Ribuan nelayan di Pulau Bangka, akan aksi damai di Kantor Gubernur Bangka Belitung pada Selasa (29/12/15). Para nelayan ini protes tambang timah yang merusak ekosistem laut hingga mengancam mata pencarian nelayan. Mereka menuntut pemerintah memoratorium izin pertambangan laut di Bangka.
“Besok kami, masyarakat dan nelayan bersama Walhi Babel dan pemuda mahasiswa unjuk rasa ke Kantor Gubernur. Kami mendesak gubernur mematuhi dan menjalankan mandat masyarakat dan nelayan untuk memoratorium tambang laut,” kata Ketua Forum Masyarakat dan Nelayan Bangka, Syamsu Budiman, Senin (28/12/15).
Tuntutan mereka dalam aksi ini, antara lain, menolak segala bentuk tambang laut, mendesak pemerintah mencabut izin tambang laut, penetapan tata ruang, secepatnya rehabilitasi lahan eks tambang laut, dan pemulihan lahan eks tambang baik di laut maupun di darat.
Aksi ini, katanya, melibatkan sekitar 2.000 massa dari berbagai wilayah di Pulau Bangka, bahkan dari Belitung dan Belitung Timur juga bergabung. “Mereka memberikan dukungan untuk masyarakat Pulau Bangka. Masalah tambang ini bukan hanya masalah Bangka tetapi Babel.”
Dia mengajak, seluruh lapisan masyarakat mendukung aksi ini. “Saya yakin semua masyarakat Babel masih ingin melihat pantai indah, masih ingin melihat ekosistem alam terjaga. Kalau bukan kita yang menjaga siapa lagi? Yang merusak lingkungan, itu harus kita sadarkan, bahwa mereka sudah salah,” tegasnya.
Dia juga menegaskan, nelayan menolak segala bentuk ‘bujuk rayu’ dari pemerintah maupun pengusaha penambang lewat kata-kata kompensasi, ganti rugi, dan lain-lain. “Itu membodohi masyarakat.”
Nilai kompensasi atau apapun istilah bujuk rayu itu, katanya, terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak buruk yang akan dihadapi dan diterima masyarakat maupun generasi mendatang kala lingkungan, darat maupun laut rusak.
Kapal isap marak, nelayan makin terdesak
Saat ini, 70 lebih jumlah kapal isap beroperasi di Perairan Bangka. Laut menjadi padat aktivitas kapal isap. Setidaknya, 16.000 nelayan harian dari 45.000 nelayan terkena dampak langsung. “Hasil tangkap ikan mulai menurun dan makin jauh, lebih lima mil baru mendapatkan ikan lebih banyak. Mata pencaharian mereka terancam,” kata Ratno Budi, biasa disapa Uday, Direktur Eksekutif Walhi Babel.
Masyarakat dan nelayan, katanya, berulang kali protes menolak keberadaan tambang timah laut ini. Namun, kapal-kapal isap, kapal keruk sampai pontoh-pontoh ‘penyedot’ timah itu masih terus beroperasi.
Kapal isap makin mendekat ke pantai, wilayah tangkap nelayan makin sempit. Mereka harus menangkap jauh ke tengah laut untuk mendapatkan ikan. Kondisi ini, katanya, sangat memberatkan nelayan kecil karena biaya operasional mereka jadi tinggi. “Ikan makin sulit ditangkap karena ekosistem laut rusak.”
Uday mengatakan, kapal isap timah laut ini tak hanya menyulitkan petani, juga menimbulkan sedimentasi cukup parah. Karena gelombang laut bergerak dinamis, sedimentasi menyebar ke seluruh Perairan Bangka Belitung dan sekitar. Tak pelak, pemutihan karang (coral bleaching), terjadi.
“Terumbu karang ekosistem penting laut, keberlangsungan rantai atau piramida kehidupan laut. Belum lagi tumpahan minyak, oli atau bahan kimia lain dari kapal isap termasuk sampah logistik akan menggangu ekosistem laut,” ujar dia.
Masalah besar lain dengan ada tambang laut ini, terbuka potensi konflik horizontal antarwarga maupun dengan perusahaan. Perubahan atau pergeseran nilai-nilai tradisi lokal dan ekonomi produksi penduduk sekitar pertambangan, katanya, dapat menimbulkan persinggungan antarwarga.
Kepulauan Bangka Belitung merupakan satu dari provinsi di Indonesia yang memiliki ratusan pulau-pulau kecil. Bangka Belitung dengan luas 1.642.406 km persegi memiliki 950 pulau, lebih dari setengah tak memiliki nama.
Pulau-pulau ini, katanya, krisis lingkungan luar biasa terutama dua pulau besar Bangka dan Belitung. “Tambang problem yang terus berlangsung. Sejak dikuasai Kolonial Belanda hingga hari ini.”