Bencana perubahan iklim terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dari kenaikan muka air laut, genangan banjir dataran rendah, erosi pantai, sampai banjir dan gelombang ekstrim. Namun, sumber daya manusia (SDM) yang menanggulangi bencana sangat minim. Demikian dikatakan Ketua Magister Manajemen Bencana Universitas Gajah Mada (UGM), Sudibyakto.
Indonesia, katanya, memiliki risiko bencana sangat tinggi, namun ketersediaan SDM bidang penanggulangan bencana sangat terbatas. “SDM tidak sebanding dengan risiko bencana,” katanya, dalam peluncuran minat studi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim UGM, Rabu, baru-baru ini.
Kini, katanya, terjadi ketimpangan antara ancaman bencana dan ketersediaan SDM bidang menajemen bencana. Sudibyakto memperkirakan, dalam 15 tahun ke depan, Indonesia membutuhkan SDM manajemen bencana 1.500 sarjana, 250 magister dan 50 doktor.
Dia juga menyoroti, komitmen pemerintah daerah minim alias tak masuk prioritas dalam mengalokasikan dana penanggulangan bencana. “Kondisi ini menyebabkan kegiatan pengurangan risiko bencana di daerah tidak terencana baik.”
Achmad Poernomo, Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengatakan, risiko bencana dampak perubahan iklim yang perlu diantisipasi, seperti kenaikan muka air laut. Menurut para ahli, pada 2050, akan ada kenaikan muka air laut setinggi 90 cm jadi bisa menenggelamkan 2.000 pulau kecil di Indonesia.
“Apabila itu terjadi, ada 2.000 pulau tenggelam, 42 juta rumah pinggir pantai akan hilang,” katanya.
Dampak lain, katanya, ketidakpastian musim dalam penangkapan ikan. Saat ini, ada perubahan migrasi dan jumlah ikan terdampar makin banyak. Bencana dampak perubahan iklim ini, perlu ditanggulangi dan pemerintah dan masyarakat lewat pembangunan berkelanjutan. “Menteri KKP sudah menulis surat kepada seluruh kepala daerah untuk mengelola sumber daya secara berkelanjutan.”
Revisi tata ruang
Sudibyakto mengatakan, kondisi Indonesia yang rawan bencana, menuntut revisi tata ruang berbasis risiko. “Risiko tergolong tinggi, selain banyak bahaya, juga penduduk rentan bencana meningkat.”
Secara demografi, katanya, penduduk Indonesia tinggal di kawasan bencana meningkat, baik pemukiman sepanjang aliran sungai, daerah pesisir, maupun daerah tangkapan air bagian hulu. Letak Indonesia, antara pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, menyebabkan jalur subduksi aktif menimbulkan frekuensi kegempaan tinggi.
Secara geografis, Indonesia daerah tropika basah, hingga berpotensi hujan dengan intensitas tinggi. Potensi ini didukung ancaman badai tropis di utara Australia dan Filipina, hingga berpotensi banjir dan gelombang laut tinggi.Sisi geomorfologi dan hidrologi, katanya, Indonesia rawan berbagai bencana alam.
Kondisi ini, berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi besar, hingga perlu revisi tata ruang berbasis risiko bencana dan pengembangan pendidikan maupun pelatihan kebencanaan. “Tata ruang di Indonesia belum banyak memperhatikan risiko bencana,” kata Sudibyakto.
Tata ruang laut nasional
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Arif Havas Oegroseno mengatakan, pemerintah tengah menyusun rencana tata ruang laut nasional.
Penyusunan ini, diharapkan menciptakan sistem tata kelautan yang mendukung visi bangsa menjadi poros maritim dunia. “Masih tahapan mendengarkan masukan masyarakat, thing thank dan menyusun dasar hukum,” katanya.
Indonesia belum mempunyai tata ruang laut nasional hingga banyak tumpang tindih antarkepentingan dan merugikan rakyat. Yang ada, katanya, baru tata ruang darat dan kota, hingga minim bicara soal laut. “Misal, tata ruang Jakarta, Kepulauan Seribu, sudah diperhitungkan sebagai bagian administrasi, tetapi belum melihat perspektif lebih luas lagi. Pembangunan tak beraturan karena tidak ada zonasi jelas,”kata Arif.
Dengan penyusunan tata ruang, katanya, dapat tercipta sinergi pembangunan dan pemanfaatan kekayaan laut. Aturan tata ruang ini, akan menjadi rujukan pemerintah dan swasta dalam memanfaatkan perairan Indonesia.
“Tata ruang laut harus segera disusun karena banyak kegiatan berdampak ke laut dan tidak diatur baik. Banyak kegiatan ekonomi dilakukan di laut.”
Dia mencontohkan, pembuatan pelabuhan maupun galangan kapal belum memperhatikan zonasi hingga bisa merusak kabel bawah laut. Padahal, 98% komunikasi suara dan data melalui kabel bawah laut.
“Kabel bawah laut banyak rusak karena terkena jangkar dan dicuri. Di Riau, 31 kilometer kabel dipotong dikira tembaga hingga komunikasi terputus dalam beberapa waktu.”
Zonasi tak jelas juga mengganggu pariwisata. Tak sedikit, katanya, swasta mendirikan industri pada wisata pesisir. “Percuma kita promosikan wisata pantai, tetapi banyak industri membuang limbah ke laut.”