, ,

Antara Ekowisata Tangkahan dan Bukit Lawang

Bukit Lawang dan Tangkahan. Dua tempat di Langkat, Sumatera Utara, ini sebenarnya menawarkan konsep wisata konservasi dan alam (ekowisata). Bagaimana kondisi di lapangan?

Di ekowisata Tangkahan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), merangkul masyarakat lokal aktif mengelola dan menjaga kawasan tetap baik. Hingga menjadi daya tarik wisatawan, kebanyakan asing terutama Eropa.

Pengunjung bisa melihat kehidupan alam nan unik , dengan berbagai satwa liar. Wisatawan juga diajak patroli partisipatif dengan tim patroli ekowisata Tangkahan. Menaiki gajah Sumatera, wisatawan bisa masuk ke kawasan.

Tim patroli ekowisata Tangkahan, sebagian besar eks illegal loggers, direkrut BBTNGL menjaga kawasan, dengan mengelola ekowisata Tangkahan. Mereka tak lagi menjadi perambah, malah menjagaMereka mengelola ekowisata Tangkahan dan memberikan pendidikan konservasi pada pengunjung. Kearifan masyarakat menjaga kawasan, juga membuat Tangkahan menjadi salah satu ekowisata yang banyak diminati peneliti dari luar negeri. Baik untuk mempelajari kehidupan masyarakat lokal maupun penelitian kehidupan habitat satwa.

“Kami ingin menyampaikan, di Tangkahan, kami tidak menyajikan mass tourism, tetapi menyajikan eco tourism. Menjaga alam, bersahabat dengan alam, belajar konservasi, dan menikmati ekosistem tanpa harus merusak, memburu, atau membunuh makhluk hidup,” kata Rudi Kita Sembiring, Ketua Harian Lembaga Wisata Tangkahan, Selasa (22/12/15).

Induk dan anak gajah Sumatera di aliran Sungai Batang Serangan, Tangkahan. Ekowisata disini menawarkan pendidikan konservasi. Foto: Ayat S Karokaro
Induk dan anak gajah Sumatera di aliran Sungai Batang Serangan, Tangkahan. Ekowisata disini menawarkan pendidikan konservasi. Foto: Ayat S Karokaro

Senada dikatakan Kuswandono, Kepala Bidang Teknis Konservasi BBTNGL. Konsep mereka merangkul pembalak liar dengan melibatkan dalam pemanfaatan hutan tanpa merusak.

Tangkahan, meski di luar kawasan tetapi sangat dekat dengan TNGL. Masyarakat lokal juga mendapatkan pendidikan konservasi alamagar bisa menjelaskan kepada wisatawan kala ke Tangkahan.

Balai menempatkan tujuh gajah Sumatera yang dulu liar dari Aceh. Saat konflik di Aceh, gajah-gajah ini dikirimkan ke Tangkahan dan menjadi patroli hutan TNGL.

Itu ekowisata Tangkahan. Bagaimana ekowisata Bukit Lawang? Kala saya kesana, kondisi berbeda dengan Tangkahan. Di Bukit Lawang, penyajian wisata terbesar sungai dan menyaksikan orangutan Sumatera di TNGL.

Di luar kawasan, tampak bangunan-bangunan berdiri beberapa meter dari aliran sungai. Pada 10 Desember 2015, Bukit Lawang, terjadi banjir bandang cukup besar, menyebabkan puluhan rumah hancur. Puluhan penduduk mengungsi ke lokasi aman. Para wisatawan yang datang dan menginap juga khawatir. Beruntung, tak ada korban jiwa.

Menurut Dodi Sumardi, Kepala Sub Bahagian (Kasubag) Perencanaan dan Kerjasama BBTNGL, mengatakan, jika bicara jujur, wisata Bukit Lawang, mempunyai dampak positif dari segi pengelolaan. Wisatawan rutin datang. Namun, konsep ekowisata masih perlu pembenahan.

Dodi mengatakan, pada dasarnya ekowisata Bukit Lawang, perlu pembenahan, terutama luar kawasan hingga terjadi sinkronisasi antara ekowisata di TNGL, dengan luar kawasan masih mess tourism.

Tawaran wisata luar kawasan, katanya, jauh atau lari dari budaya lokal, malam hari ribut dengan musik serta kehidupan malam. Penataan bangunan banyak melanggar kaedah-kaedah lingkungan hidup dan pariwisata alam.

“Inilah masalah dan kendala koordinasi dengan pihak terkait. Regulasi pengelolaan pariwisata luar kawasan di tangan pemerintah daerah, Pemerintah Langkat. BBTNGL ingin mengajak membuat regulasi sejalan dengan pengembangan ekowisata Bukit Lawang, ” kata Dodi.

Ini gambaran bangunan yang berdiri di dekat aliran Sungai Bukit Lawang hancur dihantam banjir bandang 10 Desember 2015. Foto: Ayat S Karokaro
Ini gambaran bangunan yang berdiri di dekat aliran Sungai Bukit Lawang hancur dihantam banjir bandang 10 Desember 2015. Foto: Ayat S Karokaro

Ekowisata, katanya, meskipun mungkin pengunjung lebih sedikit tetapi bisa memberikan nilai pendidikan lebih besar masyarakat atau wisatawan. Jadi, pembenahan konsep ekowisata ini bukan wacana, tetapi harus dimulai dari sekarang.

Dia menyadari, mengubah pola ini bukan pekerjaan mudah tetapi harus segera dilakukan agar tak berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan Bukit Lawang, yang selama ini menjual wisata sungai, dan melihat orangutan Sumatera di TNGL. Jika nilai-nilai konservasi tak ditanamkan, katanya, akan terjadi kerusakan alam.

“BBTNGL ingin mengajak pemerintah daerah memegang aturan main wisata di luar kawasan. Membuat regulasi dan penataan kembali pariwisata Bukit Lawang, demi masa depan pariwisata dan TNGL.”

Penginapan dan sarana lain harus ditata kembali. “Kalau yang sekarang cukup merusak tatanan kehidupan dan merusak lingkungan. Lihat saja bagaimana bisa bangunan berdiri di bibir sungai. Ini merusak. Pemerintah daerah yang mengelola harus membuat regulasi baru soal konsep ekowisata disini.”

Pengelolaan bangunan kurang baik di kawasan ekowiata Bukit Lawang. Saat banjir bandang 10 Desember 2015. Puluhan bangunan ini hancur dihantam banjir. Foto: Ayat S Karokaro
Pengelolaan bangunan kurang baik di kawasan ekowiata Bukit Lawang. Saat banjir bandang 10 Desember 2015. Puluhan bangunan ini hancur dihantam banjir. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,