,

Catatan 2015 : Perlindungan Nelayan Masih Lemah

Sepanjang 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk melindungi sumber daya laut Indonesia. Di antara kebijakan tersebut, adalah moratorium kapal eks asing dan pelarangan alat tangkap yang merusak lingkungan ekosistem laut.

Selama setahun dilaksanakan kebijakan moratorium eks kapal asing melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, kondisi perikanan di Tanah Air dinilai membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim. Menurut dia, apa yang dilakukan Susi beserta jajarannya sudah menjadi langkah taktis yang sangat baik. Terbukti, kapal-kapal asing yang sebelumnya bisa bebas melaut dan mengambil ikan di lautan Indonesia, kini sudah tak bisa lagi.

Kebijakan tersebut, didukung dengan kebijakan pelarangan sejumlah alat tangkap yang dinilai bisa mengancam dan atau merusak ekosistem laut. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri No.2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Pukat Harimau (Trawl), Pukat Tarik, dan Pukat Hela di Perairan Indonesia.

Tidak cukup disitu, untuk memperkuat pengawasan kebijakan yang sedang berjalan tersebut, KKP membentuk tim Satuan Tugas Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang dikepalai Mas Achmad Santosa. Kehadiran tim tersebut, menjadi pelengkap kebijakan yang dibuat Susi Pudjiastuti yang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam sebuah wawancara dengan Mongabay, Susi Pudjiastuti mengklaim bahwa perikanan Indonesia mengalami perbaikan setelah kebijakan moratorium diberlakukan. Dia mengklaim, berbagai indikator ekonomi kelautan dan perikanan juga ikut meningkat sebagai dampak positif dari kebijakan tersebut.

“Ini menjadi bukti bahwa pemberantasan illegal fishing mulai membuahkan hasil. Kita akan terus menjaga dan memastikan bahwa sumber daya laut kita akan bermanfaat untuk kita semua, bukan untuk warga dari negara lain,” tutur dia.

Perlindungan Nelayan

Akan tetapi, walau dinilai sudah mengalami kemajuan signifikan, sektor perikanan dan kelautan Tanah Air saat ini masih berjalan di tempat terkait perlindungan terhadap nelayan. Padahal, menurut Abdul Halim, nelayan, terutama nelayan tradisional adalah ruh dari sektor perikanan dan kelautan.

“Negara tidak pernah sungguh-sungguh memberikan perlindungan. Ini yang menjadi masalah dan belum juga terpecahkan hingga sekarang,” ungkap dia.

Abdul Halim menjelaskan, nasib nelayan di Indonesia berbeda jauh dengan nelayan di negeri tetangga, Malaysia. DI sana, nelayan dilindungi hak-haknya sehingga bisa tetap bertahan dan stabil saat cuaca tidak menentu di laut.

Nelayan kecil, yang kerab menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando
Nelayan kecil, yang kerab menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando

Cuaca, kata dia, berpengaruh banyak pada nasib nelayan. Jika cuaca bagus, maka nelayan bisa mencari ikan dan menangkapnya sebanyak mungkin. Tetapi, jika cuaca tidak bagus, maka nelayan nasibnya akan tak jelas karena tak bisa melaut. Itu membuat penghasilan nelayan menjadi tertahan.

Karena itu, perlindungan nelayan mutlak diberikan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Dia mencontohkan, nelayan di Malaysia sudah mendapatkan tunjangan dengan nilai lumayan per bulan. Selain itu, nelayan negeri jiran juga mendapat perlindungan kesehatan, subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan jaminan perbaikan kapal karena bencana.

KKP sendiri seperti merespon apa  yang dikritik oleh KIARA dan LSM lain. Salah satunya, dengan meluncurkan kartu dari Badan Perlindungan Jaminan Kesehatan (BPJS) khusus untuk nelayan. Bekerja sama dengan lembaga dan kementerian lain, program tersebut baru diluncurkan, sebagai bentuk kepedulian Pemerintah kepada nelayan.

