Tahun 2015, hampir berlalu. Berbagai peristiwa lingkungan mewarnai dari awal hingga akhir tahun. Dari catatan singkat ini, Mongabay, membuat kilas balik momen-momen penting dari kejadian berupa bencana banjir, kebakaran, longsor dan lain-lain sampai kebijakan pemerintah maupun keputusan-keputusan hukum,dari Januari hingga Desember 2015.
Januari 2015:
Bak langganan tahunan, awal tahun baru, Januari 2015, disambut dengan banjir terjadi di berbagai daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara. Di Langkat Sumatera Utara, ribuan rumah warga terendam banjir. Banjir terus berlanjut sampai Februari 2015, Jakarta, juga salah satu daerah yang tak luput dari genangan banjir baik karena hujan deras maupun luapan sungai.
Peristiwa lain yang cukup menimbulkan banyak perhatian berbagai kalangan kala Presiden Joko Widodo baru beberapa bulan duduk, yakni, penghapusan BP REDD+ dan DNPI pada 23 Januari 2015. Hari itu, Presiden menandatangani Peraturan Presiden mengenai struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lewat Peraturan Presiden No 16 Tahun 2015. Dalam struktur baru yang memiliki sembilan direktorat jenderal ini, disebutkan BP REDD+ dan DNPI lebur ke kementerian ini.
Poin buat kedua lembaga ini tercantum dalam Pasal 59, yang menyebutkan, tugas dan fungsi penurunan emisi gas rumah yang diselenggarakan Badan Pengelola REDD+, sesuai Presiden Nomor 62 Tahun 2013 diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.
Begitu juga DNPI. Perpres itu menyatakan, tugas dan fungsi perumusan kebijakan dan koordinasi kebijakan pengendalian perubahan iklim oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagaimana diatur PP Nomor 46 Tahun 2008 menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.
Februari 2015:
Pada Februari 2015, Balai TNGL, membongkar jaringan pembalakan liar di Leuser. Polisi Kehutanan (Polhut) Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, menangkap dua tersangka diduga jaringan illegal logging di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pada Jumat (13/2/15). Dua tersangka, berinisial R (54) dan F (32) dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Berita duka datang dari petani Tebo, Jambi, pada penghujung Februari 2015. Seorang anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Jambi, Indra Pelani (23) ditemukan tewas mengenaskan dengan tangan terikat dan badan penuh luka memar setelah 17 jam hilang pada Sabtu (28/2/15). Indra tewas setelah dikeroyok tujuh anggota keamanan PT Wira Karya Sakti, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), Jumat(27/2/15).
Maret 2015:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, rapat kerja nasional di Sorong, Papua Barat. Hadir saat itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atururi, dan jajaran pimpinan daerah Papua Barat. Juga Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri. Kala itu, Mendagri, berjanji akan mempercepat pengakuan dan perlindugnan kepada masyarakat adat di Indonesia, salah satu lewat mengakomodir peta-peta wilayah adat partisipatif.
Maret ini jadi hari bersejarah bagi warga Pati. Ratusan warga dari empat desa yakni Larangan, Mojomulyo, Karangawen dan Tambakrono, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada Rabu (4/3/15) mengantar lima warga dari dua Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang yang menggugat surat keputusan Bupati Pati nomor 660.1/4767 tentang izin lingkungan pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping dan batu lempung di Kabupaten Pati oleh PT. Sahabat Mulia Saksi (SMS).
Masih bulan sama, di Bali Rabu (12/3/15), perusahaan gencar “sosialisasi” rencana reklamasi Teluk Benoa. Penolakan warga terus terjadi, termasuk oleh Pemerintah Denpasar.
April 2015:
Bulan ini, peristiwa lingkungan salah satu, kematian beberapa gajah di Aceh. Bulan ini, dua gajah sumatera ditemukan mati di Provinsi Aceh. Kasus pertama terjadi 13 April di Kabupaten Aceh Barat dan yang kedua pada 20 April di Kabupaten Aceh Timur.
Gajah jantan dewasa yang ditemukan di Desa Kareung Hampa, Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat, kondisi memprihatinkan dengan gading hilang dan belalai terpisah dari kepala. Sementara, gajah jantan yang mati di Desa Seumah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, karena kaki kanan terluka parah akibat terkena jerat.
