, , ,

Wonolestari, Hutan Rakyat dari Selatan Jogja

Pepohonan jati berjajar setinggi lebih 15 meter dengan batang berdiameter 50-100 centimeter. Ada jambu biji, nangka sampai empon-empon (tanaman rempah), menyelingi. Itulah tanaman Nurhadi, di hutan rakyat Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul.

“Dulu lahan disini jambu biji, 1998 mulai ditanami jati untuk tabungan. Jika butuh ditebang,” katanya, awal Desember 2015.

Pria 57 tahun ini mempertahankan lahan warisan orangtuanya dengan bertani seraya menjaga kelestariaan. Dia memutuskan bergabung dengan unit manajemen hutan rakyat (UMHR) Wonolestari pada 2014. Dia berharap, bisa belajar mengelola hutan, lingkungan dan bertani di hutan milik.

“Jika tebang pohon, kami akan kembali menanam dua kali atau lima kali lipat,” katanya.

Saya mengelilingi hutan rakyat di Desa Guwosari dan Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta itu. Singkong, pepaya, dan empon-empon, tumbuh subur di bawah tegakan jati dan mahoni.

Zuchri Saren Satrio, didampuk sebagai Sekretaris UMHR Wonolestari bercerita, hutan rakyat Wonolestari ada di tiga desa: Sendangsari, Triwidadi dan Guwosari, Kecamatan Pajangan. Wonolestari berdiri 10 Juli 2012, terdaftar di notaris Desember 2012.

“Awalnya wilayah awal kelola 786,54 hektar tersebar pada 34 dusun di Desa Sendangsari maupun Triwidadi,” kata pria yang akrab disapa Rio.

Awalnya, Agustus 2011, Lembaga AruPA bekerjasama dengan Pusat Standarisasi dan Lingkungan (PUSTANLING) Kementerian Kehutanan serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta memfasilitasi kelompok di Triwidadi dan Sendangsari. Mereka persiapan sertifikasi pengelolaan hutan rakyat lestari. Wonolestari berdiri sebagai wadah kelompok tani di Bantul.

Pada Maret 2013, Wonolestari lulus sertifikasi legalitas kayu dengan wilayah kelola 786,54 hektar tersebar di Desa Sendangsari dan Triwidadi.

Hutan rakyat selain ditanami tanaman keras, anggota UMHR Wonolestari bertani mencukupi kebutuhan harian. Foto: Tommy Apriando
Hutan rakyat selain ditanami tanaman keras, anggota UMHR Wonolestari bertani mencukupi kebutuhan harian. Foto: Tommy Apriando

Barulah April 2014, Lembaga ARuPA bekerjasama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) melalui pendanaan European Union (EU) mengimplementasikan program Scalling Up Legality Verified Community Forest and Small and Medium Wood Industries to Increase Supply for FLEGT Licensed Timber and Timber Products. Salah satu site di Bantul fokus Guwosari, desa tetangga Sendangsari dan Triwidadi. Pada Oktober 2014, kelompok tani Desa Guwosari sah menjadi anggota Wonolestari melalui musyawarah anggota ditambah empat dusun di Desa Triwidadi dan dua dusun Desa Sendangsari.

Setelah proses panjang, pada April 2015, UMHR Wonolestari mendapatkan sertifikat resmi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) dengan wilayah kelola 959,305 hektar.

Adapun rincian anggota di tiga desa itu, kata Rio, Desa Sendangsari 1.389 anggota, Triwidadi 1.641, dan Guwosari 477 anggota. Setiap desa, memiliki koordinator guna mengkomunikasikan informasi kepada anggota.

Luas lilayah kelola UMHR Wonolestari belum pernah terjadi adanya pencurian kayu maupun kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir.

