan untuk impeachment],” terang Mustari, Ketua BPK menjelaskan kepada Mongabay.

Bahkan, ada juga warga yang tidak pernah merasa memberikan tandatangan tetapi ada di dalam daftar petisi. Ada juga warga yang merasa diintimidasi agar menandatangai petisi. “Dua kali mereka datang meminta tanda tangan saya,” jelas seseorang warga kepada Mongabay. “Pertama kali saya tidak menandatangani. Kedua kalinya saya menandatangani karena mereka mengancam akan mendakwa saya juga. ”

Namun pihak yang melakukan petisi menganggap penolakan warga terhadap Masrani dianggap sah. Menurut mereka, Masrani telah bertindak tidak adil terhadap warga, bahkan beberapa kali mengancam warga yang kebanyakan tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. “Masrani berani kasi ancaman karena punya latar belakang pendidikan hukum,” jelas Andiq salah satu penentang Masrani.

“Masrani selamanya tidak akan buat perjanjian [dengan PT BSMJ] karena tidak senang,” Andiq melanjutkan. “Dia iri sama kita yang ingin bawa kemajuan ke desa.”

Surat petisi itu pun dibawa kepada ajudan Bupati melalui Camat Jempang. Masrani menyebutkan ancaman pelengseran dirinya adalah upaya untuk memaksa agar dia menyetujui kerjasama dan alokasi lahan antara Muara Tae dengan PT BMSJ. Namun demikian, Silan, Camat Jempang, menolak kalau dia disebut turut menekan Masrani.

Demikian pula Bambang, Kepala Keberlanjutan First Resources, mengelak jika dia turut menekan Masrani. Nada serupa muncul dari Camat Silan. “Saya sudah pernah bilang, musyawarah jalan terbaik. Lebih baik kalau kita prioritaskan saja para pimpinannya. Kalau saya telpon, mengharapkan dia cabut, terus minta dia berikan satu lahan kepada investor, saya tidak pernah buat begitu.”

Ketika Mongabay meminta Bambang untuk memberi nomor kontak Rizaldy untuk konfirmasi, Bambang menyebutkan bahwa tidak dapat memberi, karena Rizaldy telah mengajukan pengunduran diri dari perusahaan beberapa bulan lalu.

Bambang berdiri di depan tumpukan sawit di sisi jalan pada bulan Oktober, di satu hari yang paling tercemar di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Warna pada gambar ini tidak dimanipulasi. Foto oleh Bjorn Vaughn

Pada bulan Februari 2013 pengadilan menolak gugatan masyarakat Muara Tae terhadap SK Bupatei tentang penetapan batas. Selanjutnya, dua bulan setelahnya Masrani dilengserkan dari jabatannya. Dia tidak tinggal diam, namun mencoba untuk menantang keputusan itu. Lewat AMAN, lembaga aliansi masyarakat adat, dia meminta agar dapat didukung pembelaannya. Senada, Mustari Kepala BPK, bersaksi bahwa dia tidak pernah mendukung tuduhan terhadap Masrani. Namun, para hakim menolak kasus ini karena dinyatakan kasus telah lewat tenggat waktu.

Sebenarnya, petisi hanya satu dari alasan yang mendorong keluarnya surat pemecatan Masrani. Laporan lainnya, datang dari Inspektorat Kabupaten, yang fungsinya mirip seperti auditor. Dalam SK pelengseran Masrani, dinyatakan bahwa Inspektorat menemukan dugaan bahwa Masrani lalai dalam pengelolaan dana desa. Meski demikian, tuduhan terhadap Masrani tidak pernah dibawa ke pengadilan, Masrani menyebutkan dirinya tidak pernah dipanggil untuk menjelaskan dan membela dirinya di forum formal apapun.

Selain dituduh melakukan korupsi dan lalai dalam pengelolaan dana desa, Masrani juga dituduh menyalagunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, yaitu memblok ratusan hektar lahan di wilayah Sungai Melinau, menjadi milik pribadi. Alasan lainnya, di dalam petisi Masrani dianggap telah menentang program pemerintah yang telah melakukan pengesahan tapal batas desa, sehingga pada akhirnya Masrani dianggap “telah menjadi musuh” dari Bupati.