Berita baik juga ada di bulan ini, masih dari Aceh. Yakni, pemusnahan tiga rubu hektar kebun sawit yang berada di Leuser. Pemusnahan tiga ribu hektar kebun sawit yang masuk hutan lindung di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, guna mengembalikan fungsinya semula sebagai hutan alam ini, sebenarnya dimulai sejak 29 September 2014.
Pada bulan ini, kabar baik juga datang dari Sumut. Mabes Polri bersama Wildlife Conservation Society (WCS), berhasil membongkar perdagangan trenggiling Kamis (23/4/15) di sebuah gudang Kawasan Industri, Kompleks Niaga Malindo, Medan, Sumatera Utara. Seorang pria menjadi tersangka dan barang bukti sitaan, yaitu 3.400 kg atau tiga ton lebih daging trenggiling sudah dikuliti. Juga 96 trenggiling hidup. Mereka ditemukan di kandang plastik ukuran 1×80 meter. Juga ditemukan sisik trenggiling 70 kg.
Dari Rembang, pada April 2015, mungkin jadi salah satu cerita sedih. Pada Kamis (16/4/15), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah menolak gugatan warga terhadap pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng untuk penambangan dan pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.
Mei 2015:
Kisah sedih kembali terjadi pada Mei 2015. Pada Senin (5/5/15) pukul 14.30 terjadi longsor di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi, PT Star Energy Geothermal Ltd Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Longsor menyebabkan 11 rumah warga rusak dan enam tertimbun tanah serta lima orang meninggal dunia.
Peristiwa penting lain pada bulan ini, adalah perpanjangan kebijakan moratorium izin hutan dan lahan oleh pemerintah kali ketiga. Bertepatan dengan masa akhir Inpres No 6 Tahun 2013, soal moratorium izin hutan dan lahan gambut, Presiden Joko Widodo, sudah menandatangani perpanjangan kebijakan ini pada Rabu (13/5/15).
Pada bulan ini lembaga pendanaan sawit juga terbentuk. Peraturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 18 Mei 2015 berbicara soal penghimpunan dana bersumber dari pelaku usaha perkebunan sawit, lembaga pembiayaan, dana masyarakat dan dana-dana lain yang sah. Kutipan dana kepada perusahaan perkebunan sawit berupa pungutan ekspor sawit atau turunan dan iuran. Kewajiban ini hanya buat perusahaan perkebunan sawit bukan pekebun sawit.
Mereka yang wajib membayar pungutan ekspor ini adalah pelaku usaha ekspor komoditas perkebunan sawit atau turunan, industri berbahan baku hasil perkebunan sawit dan eksportir sawit atau turunan.
Juni 2015:
Awal Juni 2015, dimulai dengan ‘niat baik’ perusahaan yang berkomitmen memperbaiki kondisi lingkungan. Produsen raksasa pulp dan paper, APRIL, Rabu (3/6/15) menyatakan komitmen sesi kedua, untuk menghilangkan deforestasi dalam rantai pasokan mereka dan menghargai hak-hak masyarakat. Komitmen serupa juga dilakukan induk perusahaan, Royal Golden Eagle (RGE) hingga berlaku bagi perusahaan pulp dan kertas dalam grup ini. Berbagai kalangan merespon positif langkah APRIL dan RGE, meskipun semua masih menanti implementasi di lapangan. Meskipun tak lahan setelah pengumuman komitmen ini, Eyes on The Forest langsung merilis pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Juli 2015:
Pada Juli ini kembali pembalak liar ditangkap oleh Balai TNGL. Namun, kali ini mereka nekad melawan petugas. Perlawanan para pembalak liar ini terjadi Senin (6/7/15), saat petugas patroli di blok hutan Pantai Buaya, Resort Sei Betung, Desa Bukit Mas, Besitang, Langkat. Saat menangkap empat penebang kayu di TNGL, petugas patroli berjumlah 10 orang, dihadang sedikitnya 50 orang.
Mereka menggunakan senjata tajam dan siap menyerang petugas. Situasi memanas, petugas kalah banyak. Para pembalak berhasil melepaskan empat pelaku yang ditangkap saat menebang kayu. Setelah itu, mereka melarikan diri menggunakan sepeda motor yang disiapkan.