Sugeng Triyanto, manajer pendamping hutan rakyat Lembaga AruPA mengatakan, lokasi Wonolestari secara topografi tiga desa di satu kecamatan berbukit dan bersolum tanah tipis (tebal tanah 15-20 cm). Di bawah permukaan tanah terdapat batuan kapur mayoritas di pebukitan kering atau sering disebut daerah gunung. Kondisi wilayah solum tanah tipis dan di perbukitan menjadikan daerah ini gersang dan kritis. “Tantangan bagi Wonolestari menjadikan ekologi kawasan hutan lebih baik,” katanya.

Sebelum 1965, tiga desa tandus dan gersang. Lahan-lahan perbukitan hanya ilalang, tanaman keras sedikit sekali. Lahan-lahan datar untuk tanaman pertanian. Sekitar 1967–1970-an, ada program penghijauan pemerintah dengan bibit akasia, jati, mahoni, melinjo dan mangga. Pada 1975-an, kelompok penghijauan juga membuat pembibitan melinjo, jambu susu dan akasia. Pada 1975-1990, juga ada pemberian bibit dari pemerintah.

Selain itu pada tahun 1980-an, ada program padat karya yang membuka jalan dari Lapangan Dwiwindu Bantul menuju perbukitan, termasuk ketiga desa ini. Jalan menembus perbukitan dengan menambang batu putih. Masyarakat pun mempunyai penghasilan tambahan dengan jual hasil tambang.

Tanah kering, tanaman pertanian tak tumbuh. Ada inisiatif menanam tanaman keras untuk kebutuhan sendiri seperti membuat rumah anak, tambal sulam.

“Minat masyarakat terus menanam walaupun di pekarangan, tegalan tak produktif untuk pertanian, di lereng-lereng perbukitan hingga tepi persawahan,” kata Sugeng.

Mayoritas anggota UMHR Wonolestari kelompok tani. Mereka bertani di tegalan, pekarangan dan sawah. Ada empat pola tanam hutan rakyat, disesuaikan kondisi lahan dan pola tanam berbeda. Pertama, pola tanam di batas kepemilikan lahan (tree along border). Pola tanam ini, masyarakat memanfaatkan pinggir lahan untuk tanaman keras, di tengah tanaman pertanian. Optimalisasi lahan ini untuk menambah pendapatan masyarakat selain hasil pertanian.

Kedua, pola tanam ngeblok (mengelompok). Yakni, pola tanam di lahan milik yang kurang atau tak produktif buat pertanian. Tanaman keras disesuaikan keinginan masyarakat.

Ketiga, pola tanam pekarangan. Yakni, hutan rakyat di pekarangan biasa tersusun tanaman keras dengan buah-buahan. Tipe penggunaan lahan pekarangan ini, katanya, sesuai bentuk dan karakteristik. Terakhir, pola tanam mengelilingi kandang ternak ayam. Hutan rakyat, katanya, berada di lahan bersamaan dengan kandang ternak.

“Pohon di sekitar kandang ayam tanaman keras dan buah-buahan. Kotoran ayam jadi pupuk organik.”

Produk kesenian dan kerajinan di Desa Budaya Karebet, Bantul. Kayu yang sebagian dari hutan rakyat dan bersertifikat. Foto: Tommy Apriando
Produk kesenian dan kerajinan di Desa Budaya Karebet, Bantul. Kayu yang sebagian dari hutan rakyat dan bersertifikat. Foto: Tommy Apriando

Kayu lestari dari desa budaya

Pada Maret 2015, ada penilaian monitoring sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK) UMHR Wonolestari. Hasilnya, mereka lulus sertifikat pengelolaan SVLK dengan 3.566 keluarga dan luasan 957,57 hektar.

Rio mengatakan, promosi produk mebel dan kerajinan melalui pameran dan berbagai kegiatan terkait sertifikasi kayu legal di Wonolestari mendapat respon baik pelaku bisnis.

Desa Triwidadi, anggota Wonolestari, jadi desa budaya pada 2012 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul. Desa Sendangsari dan Guwosari, adalah desa rintisan budaya. Di Pajangan, ada sentra kerajinan batik kayu dengan kayu dari hutan rakyat.

