,

Sudahlah Harga Garam Rakyat Rendah, Petambak Makin Terdesak Impor Pula…

Terik matahari menyengat kulit. Tatapan mata Mustofa, petambak garam di Juwana, Kabupaten Pati, tertuju pada kolam-kolam garam miliknya. Hari itu, Senin, (30/11/15), dia menunggu orang yang akan membeli garam. “Sekilogram cuma Rp370, kalah dengan harga satu bungkus permen,” katanya.

Harga garam tak pernah ada kejelasan dan standar tetap. Kala harga baik, bisa Rp700, saat musim garam bisa Rp200 per kg. Pemerintah, (Kementerian Kelautan dan Perikanan), katanya, berjanji tak akan impor garam, tetapi Kementerian Perdagangan memberlakukan aturan impor garam. Yakni, Peraturan Menteri Perdagangan No 58 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam.

“Tak ada impor garam harga rendah, apalagi ada impor, tentu petambak makin menderita.”

Priyanto, pelaku usaha garam di pesisir pantai utara, Batangan, Pati, punya keluhan sama. Sejak 1990, dia berbisnis garam kecil-kecilan. Dia merasakan dampak setiap kebijakan impor garam oleh pemerintah, yakni harga jatuh. Saat ini, harga garam putih super hanya Rp500, kualitas sedang Rp480 per kg.

“Banyak garam produksi perumahan, namun tidak ada kesepakatan harga. Tidak ada bantuan dan pembinaan kepada pengusaha rumahan seperti kami,” katanya.

Priyanto berharap, pemerintahan ini tidak lagi impor garam danmemberdayakan petani dan pengusaha rumahan lalu buat kebijakan pro masyarakat kecil.

Misbahul Munir, Ketua Departemen Penggalangan dan Partisipasi Publik, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, kebijakan garam impor membunuh kehidupan petambak garam dalam negeri. KNTI, katanya, mendesak pemerintah serius memperhatikan nasib petambak dan mewujudkan kedaulatan garam.

“Sudah setahun lebih kinerja pemerintahan belum ada tanda-tanda keseriusan memperbaiki nasib petambak garam dalam negeri,” katanya.

Hingga kini, kebijakan impor garam makin tak terkendali, hingga melumpuhkan harga dan produksi garam, seperti garam di Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban dan Madura, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan daerah lain, harga garam di bawah Rp250.

Dia mengatakan, persoalan klasik dalam ketimpangan tata niaga garam dalam negeri, PT. Garam Indonesia, abai menyerap pasokan rakyat 500 ribu ton per tahun dari saat panen. Kalau hanya kebutuhan nasional satu juta ton garam industri, pemerintah tak perlu mengimpor. Dengan produksi hingga 2 juta ton selama 1,4 tahun garam krosos kualitas terbaik dari petambak sudah cukup.

“Impor garam tinggi merusak akal sehat kita sebagai negara kepulauan-tropis terbesar di dunia,” kata Munir.

Untuk itu, KNTI mengusulkan pemerintah memberi dukungan penguatan hulu-hilir pengelolaan garam nasional. Caranya, memasukkan sentra-sentra garam sebagai kawasan khusus terpadu ke tata ruang yang wajib dilindungi dari perusakan lingkungan. Lalu, perlu pemberian insentif berupa kemudahan modal dan teknologi kepada organinasi petambak garam mendorong kemandirian, inovasi, dan keberlanjutan dalam pengelolaan. Juga mempermudah akses pelatihan, permodalan, dan pasar menguntungkan bagi petambak, serta memperketat regulasi impor garam dengan sanksi berat terhadap berbagai pelanggaran.

“Tak terkoordinasinya Menperindag dan Menteri Kelautan dalam carut marut urusan swasembada garam, Presiden harus mengambil kepemimpinan. Apalagi petambak garam mulai produksi dengan geoisolator.”

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad menyebutkan, ada oknum bermain dalam impor garam. Pasalnya, saat ini, Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi 1,4 juta ton per tahun.

Lahan tambak garam di Pesisir Pantura. Kualitas garam mereka baik dan siap bersaing dengan produk impor. Foto: Tommy Apriando
Lahan tambak garam di Pesisir Pantura. Kualitas garam mereka baik dan siap bersaing dengan produk impor. Foto: Tommy Apriando

Kenyataan, tetap ada yang bandel mengimpor garam konsumsi. “Jelas ini mematikan garam lokal. Kalau impor garam industri dimaklumi karena Indonesia belum mampu memproduksi. Kalau garam konsumsi, kita sudah lama bisa.”

Saat ini, sedikitnya 30.000 keluarga menggantungkan mata pencaharian pada produksi garam. Jika masing-masing keluarga ada lima orang, sedikitnya 150.000 terlibat dalam produksi garam nasional.

Data KKP menunjukkan kebutuhan garam nasional 4,019 juta ton terdiri 2,054 juta ton garam industri dan 1,965 juta ton garam konsumsi. Produksi garam nasional 2,553 ton garam rakyat dan 350 ribu ton dari PT Garam. Tahun 2017, target kebutuhan garam nasional naik menjadi 4,5 juta ton, 2,3 juta ton garam industri dan 2,2 juta ton konsumsi.

Produksi garam nasional diperkirakan naik menjadi 4,6 juta ton, 3,2 juta ton garam rakyat dan 1,4 juta ton PT Garam. Kualitas garam diharapkan naik, 90% garam rakyat dan 100% pabrik garam serta harga naik jadi Rp750 per kg.

Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, dari pantauan lapangan, para petambak garam mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. “Keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapai target swasembada garam dan penutupan kran impor.”

Pusat Data dan Informasi Kiara, mencatat, sejak 2010, impor garam dibandingkan produksi nasional lebih 80%. Besaran impor karena pengelolaan garam nasional terbagi di Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka beda kewenangan dan tanpa koordinasi. Belum lagi, pemberdayaan garam rakyat tak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran). Sinergi pemangku kebijakan di kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil juga lemah.

Semestinya, kata Halim, pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan berpayung hukum. Dia mencontohkan, di India, pengelolaan garam nasional terpusat di pemerintah pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Lembaga ini bertugas memastikan, petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan), beasiswa sekolah anak, tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi layak. Juga, kelengkapan alat keselamatan bekerja, jaminan harga, sepeda serta jalan menuju tambak garam yang bagus.

“Yang dilakukan Pemerintah India tidaklah sulit diterapkan di Indonesia. Tak perlu lembaga baru. Asal ada kesungguhan politik dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil hingga kran impor bisa ditutup. Petambak garam mendapatkan kesejahteraan.”

Mustofa, petambak garam di Juwana, Pati, hanya bisa pasrah dengan harga garam yang murah. Foto: Tommy Apriando
Mustofa, petambak garam di Juwana, Pati, hanya bisa pasrah dengan harga garam yang murah. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,