BBTNGL pun menyusun ulang patroli dilengkapi senjata api laras panjang dan pendek. Razia kembali dilakukan. Rabu siang (8/7/15), petugas masuk ke kawasan Langkat, berhasil menangkap dua pembalak liar.
Pada bulan ini juga, Indonesia Focal Point untuk Treaty Binding dalam Bisnis dan HAM mengusung beberapa kasus kejahatan korporasi ke PBB, salah satu yang terjadi di Merauke Integrated Food and Energy Estate (Mifee).
Mereka yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil dari Indonesia ini membawa kasus-kasus itu pada sidang sesi pertama Kelompok Kerja bisnis dan HAM PBB, guna mendorong treaty untuk mengontrol aktivitas perusahaan transnasional. Sidang berlangsung 6-10 Juli 2015 di PBB, Jenewa.
Agustus 2015:
Pada Agustus 2015, “janji” perusahaan memperbaiki lingkungan juga kembali bergema. Asia Pulp & Paper Group (APP) akan merestorasi 7.000 hektar dari kebun kayu komersial mereka, menjadi hutan gambut kembali. Inisiatif baru bernama program pengelolaan praktik terbaik gambut (Peatland Best Practice Management Programme) ini diumumkan di Jakarta, Kamis (13/8/15).
Komitmen ini merupakan hasil dari protes panjang dari beberapa organisasi lingkungan kepada perusahaan ini dan merupakan bagian dari komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan yang dimulai 2013. Kelola gambut best practice ini, bisa menjadi contoh bagi pemerintah dan sektor swasta lain dalam memperbaiki gambut-gambut yang rusak di Kalimantan, Sumatera sampai Papua.
Kebakaran hutan dan lahan, mulai menggila pada Agustus 2015 ini, Bulan ini juga, beberapa warga Riau mendatangi Komnas HAM. Mereka ingin mengadu kabut asap yang menyebabkan warga kesulitan beraktivitas dan mengalami gangguan kesehatan. Kebakaran hutan dan lahan ini berdampak panjang, dari sekolah diliburkan, banyak orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Mereka menilai, kejadian ini telah merenggut HAM warga, terutama hak lingkungan sehat.
Data Dinas Kesehatan, ada 43.386 warga Riau terpapar ISPA, bahkan menimbulkan korban jiwa. Sudah sebulan anak-anak tak sekolah. Kegiatan ekonomi lumpuh. Namun, tak ada proses evakuasi dari pemerintah bagi kelompok rentan. Baik anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Evakuasi hanya inisiatif warga. “Itupun hanya segelintir. Bagi warga mampu, mereka mengevakuasi keluarga ke Bukit tinggi atau Padang. Masih banyak warga tetap bertahan di tengah kepungan asap.”
September 2015
Pada September ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga melakukan terobosan dengan menetapkan sanksi administrasi pada perusahaan pembakar lahan. Pada bulan itu, KLHK mengumumkan sedang mengusut lebih dari 100 perusahaan dengan wilayah kerja mengalami kebakaran hutan dan lahan untuk mendapatkan sanksi administratif di Sumatera dan Kalimantan. Sanksi ini sebagai langkah pertama sebelum masuk ke proses hukum baik pidana maupun perdata.
Kabar baik datang pada September 2015. Mahkamah Agung menolak kasasi PT. Kalista Alam, hingga perusahaan sawit itu dihukum membayar ganti rugi materil dan pemulihan lingkungan Rp366 miliar lebih karena terbukti membakar lahan kala membuka kebun di Rawa Tripa, Aceh.
Dalam putusan gugatan perdata KLH, hakim memutuskan perusahaan sawit ini terbukti melanggar hukum karena membakar 1.000 hektar lahan gambut di Suaq Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pada 2009-2012. Kalista harus membayar ganti rugi materil tunai kepada negara Rp114.333.419.000 dan biaya pemulihan lingkungan atas lahan yang dibakar Rp251.765.250.000.
Namun, duka juga ada di bulan ini, dengan terbunuhnya pejuang lingkungan Lumajang, Salim Kancil. Pada Sabtu (26/9/15), petani pejuang penolak tambang pasir, di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Salim Kancil, tewas mengenaskan sedang warga lain, Tosan, mengalami luka serius. Kini Tosan dirawat intensif di RS Mawardi, Malang.