“Itu sebabnya ia dipecat,” Andiq, pendorong petisi, menjelaskan. “Jadi makanya bupati berhentikan dia. Dia tidak bisa laksanakan tugas dengan baik. Tidak bisa taati aturan dengan baik. Maka orang seperti ini memang harus layak diberhentikan oleh pemerintah.”

Sebaliknya Masrani menyebutkan bahwa Andiq dan orang-orang penentangnya tidak paham skenario perusahaan untuk mendapat lahan di Muara Tae. “Dia diperalat perusahaan.”

Pembukaan lahan oleh perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler

Industri sawit di Indonesia telah membuka jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia, namun di sisi lain telah memusnahkan hutan hujan tropis dan mendorong pengambilalihan lahan masyarakat. Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang telah mengalahkan Malaysia. Tahun 2014, nilai ekspor minyak sawit Indonesia adalah USD 18,9 milyar, dengan ekspor utama ke India, Tiongkok dan negara-negara Eropa.

Pada tahun 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan sebagai forum para pemangku kepentingan. Para pendiri forum ini termasuk NGO Internasional seperti WWF, perusahaan multinasional seperti Unilever hingga asosiasi sawit seperti Malaysia Palm Oil Association.

Tujuan dari pendirian RSPO adalah untuk mendukung produksi minyak sawit yang berkelanjutan yang menempatkan nilai etik sosial dan ekologi. Termasuk mengakomodasi keluhan jika ada pihak masyarakat yang terdampak oleh sebuah investasi melalui pengaduan bernama “Free, Prior and Informed Consent” (FPIC) atau “Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan” (Padiatapa).

Perusahaan First Resources telah menjadi anggota RSPO sejak tahun 2008. Pada Oktober 2012, Environmental Investigation Agency (EIA), sebuah LSM yang berbasis di London, menyampaikan keluhan tentang anak perusahaan ini, PT BMSJ yang dianggap telah menghancurkan hutan masyarakat Muara Tae, dan beroperasi tanpa adanya persetujuan masyarakat.

Dalam resolusinya, RSPO menanggapi keluhan dan menginstruksikan agar perusahaan dapat menahan diri dari pembukaan dan penanaman hingga masalah sengketa lahan bisa diselesaikan.

Tiga tahun setelahnya, dikungkungi oleh rasa frustasi terhadap penanganan masalah oleh organisasi, pihak warga Muara Tae menarik diri dari fasilitasi yang dilakukan oleh RSPO. Keberatan warga Muara Tae adalah terhadap proses mediasi yang dianggap tidak berada dalam aras netral.

Konsultan mediasi yang ditunjuk dan disetujui oleh RSPO adalah LINKS (Lingkar Komunitas Sawit). Keberatan masyarakat karena pihak mediator adalah pihak yang dipilih secara sepihak dan dibayar oleh perusahaan First Resources. Masyarakat sedari awal keberatan dengan pilihan ini dan telah menolak berulangkali. Bagi masyarakat, LINKS tidak dapat bertindak kredibel dan independen. Hal ini pun menjadi ironis dengan kesepakatan awal yang disepakati oleh RSPO yang menyebutkan bahwa “pemilihan mediator harus disepakati bersama dengan masyarakat Muara Tae”.

Petrus Asuy berjalan di tengah hutan. Foto: Philip Jacobson

“Ini sangat jelas mengapa pihak yang terkena dampak harus bisa memilih atau menyetujui mediator,” jelas Tomasz Johnson dari EIA kepada Mongabay. “Kalau anda sudah tidak percaya [dengan proses mediasi yang terjadi] bagaimana anda akan dapat memperoleh resolusi yang sejati.”

“Fakta RSPO dan First Resources sepakat menunjuk LINKS mencerminkan pendekatan seperti apa yang akan mereka lakukan dalam proses ini. Apa yang terjadi dalam kasus Muara Tae tidak pernah sepenuhnya sebuah proses konsultasi. Baik itu di awal beroperasinya pembukaan kebun atau dalam proses pengaduan ini.”

Johnson mengatakan meski Muara Tae menarik diri, EIA tidak berniat menutup aduan atau menarik diri. Meski tanpa keterlibatan Muara Tae, proses ini tampaknya akan mencapai “dead lock”.