Tak hanya itu. Wilayah kelola rakyat meliputi hutan di sekeliling obyek wisata Goa Selarong, Ngembel Beji, Curug Banyu Nibo, Curug Pulosari, Sendang Angin-angin, Desa Wisata Santan, dan situs peninggalan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Desa Wisata Mangir).

“Kedepan kelompok Wonolestari berencana mengembangkan hutan rakyat berbasis budaya, berbekal potensi.”

Sugeng menambahkan, dalam waktu dekat akan merintis bisnis kelompok penjualan kayu bersertifikat dengan membuat depo kayu, bisnis jual-beli bibit pohon melalui Kebun Bibit Rakyat (KBR). Juga membuka ekowisata berbasis budaya.

Wonolestari akan membuat usaha dikemas dalam industri rakyat berbasis kayu legal. Industri ini, akan menghadirkan pengolahan kayu seperti usaha penggergajian kayu (sawmill), oven kayu, koperasi simpan pinjam dengan agunan pohon (koperasi tunda tebang).

Di Indonesia, kelompok hutan rakyat ber-SVLK ada 33, bersertifikat PHBML 43. Wonoestari sedikit kelompok bersertifikat SVLK-PHBML.

***

Pendopo dan Gedung Olah Raga (GOR) Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, menjadi saksi sejarah pencanangan Pengembangan Hutan Rakyat 900 hektar bersertifikat legal dan lestari berbasis budaya, pada 12 Desember 2015.

Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) bersama UMHR Wonolestari mengadakan Gelar Budaya bertemakan “Legal Kayuku, Lestari Hutanku.”

Berbagai kelompok usaha ber-SVLK memamerkan berbagai produk, sembari mempromosikan hasil hutan milik mereka. Baik ber-SVLK maupun PHBML.

Agus Budi Purwanto, Direktur Eksekutif Lembaga ARuPA mengatakan, , memiliki sertifikat tak otomatis nilai kayu berbeda dengan yang belum bersertifikat. Apresiasi pemerintah, katanya, bagi pengelola hutan lestari masih minim. “Bila apresiasi lebih pada produk kayu legal, tentu memberikan manfaat lebih besar.”

Jadi, gelar budaya ini ajang tepat bagi kelompok hutan rakyat unjuk gigi. “Rakyat berpesta karena usaha sendiri dalam melestarikan hutan. Saatnya, pemerintah dan swasta bisa melihat upaya rakyat ini,” katanya.

Dalam acara ini, menampilkan berbagai pentas seni budaya lokal. Mulai seniman lokal seperti kesenian Gejog Lesung sampai musik dari kelompok Panti Asuhan Diffabel Bina Siwi.

Masyarakat juga memamerkan berbagai produk kayu legal dari kelompok hutan rakyat dan industri kecil menegah (IKM). Juga pameran fotografi yang menampilkan kelompok hutan rakyat. Pada puncak acara, ada pementasan teater dari komunitas Teater Rakyat Sego Gurih, berkolaborasi dengan Dimas Tedjo.

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Yogyakarta, Sutarto mengatakan, kerusakan alam tak bisa dipisahkan dengan hutan rusak. Untuk itu, perlu keterlibatan masyarakat di dalam hutan atau sekitar hutan. “Hilangkan stigma mereka pengganggu. Ikut sertakan mereka menjaga hutan.”

Data KLHK, di Yogyakarta, hutan negara 18.713 hektar (5,8%) terdiri dari hutan produksi 13.411 hektar, hutan lindung 2.312 hektar dan hutan konservasi 2.990 hektar. Hutan rakyat 76.000 hektar, luas hutan Yogyarkta sekitar 94.000 hektar. Untuk hutan rakyat di Yogyakarta diarahkan kepada kepentingan masyarakat, daerah dan konservasi.

Penyerahan sertifikat PHBML dan SVLK dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) kepada pengurus UMHR Wonolestari. Foto: Tommy Apriando
Penyerahan sertifikat PHBML dan SVLK dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) kepada pengurus UMHR Wonolestari. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,