Dari keterangan Walhi Jawa Timur, menyebutkan, saat warga desa hendak menghadang kegiatan tambang pasir, diduga oknum kepala desa mengerahkan preman sekitar 30 orang untuk mengintimidasi warga. Seorang petani, Salim, dibawa dan dikeroyok dengan kedua tangan terikat. Mayatnya ditemukan di tepi alan dekat perkebunan warga. Korban lain, Tosan. Dia dijemput dari rumah dan dianiaya. Dia sempat melawan tetapi dihajar beramai-ramai. Bersyukur, berhasil diselamatkan warga dan dilarikan ke rumah sakit.
Kisah inspiratif hadir bulan ini. Komunitas Adat Muara Tae, salah satu anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia, mendapatkan penghargaan lingkungan internasional, Equator Prize, yang diumumkan di New York, Senin malam (21/9/15).
Perjuangan komunitas ini mempertahankan lingkungan hidup mereka dari ‘rampasan’ korporasi seperti HPH, sawit dan tambang sejak puluhan tahun silam. Korporasi datang merampas wilayah adat, hutan, sungai mereka. Perampasan hutan adat komunitas ini masuk salah satu kasus yang ditangani dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM.
Oktober 2015:
Pada bulan ini, perjuangan-perjuangan warga mendapat hambatan, termasuk dari aparat hukum. Masyarakat di Desa Labuan Taposo, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ramai-ramai menolak kehadiran perusahaan tambang galian C. Namun, nasib masyarakat yang berjuang untuk lingkungan mereka itu justru berujung pada pemanggilan enam orang oleh kepolisian sektor di kecamatan. Mereka berurusan dengan aparat hukum, karena di duga melakukan tindak pidana perusakan berdasarkan pasal 170 KUHP.
Kebakaran hutan dan lahan menelan korban langsung. Pada Minggu (18/10/15) pukul 13.40 di petak 73 KPH Gunung Lawu terjadi kebakaran hutan akibat perapian atau api unggun dari pendaki gunung yang belum dipadamkan. Tak pelak, api menjalar, dan delapan pendaki terjebak, tujuh tewas, yang lain kritis.
Kabar buruk kembali datang dari kebakaran hutan dan lahan dalam beberapa bulan-bulan penghujung 2015. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merilis luas lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015 mencapai 2.089.911 hektar, 618.574 hektar lahan gambut dan 1.471.337 hektar non gambut. Kebakaran ini setara 32 kali luas Jakarta atau empat kali Pulau Bali!
Dari luas terbakar itu, Sumatera 832.99 hektar (267.974 hektar gambut, 565.025 non gambut), Kalimantan 806.817 hektar (319.386 hektar gambut, 478.431 hektar non gambut), Papua 353.191 hektar (31.214 hektar gambut, 321.977 hektar non gambut).
Kabar baik datang dari sektor kelautan dan perikanan. Penegakan hukum terhadap pelaku aksi Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di wilayah perairan Indonesia dipastikan akan semakin tegas lagi. Hal itu, menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Illegal Fishing pada Rabu (21/10/2015).
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan, kepastian terbitnya Perpres tersebut, setelah Presiden RI Joko Widodo setuju untuk menandatangani payung hukum yang memperkuat kinerja Satgas IUU Fishing.
November 2015:
Lagi-lagi, perjuangan warga maupun petani mempertahankan lahan harus berhadapan dengan aparat negara. Bulan ini, terjadi bentrokan antara gabungan tentara dan polisi serta karyawan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Gorontalo Citra Lestari (GCL), dengan warga di Desa Tudi Kecamatan Monano, Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo.
Bentrokan terjadi Jumat (20/11/2015), sekitar pukul11.30 siang waktu setempat. Hingga hari ini, keluarga korban dari petani yang ditangkap mengaku belum mendapatkan kejelasan nasib mereka.
Di tengah duka perjuangan masyarakat, kabar baik datang dari Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dalam rapat paripurna dewan, Selasa (17/11/2015), sekitar pukul 12.00 siang, DPRD Bulukumba akhirnya menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan, Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.