Pihak EIA coba mencari jalan lain, yaitu lewat campur tangan pembeli minyak sawit First Resources dan TSH Resources, yaitu perusahaan Singapura, Wilmar International Ltd.

Wilmar adalah salah satu perusahaan yang menyerukan praktek stop deforestasi dari rantai pasokan minyak sawitnya. EIA mendekati Wilmar lewat The Forest Trust (TFT), konsultan yang membantu Wilmar untuk melaksanakan komitmen etiknya yaitu stop deforestasi. Komitmen ini meliputi pula tidak akan melakukan bisnis pembelian dengan pemasok yang masih memiliki lahan sengketa di wilayah kerjanya.

Pada bulan September yang lalu, EIA membawa perwakilan dari Muara Tae dan lima desa lain yang terdampak oleh perkebunan keluarga Fangiono (termasuk First Resources, salah satu miliknya), untuk berkumpul di Jakarta dan bertemu dengan TFT yang berjanji membawa kasus ini ke klien mereka.

Upaya sebelumnya untuk membawa pedagang dan konsultannya untuk kasus TSH Resources, diakui Johnson kurang berhasil. Usaha kali ini sekaligus tantangan pembuktian, apakah komitmen perusahaan sekaliber Wilmar, akan benar-benar membawa perubahan dalam keseluruhan rantai industri sawit ini.

Pada bulan Juli, dilaporkan bahwa First Resources bergabung menjadi bagian raksasa minyak sawit yang berkomitmen untuk mengeluarkan janji perubahan dalam praktik usahanya. “Seperti orang lain, kami sangat tertarik untuk menunggu implikasi dari janji mereka, yang sudah mereka ucapkan kepada publik,” jelas Dejan Lewis, manajer senior TFT mengatakan kepada Mongabay.

Andreas Singko, salah satu tetua adat Muara Tae, memegang tengkorak leluhur pada saat ritual adat 2014. Photo courtesy of Land is Life

Pada bulan September 2014, orang-orang Muara Tae yang menentang pembukaan lahan hutan oleh perusahaan sawit telah melakukan ritual, yaitu pengucapan sumpah adat sakral Dayak Benuaq yang dilakukan di pertemuan aliran sungai Pose dan Nayan.

Sumpah adat, yang merupakan dilakukan pada bagian seremoni Guguq tautn ini bukan saja ritual untuk mengutuk pihak-pihak yang dianggap telah merampas tanah Muara Tae, namun juga meminta permohonan kepada leluhur untuk melindungi alam dan meminta panen yang baik. Intinya tentang keadilan dan memohon agar masyarakat diberi ketabahan dalam melewati saat yang sulit ini.

“Ini menjadi upacara penting,” jelas Jane Brunette, salah satu penyokong ritual adat di Muara Tae. Jane telah membantu warga dalam mengumpulkan dukungan internasional untuk penyelenggaraan acara ini lewat aksi crowd funding hingga terkumpul USD 15,000. “Ini akan memberikan efek kesembuhan spiritual setelah kejadian sengketa lahan yang terjadi, ritual akan membawa orang kepada tujuan mereka dan membangkitkan rasa persatuan.”

“Mereka sangat rentan,” jelas Joseph Corcoran kepada Mongabay, sebelum penyerahan piagam Equator Prize dari UNDPdi Paris, yang diberikan kepada Petrus Asuy ayah Masrani, yang mewakili komunitas Muara Tae.

“Namun penghargaan ini juga tentang capaian yang mereka lakukan. Fakta mereka masih memiliki hutan dari mempertahankannya dari tekanan, benar-benar luar biasa. Ini yang kami beri apresiasi tinggi.”

Bagi Masrani, penyelamatan hutan milik komunitas tidak dapat dilakukan selain bekerja bersama-sama, bergandengan tangan dengan komunitas lain yang memiliki masalah yang sama.

“Kita yang sama-sama senasib, sama-sama korban dari perusahaan perlu kerjasama agar lebih kuat menghadapi perusahaan ini. Saya juga ingin kita bisa mempelajari modus perusahaan dalam mengambil tanah-tanah masyarakat. Ada satu modus yang sama yang dilakukan perusahaan di setiap kampung,” Masrani menyebutkan. Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit

Artikel asli: Inside Indonesia’s highest-profile land conflict. Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,