Selama lima belas tahun terakhir warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Daratei Mataloko mengeluhkan bau belerang yang muncul dari asal sumur pemboran, setidaknya ini dirasakan oleh warga desa Ulubelu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada.
Sumur berdiameter 5 meter mengeluarkan bau belerang yang amat menyengat. Pada musim hujan lumpur lengket pun menggenangi jalan yang biasa dilalui oleh warga.
Menurut warga, masalah ini telah berlangsung lama, saat pengeboran dilakukan pada tahun 2000. “Jika angin bertiup ke arah rumah kami maka kami akan mencium bau gas yang sangat menyengat. Tapi jika angin bertiup ke arah lain bau gas masih tercium, tapi tidak terlalu menyengat,“ tutur Gregorius Dadu, salah seorang warga Ulubelu.
Beberapa warga juga mengeluhkan dampak asap belerang terhadap tanaman warga, seperti cengkeh, kopi dan kakao. Selain itu, asap belerang berdampak korosif terhadap atap rumah warga. Atap rumah warga yang berjarak 100-500 meter dari lokasi proyek yang rata-rata terbuat dari bahan seng menjadi semakin cepat rusak dan berlubang, bahkan perlu diganti dua tiga tahun sekali.
“Sejak ada sumur yang keluar asap dan lumpur, atap seng rumah kami sering rusak. Kalau malam dingin sekali, seng rumah kami bocor dan tidak bisa diganti karena tidak ada uang,“ sebut Katharina, salah satu warga desa menuturkan.
Proyek yang Berjalan Tertatih-Tatih
Berdasarkan laporan Wakil Bupati Ngada, Paulus Soliwoa dalam rapat bersama Komnas HAM, tanggal 30 April 2015 awalnya PLTP Daratei merupakan proyek kerjasama penelitian antara Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral (DJGSM) Kementerian ESDM bekerjasama dengan pemerintah Jepang, yang diwakili NEDO dan Geological Survey of Japan (GSJ) untuk pengembangan listrik dari panas bumi.
Pada tahun 2004, MoU ditandatangani antara pihak DJGSM, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) dan PT PLN. Namun dalam perjalanan waktu, proyek PLTP Daratei Matakolo yang dirancang berkapasitas 2,5 MW ini mengalami penundaan akibat kendala teknis, termasuk kendala konstruksi stream gathering dan kekurangan pasokan uap dari sumur produksi yang ada, serta bermasalah dengan pendanaan yang dibutuhkan.
Selanjutnya, dalam suratnya November 2007, Bupati Ngada mengusulkan agar pemerintah pusat dapat membentuk tim khusus untuk mempercepat pemanfaatan energi panas bumi.
Bupati mengusulkan agar swasta diundang untuk menyelesaikan pilot proyek melalui lelang terbuka. Disebutkan bahwa selama satu tahun penundaan operasi (November 2006-2007) opportunity losses dari PLTP Daratei setara dengan 17,5 Gwh. Di sisi lain, defisit listrik terus terjadi di wilayah. Gubernur NTT pada bulan Oktober 2007 mengeluarkan surat usulan bagi penetapan lokasi Daratei Mataloko sebagai wilayah pertambangan panas bumi.
Menindaklanjuti, Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi, ESDM pada Februari 2008 menyampaikan laporan bahwa pengujian ulang sumur MT 3 dan MT 5 di Daratei terkendala, akibat pengadaan alat uji lapangan untuk sampling dan analisis kimia tidak tersedia.
Menteri ESDM melalui Kepmen Nomor 2199/K/30/MEM/2010 tanggal 03 Agustus 2010 menugaskan PLN Geothermal untuk melaksanakan kegiatan survey pendahuluan di Daratei. Menteri ESDM lewat keputusan nomor 1152/K/30/MEM/2011 tanggal 21 April 2011 menetapkan wilayah kerja panas bumi Daratei Mataloko.
Dari fakta lapangan disebutkan dari enam sumur, sumur MT1 (2000) dan sumur MT4 (2004) tidak termanfaatkan. Sumur yang dimanfaatkan hanya sumur MT2 (2000) sumur MT3 (2004), sumur MT5 (2005) dan sumur MT6 (2005). Setelah penutupan sumur pertama, timbul titik uap panas dan sejak tahun 2013 PLTP Daratei tidak beroperasi karena gangguan turbin dan alat bantunya.
Dari hasil pengawasan lingkungan terhadap pemantauan udara dan kualitas air disekitar PLTP Daratei Mataloko tahun 2012 dan 2014 oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Ngada disebutkan kondisi udara dan air di sekitar lokasi kegiatan masih dikategorikan layak bagi masyarakat. Dalam laporan ini disebutkan bahwa proyek tidak berdampak lingkungan signifikan kepada masyarakat sekitar. Disebutkan baku mutu udara tidak melampaui standard yang ditetapkan.
Meskipun demikian, bagi masyarakat kerugian akibat dampak proyek telah merugikan mereka. Demikian pula, selama ini tidak ada perhatian serius dari pemerintah daerah, serta pihak berwenang lainnya. Pada tahun 2012, terdapat kunjungan dari DPRD Ngada untuk bertemu dengan masyarakat yang terdampak uap belerang. Namun tidak ada bantuan yang diberikan. Bantuan dari pihak Bupati Ngada hanya sekali, saat memberikan beras, mie instan dan ikan kaleng bagi warga.