Kabar gembira juga datang dari Semarang. Suasana ruang persidangan PTUN Semarang, hening kala Ketua Majelis Hakim Adhi Budhi Sulistyo membacakan putusan gugatan warga kepada Bupati Pati soal izin lingkungan pendirian pabrik semen PT. Sahabat Mulia Saksi (SMS). Hakim mengabulkan seluruh gugatan para penggugat dan mewajibkan tergugat mencabut surat keputusan itu pada Selasa (17/11/15).
Masih bulan ini, pemerintah mengeluarkan kabar akan membentuk satu badan atau satuan tugas khusus menangani pemulihan kerusakan hutan dan lahan terutama gambut. Begitu salah satu pembahasan dalam rapat terbatas Presiden Joko Widodo, dengan jajaran kabinet di Jakarta, Rabu (4/11/15).
Presiden mengatakan, perlu penanganan khusus dalam pemeliharaan lahan gambut. Jadi, katanya, akan dibicarakan kemungkinan pembentukan badan atau satuan tugas melalui Peraturan Presiden (Perpres) hingga bisa cepat bergerak.
Bulan ini juga, pemerintah, lewat Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengakui terjadi kesalahan tata kelola pada masa lalu membuat alam rusak hingga terjadi kebakaran hutan dan lahan berulang, termasuk tahun ini yang berdampak pada puluhan juta orang. Perbaikan tata kelola dilakukan terutama di lahan gambut. Pemerintah pun berencana merestorasi lahan gambut, seluas dua sampai tiga juta hektar dalam lima tahun ini.
Menangani restorasi gambut ini, pemerintah akan membuat badan khusus untuk menyelesaikan tugas selama lima tahun. Indonesia memiliki laham gambut sekitar 30 juta hektar dan yang rusak harus direstorasi. Dalam lima tahun itu, ucap JK, pemerintah menargetkan khusus gambut sekitar dua atau tiga juta hektar harus direstorasi.
Akhir November ditutup dengan perhelatan besar dunia, konferensi para pihak (COP) 21. Paris. Presiden Joko Widodo dalam pidato Conference of Parties (COP) 21 Paris, memaparkan Indonesia menghadapi beragam tantangan penanganan perubahan iklim, salah satu masalah kebakaran hutan dan lahan yang berulang. Meskipun begitu, tak menyurutkan Indonesia berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi, dengan komitmen 29% pada 2030, bahkan 41% kala ada bantuan internasional.
Guna mengatasi masalah hutan dan lahan ini, pemerintah berjanji memperbaiki tata kelolanya, lewat one map policy, moratorium dan review perizinan pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari. Jokowi juga menyebutkan, akan merestorasi lahan gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.
Desember 2015:
Kemarau panjang, negeri ini didera kebakaran hutan dan lahan hebat, penghujung tahun, musim penghujan datang. Bencana ikutan, banjir pun hadir di berbagai daerah, dari Aceh, Sumut, hingga Morowali. Di Sumut, diduga karena kerusakan hutan di dataran tinggi, dan hujan, menyebabkan banjir bandang wilayah di rendah, seperti kabupaten, Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Air bah datang berasal dari sungai yang mengalir dari dataran tinggi. Air datang bersama potongan kayu-kayu hutan. Tak pelak, rumah hancur lebur.
Pada bulan ini, ada sedikit angin segar bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan datang di akhir tahun. Setelah setahun lebih persidangan, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan, kalau masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang turun menurun tinggal di hutan tak bisa dipidana. Ketentuan ini berlaku sepanjang bukan untuk kepentingan komersial.
MK hanya mengabulkan sebagian gugatan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan terhadap UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Kehutanan.
Namun, tahun ini ditutup kisah sedih dengan putusan hukum atas gugatan perdata pemerintah, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada perusahaan HTI, PT Bumi Mekar Hijau (BMH), di Sumatera Selatan. Dalam putusan majelis hakim yang dipimpin Parlas Nababan SH, selain tidak memenuhi tuntutan KLHK terhadap PT. BMH untuk membayar Rp7,9 triliun sebagai ganti rugi kebakaran lahan gambut, juga membebani KLHK untuk membayar biaya perkara sebesar Rp10.200.000