Tidak cukup disitu, pada medio November 2015, KKP juga menerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Permen tersebut tujuannya juga untuk melindungi nasib nelayan saat menjalankan tugasnya di lautan.

“Kita sadar kalau profesi nelayan ataupun pekerja kapal sangatlah rentan. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan laut yang luas. Dengan adanya Permen ini diharapkan semua masalah yang selama ini menyerang pekerja di laut bisa terlindungi,” ucap Susi.

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye
Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Dia menjelaskan, latar belakang dibuatnya Permen HAM, tidak lain karena dia mendapati kenyataan bahwa masih banyak pekerja di sektor perikanan yang ada di laut lepas belum mendapat perlindungan penuh. Padahal, profesi mereka adalah profesi yang berbahaya dan memiliki ritme kerja yang berat.

“Pekerja kita itu kenyataannya tidak hanya bekerja sebagai nelayan atau ABK (anak buah kapal) di dalam negeri saja, tapi banyak juga yang bekerja di luar (negeri) untuk kapal asing. Ini yang harus dilindungi oleh kita, oleh Negara,” tutur dia.

Faktor Penghambat

Seperti halnya KIARA, pengakuan juga datang dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) atas kinerja KKP selama setahun terakhir. Momentum pemberantasan illegal fishing, dinilai menjadi titik kebangkitan sektor perikanan dan kelautan  Indonesia.

Namun, menurut Wakil Sekretaris Jenderal KNTI Niko Amrullah, walau ada dampak positif, masih ada kendala yang belum bisa dipecahkan oleh KKP. Kata dia, ada enam hal yang masih menghambat kinerja KKP di sektor kelautan dan perikanan.

Pertama, partisipasi masyarakat nelayan dalam inisiasi program dan kebijakan perikanan dan kelautan masih dikesampingkan. Kedua, perubahan iklim dan cuaca ekstrem semakin panjang periodenya. Ketiga, akses terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan kepada nelayan, seperti dijanjikan pemerintah, belum benar-benar terealisasi di lapangan.

“Keempat, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di laut terbilang rendah. Kelima, harga input produksi semacam BBM dan pakan ikan di kampung-kampung nelayan masih belum terkendali. Keenam, munculnya perlawanan balik dari sederet perusahaan perikanan yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah di 2015,“ ungkap Niko.

Proyeksi 2016

Menghadapi tahun 2016, KKP harus bekerja ekstra keras untuk bisa menggenjot produksi sektor perikanan dan kelautan. Meski akan digulirkan program pembagian 3.500 kapal untuk nelayan, tetapi KNTI tidak menjamin itu bisa mendorong perbaikan kinerja lebih baik dari 2015.

Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan DPP KNTI Martin Hadiwinata mengungkapkan, untuk menggenjot produksi perikanan tangkap di 2016 terbilang sulit. Selain karena kapasitas tangkapannya sudah terbilang over eksploitasi, ada persoalan kelembagaan perikanan tangkap yang belum tuntas.

“Misalnya, alokasi perijinan dan skema perijinan baru yang tersosialisasikan. Pengukuran ulang kapal ikan yang belum tuntas, sedangkan di lain hal  terdapat bantuan lebih dari 3.000 kapal masih akan membutuhkan waktu untuk pembangunannya,” ujar dia.

“Sebagai alternatif, peningkatan produksi perikanan dapat di pasok dari sub sektor perikanan budidaya. Idealnya, peningkatan produksi perikanan budidaya di 2016 dapat meningkat 3 kali atau bahkan 4 kali lebih besar dari produksi perikanan tangkap di 2014,“ tambah dia.

Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF
Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF

Sebagai prasyaratnya, lanjut Martin, pemerintah harus memastikan harga pakan terkendali, tersedia benih yang berkualitas, serta di dukung dengan lingkungan perairan yang sehat. Komoditas udang dan tuna masih akan mendapati proporsi terbesar dalam ekspor perikanan di 2016.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,